Survei KPAI: Belajar di Rumah Selama COVID-19 Bikin Anak Stres dan Lelah

Survei KPAI menunjukkan, metode belajar jarak jauh di rumah selama COVID-19 membuat anak stres dan lelah.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 13 Mei 2020, 06:00 WIB
Ilustraasi foto Liputan 6

Liputan6.com, Jakarta Metode pembelajaran jarak jauh dengan belajar di rumah selama pandemi COVID-19 rupanya membuat anak-anak stres dan lelah. Meski di rumah, mereka juga merasa kurang istirahat. Ada banyak tugas-tugas yang diberikan guru dinilai berat dan pemberian tugas kerap tanpa interaksi.

Temuan tersebut dari survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan responden siswa dan guru pada 13-21 April 2020. Survei dilakukan di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota di Indonesia.

"Stres dengan pembelajaran jarak jauh belajar di rumah terbukti ditunjukkan. Ternyata 79,9 persen anak mengatakan bahwa proses pembelajaran jarak jauh tanpa interaksi," papar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti saat sesi webinar "Dampak Sosial Ekonomi COVID-19 pada Anak-anak di Indonesia: Tantangan Menjaga Kesejahteraan Anak Saat Pandemik", ditulis Selasa (12/5/2020).

"Maksudnya, guru hanya memberikan tugas dan menagih tugas, tanpa ada interaksi belajar, seperti tanya jawab langsung atau guru menjelaskan materi. Hanya 20,1 persen saja yang menyatakan, ada interaksi interaksi antara guru sama siswa. Jadi, kerjanya guru adalah memberi tugas tanpa interaksi inilah yang memicu anak kelelahan. Ya, jelas karena tugasnya bertumpuk."

Anak-anak juga kebingungan mengerjakan tugas karena tak ada interaksi. Bentuk interaksi belajar di rumah yang dilakukan, yakni chatting-- berbalas pesan pendek (87,2 persen). Ada yang menggunakan zoom meeting (20,2 persen), video call (7,6 persen). Hanya 5,2 persen yang interaksi lewat telepon."

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:


Berat Kerjakan Tugas

Anak berat kerjakan tugas. (Dok.pixabay.com/Komarudin)

Retno melanjutkan, pihaknya juga bertanya terkait tugas-tugas yang diberikan. Mayoritas anak merasa berat (73,2 persen) mengerjakan tugas. Namun, ada anak-anak yang merasa tidak berat mengerjakan tugas di rumah (26,8 persen).

"Kami juga tanya seperti apa tugasnya. Anak-anak kemudian merasa stres, ternyata memang guru yang ngasih tugas hanya ngasih tugas saja tanpa interaksi. Dan tugas pun cukup berat dikerjakan," lanjutnya.

"Terkait itu, kami terkonfirmasi oleh para guru. Mereka mengaku hanya ngasih tugas. Ini dilihat kuota internet juga. Kuota internet enggak cukup untuk yang lain (menjelaskan materi). Jadi, katanya ngasih tugas saja. Artinya, ini sesungguhnya memang terkonfirmasi benar."

Dari sisi waktu pengerjaan tugas, paling tinggi sekali anak mengerjakan tugas sekitar 1 sampai 3 jam (44,1 persen). Ada yang 3-6 jam (34,2 persen) dan lebih dari 6 jam sehari (21,6 persen).

"Mengerjakan tugas sampai lebih dari 3 jam barangkali memicu kelemahan pada anak-anak. Yang agak aneh bagi kami adalah tentang kesulitan yang dihadapi siswa. Sebanyak 77 persen siswa memang mengaku kesulitan tertinggi adalah tugas yang menumpuk. Pada situasi darurat COVID-19, semakin banyak tambah tugas saja. Satu tugas belum selesai, lalu ada tugas lainnya."

 


Tidak Punya Kuota Internet

Tidak punya kuota internet. Kredit: Tumisu via Pixabay

Selain tugas menumpuk, 37,1 persen anak mengeluh waktu pengerjaan tugas yang sempit. Anak pun fokus menyelesaikan tugas tersebut, sehingga kurang istirahat dan lelah. Kesulitan lain, anak tidak punya kuota internet.

"42,2 persen anak tidak punya kuota internet. Ada juga yang tidak memiliki peralatan pendukung, seperti laptop atau ponsel yang memadai," Retno melanjutkan.

Selama belajar di rumah ternyata 76,7 persen menyatakan, tidak senang. Faktornya, tidak ada interaksi guru dan kurang perlengkapan pembelajaran jarak jauh.

Para guru juga menyatakan, 90 persen siswanya menggunakan ponsel untuk mengerjakan tugas, sehingga kelelahannya memang luar biasa, baik mata maupun radiasi yang mereka alami.

Tak hanya siswa, guru juga memiliki keterbatasan peralatan daring dan kuota internet. Ketika survei, KPAI juga bertanya, apakah guru mengalami pengajaran yang sulit dan seperti apa yang dialami.

Ketersediaan peralatan jarak jauh, seperti laptop bagi guru mungkin lebih baik. Mereka masih bisa beli kuota internet, tapi untuk guru honor sudah tidak bisa beli.

"Selama ini telepon genggam menjadi pilihan yang biasa dipergunakan. Di balik itu, anak-anak juga tidak memiliki kuota internet dan Wifi. Guru juga enggak dapat membeli kuota internet. Kalau dalam satu keluarga punya 3 anak, maka biaya kuota internet melampaui biaya makan sehari-hari," terang Retno.


Tugas yang Paling Tidak Disukai

Tugas yang paling tidak disukai anak. (Photo by Joey Huang on Unsplash)

KPAI mendata bentuk-bentuk penugasan yang paling tidak disukai siswa selama belajar jarak jauh di rumah. Tertinggi adalah tugas membuat video (55,5 persen). Bentuk penugasan kedua yang tidak disukai siswa adalah menjawab soal dalam jumlah yang banyak (44,5 persen).

Pemberian soal bahkan bisa mencapai 50 soal. Meski pilihan ganda, untuk mengerjakannya cukup melelahkan, terutama soal yang menghitung. Urutan ketiga dari tugas yang paling tidak disukai adalah merangkum bab materi (39,4 persen).

Urutan terakhir dari tugas yang tidak disukai siswa adalah harus menuliskan soal yang ada dalam buku cetak sebelum memberikan jawaban (25,6 persen). Walau begitu, anak-anak harus tetap mengerjakan tugas dan dikumpulkan kepada guru.

"Ya, anak-anak stres dan mereka berjuang untuk tetap mengerjakan tugas. Kenapa? Karena mengejar nilai tadi. Jadi, bukan karena suka, bukan juga karena menikmati proses pembelajaran daring," ujar Retno.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya