Liputan6.com, Jakarta Di tengah tekanan Pandemi Covid-19, para pengembang berupaya untuk mempertahankan kelangsungan usaha beserta nasib sedikitnya 30 juta pekerja di sektor properti dan industri ikutannya.
Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) , Totok Lusida mengatakan sektor properti memiliki keterkaitan langsung yang erat dengan industri perbankan. Dukungan perbankan amat penting, apalagi dengan kondisi pandemik sekarang ini yang semakin membuat para pengembang tertekan.
Advertisement
Menurut data BI per-Maret 2020, total kredit yang disalurkan oleh perbankan kepada 17 sektor industri adalah sebesar Rp 5.703 triliun, dimana 17,9 persen-nya disalurkan kepada sektor realestat sebesar Rp 1.024 triliun yang terdiri dari kredit konstruksi (Rp 351 triliun), kredit realestat (Rp 166 triliun) dan KPR KPA (Rp 507 triliun).
Dari Rp 1.024 triliun yang disalurkan ke sektor properti, Rp 62 triliun di antaranya adalah kredit modal kerja jangka pendek. Berdasarkan strukturnya, Rp 51,1 triliun (82 persen) penyalurannya ditujukan untuk modal kerja perusahaan properti terbuka.
Perlu dicermati bahwa 24 persen (Rp 12,5 triliun) kredit modal kerja perusahaan properti terbuka tersebut merupakan hutang jangka pendek yang perlu ditangani secara cepat.
“Jelas sekali bahwa porsi kredit di sisi supply dan demand properti hampir berimbang. Kredit modal kerja dan konstruksi amat penting bagi pengembang untuk melakukan pendanaan awal, yang kemudian diteruskan oleh KPR KPA oleh konsumen. Jika salah satu porsi kredit ini terganggu maka pendanaan pengembang pasti akan terpukul,” jelas Totok, Kamis (14/5/2020).
Maka, lanjut Totok, sangat penting untuk menjalankan secara cepat restrukturisasi hutang para pengembang dan konsumen properti karena multiplier effect dari stimulus restrukturisasi tersebut dapat menggerakkan industri ikutan properti secara signifikan dan menyelamatkan tenaga kerja yang ada di dalam industri properti dan industri ikutannya serta meredam dampak sistemik jika terjadi NPL di perbankan.
Sementara itu, data Bursa Efek Indonesia menyebutkan sekitar 76,2 persen hutang jangka pendek perusahaan pengembang terbuka ada di bank swasta, yang justru sulit sekali melakukan restrukturisasi dikarenakan masih adanya tekanan OJK terhadap KPI (Key Performance Indicator) dari bank-bank tersebut, di mana salah satunya adalah perihal NPL yang masih dijadikan tolok ukur.
“Ada kebijakan yang tidak sinkron dari OJK di mana di satu sisi meminta agar dilakukan stimulus restrukturisasi namun di pihak lain tetap memegang acuan ketat mengenai NPL dan KPI perbankan. Hingga saat ini, POJK No.11/POJK.03/2020 dirasa belum cukup efektif pelaksanaannya di level operasional,” kata Totok.
“Kami berusaha keras untuk tidak melakukan PHK, namun kalau tidak didukung oleh perbankan, berat bagi industri properti untuk bertahan”, tegasnya.
Kajian
Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Realestat Indonesia (REI) melakukan kajian bersama untuk mengoptimalkan sektor properti sebagai salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional.
Kajian tersebut didasarkan pada kedudukan sektor properti yang berkaitan erat dengan sektor lain (backward linkage) dan mempengaruhi pertumbuhan sektor lain (forward linkage), menjadikan sektor properti memiliki peran sentral pada pembangunan.
Dari 175 sektor industri yang bergerak dengan keterkaitan langsung dan tidak langsung dengan sektor properti, industri properti memiliki pangsa jumlah permintaan akhir 33,9 persen. Sehingga ini yang menjadikan industri properti sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun demikian, kontribusi properti nasional terhadap PDB pada tahun 2019 masih rendah, yakni sebesar 2,77 persen.
Advertisement