Polisi Tangkap 3 Penambang Emas Ilegal di Solok Selatan

Maraknya tambang emas ilegal di Solok Selatan, Sumbar, membuat tutupan hutan di kawasan itu terus berkurang.

oleh Novia Harlina diperbarui 20 Mei 2020, 00:00 WIB
Polda Sumbar merilis kasus penambangan emas illegal di Kabupaten Solok selatan.

Liputan6.com, Padang - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumatera Barat menangkap tiga orang penambang emas ilegal yang beroperasi di Kabupaten Solok Selatan.

Ketiga pelaku diamankan bersama sejumlah barang bukti, antara lain alat berat, komputer alat berat, mesin dompeng, asbox, selembar rumput sintetis. Kemudian sebungkus emas urai seberat 12,56 gram, derigen BBM solar, 2 unit HP, dan alat timbang digital.

"Lokasi penambangannya di aliran Sungai Pamong Gadang, Jorong Jujutan Nagari Lubuk Gadang Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan, mereka ditangkap pada 5 Mei 2020," kata Kabid Humas Polda Sumbar, Satake Bayu Setianto kepada Liputan6.com, Selasa (19/5/2020).

Pelaku yang diamankan yakni WP (27) sebagai pengawas lapangan, YH (20) sebagai operator alat berat, dan I (37) pendulang.

Terungkapnya praktik tambang emas ilegal ini, kata Satake, setelah pihaknya mendapatkan informasi dari masyarakat.

"Kemudian kami lakukan penyelidikan dan ditemukan adanya aktivitas penambangan emas di sana," katanya.

Ia mengungkap sejak Maret hingga Mei 2020 Ditreskrimsus Polda Sumbar sudah 3 kali melakukan penindakan terhadap penambang emas tanpa izin di wilayah hukum Polda Sumbar.

"Pertama di Sijunjung, kedua di Tanah Datar dan terakhir di Solok Selatan," katanya.

Tersangka dikenakan Pasal 158 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.

"Ancaman kurungan 10 tahun penjara dan denda sebanyak Rp10 miliar," Satake menambahkan.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:


Tutupan Hutan Berkurang

Polda Sumbar merilis kasus penambangan emas illegal di Kabupaten Solok selatan.

Sebelumnya Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi merilis, dalam kurun waktu 2017 hingga 2019 setidaknya 23.352 hektare tutupan hutan hilang di Ranah Minang.

Direktur Komunitas KKI Warsi, Rudi Syaf mengatakan berkurangnya luas tutupan hutan itu menyebabkan semakin tingginya potensi bencana alam seperti banjir, banjir bandang, hingga longsor di Sumatera Barat.

Menurutnya tutupan luas hutan yang berkurang hingga puluhan hektare tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya pertambangan emas ilegal, pembukaan lahan kelapa sawit, serta ilegal logging.

"Aktivitas tersebut marak terjadi di daerah Kabupaten Solok Selatan, Dharmasraya, Sijunjung, Kepulauan Mentawai dan Pesisir Selatan," ujarnya.

Tutupan hutan akan memiliki dampak dan perubahan terhadap lingkungan dan merugikan manusia, diantaranya pada kerusakan ekologi dan hilangnya plasma nutfah, serta berkurangnya cadangan biodiversity krusial.

Tidak hanya itu, penurunan tutupan hutan juga menyebabkan kekeringan yang kerap terjadi di Kabupaten Dharmasraya, Limapuluh Kota, Pasaman, Pesisir Selatan, Sijunjung, Solok, Solok Selatan, Tanah Datar, Kota Padang, dan Bukittinggi.

Penurunan tutupan hutan juga memicu pencemaran sumber sungai hingga ke daerah hilir, terjadinya perubahan iklim, dan konflik satwa.

Kemudian banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian akibat bencana, meningkatkan angka kemiskinan, menurunkan kualitas hidup akibat krisis pangan dan air bersih.

"Meski tidak terlalu signifikan dibandingkan provinsi lainnya, namun tentunya persoalan ini harus segera disikapi secara bersama, agar tidak semakin merusak longkungan dan membawa dampak jangka panjang," kata Rudi.

Rudi menyebut Sumatera Barat memiliki luasan kawasan hutan mencapai 2.342.893 hektare atau 55,39 persen dari luas administrasi Provinsi Sumbar.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya