BP2MI Soroti Perlindungan Pekerja Migran dari Perdagangan Manusia

Tata kelola penanganan pekerja migran dinilai memang masih lemah.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 16 Mei 2020, 15:11 WIB
Pekerja Migran di Bandara Soekarno Hatta. Dok AP II

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani menyampaikan, Pekerja Migran Indonesia (PMI) sangat perlu mendapatkan perhatian khusus.

Menurut Benny, salah satunya adalah para pekerja migran mesti dilindungi dari perdagangan manusia.

"Pekerja migran adalah warga negara VVIP. PMI harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, kekerasan, dan perlakuan lain yang melanggar," tutur Benny dalam keterangannya, Sabtu (16/5/2020).

Dia menyebut, bekerja merupakan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang. Dari situ, kata Benny, negara menjamin hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan yang layak, baik di dalam negeri atau pun luar negeri.

"Penempatan pekerja migran merupakan upaya mewujudkan hak tenaga kerja mendapatkan pekerjaan. Oleh kerena itu, negara wajib membenahi sistem penempatan dan pelindungan secara terpadu, baik oleh pemerintah pusat hingga daerah dengan mengikutsertakan masyarakat " ucapnya.

Menurut Benny, tata kelola penanganan pekerja migran memang masih lemah. Kerentanan ini menjadi tantangan yang harus segera diperbaiki bersama secara tepat dan cepat.

"Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 misalnya, telah diamanatkan pelindungan bagi PMI secara menyeluruh. Yakni adanya jaminan pelindungan sosial, jaminan hukum, dan jaminan ekonomi bagi calon PMI, PMI dan keluarganya, baik pada masa sebelum, selama, dan setelah bekerja," papar Benny.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Masih Banyak yang Perlu Diperhatikan

Pekerja migran tiba di Bali

Lebih lanjut Benny menjelaskan, selama kurun waktu 2015 hingga 2018, penempatan pekerja migran masih didominasi oleh sektor informal yang berjumlah mencapai 1,2 juta orang.

Rinciannya, kata dia, 550 ribu pekerja migran laki-laki atau sekitar 47 persen dan 625 ribu pekerja migran perempuan atau sebanyak 53 persen.

"Dalam kurun tersebut, pelindungan masih berfokus pada penyelesaian kasus PMI bermasalah di luar negeri," terangnya.

Dia mengatakan, masih banyak yang perlu diperhatikan dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja migran, seperti adanya perjanjian bilateral dengan negara penempatan untuk pelindungan pekerja migran serta melakukan koordinasi dan kewenangan penanganan pekerja migran bermasalah.

"80 persen kasus bermula dari lemahnya tata kelola dari hulu. Perlu ada perubahan substansial dalam tata kelola di hulu. Seperti engangement dan koordinasi multi-stakeholder, serta pembagian peran tugas dalam pelayanan dan pelindungan pekerja migran masih perlu dibenahi dan diperkuat," beber Benny.

Pembagian kewenangan ini diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan kepada calon pekerja migran dan keluarganya.

Sejauh ini, kata Benny, Pemerintah Pusat telah mengurus kewenangan umum terkait norma dan nilai yang mengatur tata kelola.

Kemudian Pemerintah Provinsi Kabuoaten Kota mengurus kewenangan Pemda terkait izin dan rekrutmen pekerja migran di daerah dan penyiapan keterampilan calon pekerja migran.

Perubahan mendasar juga dilakukan untuk memberikan pelindungan maksimal. Seperti perubahan ruang lingkup bekerja pada badan hukum, perseorangan dan Anak Buah Kapal (ABK), juga keluarga pekerja migran dalam negeri mau pun di negara penempatan.

"Perubahan tata kelola juga dilakukan baik dari sisi regulator dan operator. Untuk memberikan kemudahan kepada Pekerja Migran juga dibentuk Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) serta membatasi peran P3MI. Penguatan peran daerah juga dilibatkan dan pencegahan konflik kepentingan," Benny menandaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya