Pulihkan Ekonomi, Indonesia Bisa Contoh Kebijakan Moneter AS dan China

Langkah extraordinary yang bisa dilakukan untuk pemulihan ekonomi yaitu suku bunga kredit harus rendah.

oleh Tira Santia diperbarui 18 Mei 2020, 17:30 WIB
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sebelum melakukan pertemuan di resor Mar a Lago, Florida, Kamis (6/4). Isu perdagangan dan Korea Utara diperkirakan menjadi isu utama pembahasan kedua pemimpin negara tersebut. (AP Photo/Alex Brandon)

Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Gita Wirjawan, mengatakan bahwa Indonesia bisa meniru kebijakan moneter yang dijalankan Amerika Serikat (AS) dan China, sebagai upaya pemulihan ekonomi dampak covid-19.

“Bisa, gak ada jalan dan alasan tidak bisa. Menurut saya dahsyat sekali dampak pada sektor riil. Kita harus mempertimbangkan langkah-langkah yang extraordinary,” kata Gita kepada Liputan6.com, Senin (18/5/2020).

Langkah extraordinary atau langkah luar biasa yang dimaksud itu yakni suku bunga kredit harus rendah, adanya penjaminan Restrukturisasi, dan skala bantuan restrukturisasi harus besar.

Apabila tidak dilakukan langkah luar biasa tersebut, maka ekonomi nantinya akan lumpuh, dan para produsen yang mayoritas UMKM juga lumpuh. Kalau lumpuh, daya saing ekonomi Indonesia akan berkurang, baik dalam negeri maupun luar negeri.

“Di luar negeri itu rata-rata bantuan itu lebih dari 10 persen PDB, singapura 12,5 persen dari PDB, Malaysia 11  persen dari PDB, kalau Indonesia cuman 2,5 persen dari PDB. Kalau menurut saya daya saing kita akan tergerus kalau kita tidak membantu daya beli dan daya produksi,” ujarnya.

Oleh karena itu ia menegaskan Indonesia harus berani meniru kebijakan moneter dari negara AS dan China.

Meskipun meniru, diharuskan suka bunganya harus dipertimbangkan agar lebih rendah. Karena kalau sama dengan suku bunga pasar atau komersil akan tetap susah untuk membantu orang yang terdampak covid-19.

“Jadinya kecepatan dan ketepatan yang dibutuhkan dalam pemulihan ekonomi ini,” ujarnya.

Selain itu, dirinya menyarankan apabila pemerintah Indonesia akan menerapkan Kebijakan Moneter harus melihat likuiditasnya.

Ia menjelaskan dilihat dari pengumpulan pajak tahun lalu saja terbatas dibawah target, dan di kuartal I ini pengumpulan pajak sangat terbatas, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia sudah menunjukan defisit di kuartal I, yakni sebesar Rp 70-80 triliun.

“Itu sulit lah kalau mau harus ngutang lagi, ngutang  juga ada keterbatasan. Di pasar luar negeri juga kita sukses dengan meminjam USD 4,3 miliar, bunganya rendah. Tapi saya tetap berpendapat kalau mau pinjam lagi dari luar negeri akan lebih mahal dan gak semahal kemarin-kemarin, apalagi minjem dari dalam negeri,” jelasnya.


Pertumbuhan Kredit

Wawancara bersama Gita Wirjawan.

Sementara jika meminjam dari dalam negeri dirinya melihat keterbatasan likuiditas yang sudah terjadi, dikarenakan pertumbuhan kredit tahun lalu hanya 6 persen.

Menurutnya, meskipun suku bunga sudah turun, karena secara sistemastis dalam beberapa tahun terakhir, bahkan ia menyebut Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sekarang sudah turun 4,5 persen.

“Itu sudah jauh di bawah level SBI di beberapa tahun yang lalu, tapi tetap pertumbuhan pinjaman atau kredit itu hanya 6 persen. Sehingga mencerminkan keterbatasan likuiditas dalam negeri. Jadinya yang saya maksud mau tidak mau harus mengacu pada kebijakan moneter,” ungkapnya.

Lanjutnya, kebijakan moneter itu bisa termasuk penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang sudah dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), bisa juga dilakukannya pembelian instrumen utang dipasar sekunder oleh BI, untuk memberikan likuiditas tambahan.

“Tapi bisa juga dilakukan pencetakan uang (meskipun bukan satu-satunya, menurut saya harus dilakukan kombinasi beberapa kebijakan),” pungkasnya.   

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya