Liputan6.com, Jakarta Pandemi COVID-19 membuat adanya kemungkinan jumlah anak stunting (kekurangan gizi kronis) di Indonesia bertambah. Sehingga diprediksi target penurunan stunting hingga 14 persen sulit tercapai.
"Terlebih, mengingat Posyandu tidak lagi beroperasi dan tenaga kesehatan di puskesmas juga tidak luput dari dampak COVID-19,” kata Mantan Asisten Deputi Ketahanan Gizi Kesehatan Ibu dan Anak, dan Kesehatan Lingkungan Kemenko PMK, Media Octarina.
Advertisement
Guru Besar FKUI Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K) menyebutkan deteksi dini seperti pemantauan pertumbuhan rutin di fasilitas kesehatan penting dalam mencegah terjadinya malanutrisi pada anak.
"Apabila tidak cepat dideteksi melalui pengukuran berat badan, panjang badan, hingga lingkar kepala, anak-anak bisa menderita malnutrisi kronis hingga menjadi stunting,” ucap Damayanti seperti mengutip Antara.
Supaya angka stunting turun, perlu modifikasi strategi kebijakan yang dapat diimplementasikan di tingkat daerah. Sayangnya, belakangan pemerintah justru berencana mengurangi anggaran program penanganan stunting di daerah rawan pangan.
Kecewa cara pemerintah tangani stunting
Anggota Komisi IV DPR RI dari fraksi PKB Lulu Nurhamidah mengungkapkan kekecewaannya terhadap upaya penanganan persoalan stunting.
“Refocussing anggaran justru merealokasi sektor pangan. Padahal kita tidak ingin apabila prevelensi stunting kita yang sempat turun sedikit itu kemudian akan mengalami kondisi yang stuck atau mungkin akan naik kembali karena ketahanan di bidang pangan tidak bisa diamankan,” ungkap Lulu.
Menurut Lulu, pemerintah seharusnya dapat melakukan koordinasi lintas sektor dalam pemberian bantuan pangan untuk masyarakat.
“Misalnya dengan KKP yang memiliki banyak produk olahan ikan dan hasil laut yang tentu saja memiliki kandungan protein tinggi. Jika diintegrasikan seperti itu, maka tidak akan ada lagi misalnya krimer kental manis di dalam bantuan sosial masyarakat,” jelas Lulu.
Advertisement