Anggota DPR Sebut Kritikan RUU Minerba via Whatsapp Sebagai Teror

Kritik melalui sosial media tidak mengubah ketentuan yang ada serta tidak diakui dalam konsitusi.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Mei 2020, 15:45 WIB
Aktivis berbaring saat menggelar aksi #BersihkanIndonesia di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (19/8/2019). Aktivis menyerukan kebebasan hakiki dari kerusakan lingkungan dengan meninggalkan sumber energi fosil dari batu bara kotor beralih ke energi bersih terbarukan. (Liputa6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Panja Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba), Bambang Wuryanto,  mendorong pihak anti RUU anyar ini agar tidak menyerang para wakil rakyat melalui pesan berantai di WhatsApp. Sebab, perbuatan tersebut termasuk aksi teror.

"Mohon maaf (aksi protes di WhatsApp), itu teror," singkat Bambang dalam rapat kerja virtual Pengambilan Keputusan RUU Minerba, Senin (11/5).

Dia mengatakan bagi pihak yang tidak puas dengan rencana pengesahan RUU kontroversial tersebut dapat menempuh jalur judicial review. Sebab, kritik melalui sosial media tidak mengubah ketentuan yang ada serta tidak diakui dalam konsitusi.

Di samping itu, pihaknya membantah jika kilatnya  pembahasan RUU Minerba syarat akan kepentingan taipan tambang. Hal ini dikarenakan  pembahasan RUU tersebut telah dimulai sejak tahun 2015 atau kepengurusan DPR periode sebelumnya.

Terkait proses pembahasan RUU Minerba yang terhitung cepat, diakibatkan oleh ratusan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diberikan pemerintah mayoritas sama. Hal ini sekaligus  membantah anggapan jika DPR RI atau pemerintah bersikap sesuka hati dalam proses penyusunan RUU sektor tambang tersebut.

Terlebih proses penyusunan RUU Minerba merupakan kewenangan DPR RI yang wajib didiskusikan bersama pemerintah. Oleh karenanya, Bambang menuding pihak yang kontra dengan proses revisi RUU sektor tambang tersebut  tidak memahami  mekanisme pembahasan aturan perundang-undangan.

 


Kata Pengamat

Ilustrasi baru bara.

Sebelumnya, Pengamat Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talatov mengecam langkah Pemerintah dan DPR RI yang bersikeras merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara atau RUU Minerba. Langkah ini berpotensi melahirkan kolonialisme jenis baru dalam sektor minerba Tanah Air.

"Kita khawatir RUU Minerba terlalu dipaksakan, ini akan menjadi pintu kolonialisme model baru. Sebab, sama saja Sumber Daya Alam (SDA) kita dipaksakan untuk dikuasai segelintir pengusaha minerba," tegas Abra kepada Merdeka.com, Senin (11/5).

Abra menjelaskan korelasi antara RUU Minerba dengan kepentingan pengusaha tertuang jelas pada pasal terkait perpanjangan PKP2B. Ia berujar pasal yang mengatur perpanjangan PKP2B memiliki keberpihakan tinggi pada kalangan segelintir taipan tambang.

Seperti pada Pasal 169A dan 169B dalam RUU Minerba pemegang Kontrak Karya (KK) dan PKP2B akan memperoleh perpanjangan menjadi Izin usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa melalui proses lelang.

Bahkan, kewenangan perizinan pertambangan kini dipegang pemerintah pusat.Maka tak berlebihan apabila RUU Minerba berpotensi melahirkan kolonialisme jenis baru di sektor tambang. Karena dalam penyusunan RUU tersebut, SDA dipaksakan untuk dikuasai kelompok pengusaha dengan jangka waktu yang panjang.   

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya