Liputan6.com, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Anadi mencibir keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menaikan iuran BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020.
Menurutnya, keputusan itu terasa mengejutkan lantaran tanpa disertai proses konsultasi publik yang memadai. Bahkan, ia menganggap proses pengambilan keputusam terkesan disembunyikan saat masyarakat tengah terkurung pandemi virus corona (Covid-19).
Advertisement
"Akibatnya Perpres Nomor 64/2020, secara sosial ekonomi juga tidak mempunyai empati. Mengingat kondisi masyarakat secara ekonomi terpuruk oleh wabah covid-19," kata Tulus dalam keterangan tertulis, Kamis (14/5/2020).
"Sekalipun untuk kelas 3 kategori peserta mandiri telah diberikan subsidi, tetapi membayar Rp 25 ribu per orang akan terasa sangat berat," dia menambahkan.
Akibatnya, Tulus berpendapat, Perpres 64/2020 berpotensi mengerek tunggakan iuran masyarakat dan akhirnya target untuk meningkatkan revenue BPJS Kesehatan akan sulit tercapai.
Oleh karenanya, ia menilai pemerintah idealnya menggunakan cara lain untuk menginjeksi biaya operasional BPJS Kesehatan tanpa harus membebani masyarakat dengan kenaikan tarif.
"Misalnya pemerintah bisa menaikkan cukai rokok untuk kemudian pendapatan cukai rokok langsung didedikasikan untuk keperluan BPJS Kesehatan. Kenaikan cukai rokok juga mampu mengusung gaya hidup masyarakat yang lebih sehat, sehingga mampu menekan penyakit tidak menular yang selama ini menjadi benalu finansial BPJS Kesehatan," imbuhnya.
"Apalagi di saat pandemi, perilaku merokok sangat rawan menjadi trigger terinfeksi Covid-19," tandas Tulus.
Tak Sesuai UU, Buruh Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keras terbitnya Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang merevisi Perpres No 82 Tahun 2018 terkait kenaikan Iuran BPJS Kesehatan.
Terkait dengan hal itu, Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan, setidaknya ada tiga alasan yang mendasari penolakan KSPI terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Pertama, melanggar ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
“Dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka ada potensi hak rakyat untuk memperoleh layanan kesehatan akan terganggu. Karena kenaikan itu memberatkan masyarakat, sehingga mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengiur,” kata Said dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Kamis (14/5/2020).
BACA JUGA
Lanjutnya, terlebih lagi saat ini banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. Ia mengkritisi bahwa seharusnya negara berkewajiban untuk melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Bukan malah membebani rakyat dengan menaikkan iuran.
Kedua, KSPI menilai kenaikan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU 40/2004 tentang SJSN dan UU 24/2011 tentang BPJS.
Dimana disebutkan, bahwa BPJS Kesehatan bukanlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tetapi berbentuk badan hukum publik, sehingga pemerintah tidak boleh seenaknya menaikkan iuran secara sepihak tanpa meminta persetujuan dari pemilik BPJS Kesehatan.
“Adapun pemilik BPJS Kesehatan adalah mereka yang mengiur iuran, terdiri dari: 1) Pemerintah yang membayar biaya untuk Penerima Bantuan Iuran, 2) Pengusaha yang membayar iuran untuk buruh sebesar 4 persen dari gaji, 3) buruh yang membayar iuran sebesar 1 persen dari gaji, dan 4) masyarakat yang mengiur sesuai dengan kelas yang dipilihnya," ujarnya.
Advertisement