HEADLINE: PSBB Jakarta Diperpanjang, Terakhir Kalinya Lalu Berdamai dengan Covid-19?

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperpanjang PSBB di Jakarta hingga 4 Juni 2020.

oleh Yusron FahmiIka DefiantiYopi Makdori diperbarui 27 Mei 2020, 20:03 WIB
Foto udara kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu (3/5/2020). Pemprov DKI Jakarta telah menutup sementara 126 perusahaan yang melanggar Pergub Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Penanganan COVID-19. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta memasuki tahapan baru. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk memperpanjang PSBB ke tahap III hingga 4 Juni 2020 mendatang. PSBB tahap II sendiri akan habis pada 21 Mei besok.

"PSBB di perpanjang hingga 4 Juni, mudah-mudahan ini jadi PSBB penghabisan," kata Anies di Balaikota, Jakarta Pusat, Selasa (19/5/2020). 

Anies pun mewanti-wanti warganya untuk terus disiplin menjalankan PSBB III nantinya. Sebab saat ini reproductions number atau angka penularan virus corona di Jakarta telah turun dari 4 menjadi 1,1.

"Insyaallah kalau dalam dua pekan ini kita pantau angka ini bisa di bawah 1, maka ini akan jadi yang terakhir," kata Anies.

Anies meminta warga Jakarta untuk terus menghindari kerumunan dan untuk tetap di rumah. Dia yakin jika itu semua bisa dilakukan warga Jakarta dapat kembali berkegiatan.

"Maka nanti Jakarta bisa kembali berkegiatan, tentu normalnya baru. Orang biasa mengistilahkan new normal. Bukan kembali seperti yang kemarin, tapi normal yang baru," ucapnya. 

Infografis PSBB DKI Jakarta Jilid 3 (Liputan6.com/Triyasni)

Koalisi Masyarakat Profesi dan Asosiasi Kesehatan (Kompak) menilai, saat ini PSBB masih menjadi sebuah kebutuhan untuk mencegah penyebaran corona Covid-19 yang lebih masif. Termasuk juga di Jakarta yang dipastikan PSBB-nya akan diperpanjang hingga 4 Juni.

"Tidak ada pilihan karena kasus positif Covid terus meningkat. Mata rantai penularan harus diputus," ujar Sekjen Kompak Dedi Supratman kepada Liputan6.com, Rabu (20/5/2020).

Dedi menyatakan, banyak catatan dalam pelaksanaan dua kali PSBB di Jakarta. Menurutnya, kepatuhannya masyarakat terhadap PSBB rendah dan mobilitas masih sangat tinggi.

"Ini yang menyebabkan kasus Covid-19 tetap tinggi," jelasnya.

Agar PSBB jilid III tidak mengulang kejadian tersebut, dia meminta PSBB ketiga mendapat dukungan penuh semua pihak. Seluruh lapisan masyarakat harus taat.

"Jika tidak maka PSBB tidak akan efektif, sia-sia saja. Jadi kuncinya adalah kepatuhan," ungkapnya.

Dia menambahkan, momentum hari Kebangkinan Nasional 20 Mei harus menjadi momentum kompak bangkit melawan corona. 

"Narasi berdamai dengan Covid-19 membuat banyak tenaga kesehatan kecewa karena kesannya kita kalah dan pasrah dengan pandemi ini," ujarnya.

Menurutnya, yang harus dilakukan bukanlah berdamai, tapi melakukan adaptasi terhadap Covid-19. Tatanan kehidupan, termasuk pelayanan kesehatan pasti akan berubah.

"Kita harus siap untuk beradaptasi, menyesuaikan diri," tukasnya.

Pihaknya mengimbau pemerintah pusat dan daerah untuk memperkuat koordinasi dan komunikasi terkait penanganan corona sehingga tidak membingungkan masyarakat. 

Epidemiolog UI yang juga Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menyatakan, PSBB berhasil menurunkan angka kasus Covid-19 di Jakarta secara siginifikan.

Jika di awal-awal kasus, penyebaran corona secara nasional 90 hingga 100 persen ada di Jakarta, saat ini sudah jauh berkurang. Kasus di Jakarta saat ini berkisar 6 ribu kasus. Sedangkan angka kasus nasional sudah mencapai angka 19 ribu kasus.  

"Artinya sudah di bawah sepertiga kasus. Tahapannya itu makin hari Jakarta gap-nya ditinggalkan oleh nasional, kesannya begitu kan. Bahkan lihat Jatim, Jabar pelan-pelan sudah membesar juga. Kalau digabungin sudah mendekati Jakarta," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (20/5/2020).

PSBB di Jakarta, sambungnya, berhasil mengurangi mobilitas penduduk. Hal ini kemudian berefek kepada jumlah kasus yang positif makin hari makin mengecil.

Dia yakin PSBB III Jakarta ini akan jadi yang terakhir jika bisa dilakukan secara konsisten.  Inkonsistensi muncul ketika ada kebijakan dari pusat yang bertentangan dengan regulasi yang ada di PSBB. Misalnya ketika pemerintah pusat mengizinkan sarana transportasi beroperasi secara terbatas.

"Kalau disiplin tidak digangguin, itu bisa. Cuma persoalannya di bandara itu orang masuk Jakarta atau enggak? Itu pertanyaannya," ujarnya.

Yang kedua, lanjut Edu Surya, saat ini tengah  masuk fase lebaran di mana orang mudik. Dengan begitu Jakarta kosong, potensi kasus Jakarta turun. "Tapi nanti pas baliknya itu akan akan melonjak karena banyak yang kembali ke Jakarta."

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Berdamai Berarti Menyerah?

Suasana lalu lintas di Tol Dalam Kota dan Jalan Gatot Subroto, Jakarta, yang macet pada Selasa (19/5/2020). Meski masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih berlangsung, kemacetan lalu lintas masih terjadi di Ibu Kota. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ede Surya menyatakan, konsep berdamai dengan corona kurang cocok. Dia meyakini pandangan itu muncul karena adanya desakan ekonomi dari banyak orang tidak bisa berjalan selama masa pandemi.  

"Bukan berdamai dengan corona. Tapi ada perubahan, kita enggak bisa hidup biasa lagi. Corona gak bisa diajak damai. Kita mesti hidup dengan cara baru yang tidak akan menularkan virus corona. Kalau damai itu ya sudahlah kita terima. Emang coronanya melemahkan diri, kan enggak. Kalau  corona bisa diajak bicara kita nego, sudah ya kita damai," jelasnya.

Dia menegaskan kondisi itu tentu tidak mudah. WHO dalam persyaratannya untuk menuju ke normal menyebutkan sejumlah hal. Yakni, pertama, transmisi terkendali. Tidak ada penularan baru, kalaupun ada satu dua se-Indonesia.

Dua, kapasitas sistem kesehatan berjalan dengan baik untuk mendeketeksi, melakukan testing, mengisolasi dan mengobati yang terkena kasus serta melakukan kontak tracing.

"Jadi kalau seseorang terkena Covid-19, Anda ketemu siapa, itu ditelusuri dengan baik. Kalau itu tidak berjalan susah," ujarnya.

Ketiga, risiko wabah sudah minimal. Seperti misalnya sudah memiliki kemampuan fasilitas kesehatan siap dan pelayanan di rumah. Rumah sakit  sudah siap di rumah sudah. "Pertanyannya apakah seluruh Indonesia sudah siap?" sambungnya.

Keempat, sambungnya, ukuran pencegahan sudah berjalan. Misalnya tempat kerja, sekolah dan lain yang esensial tempat orang pergi harus ada tempat cuci tangan bermasker dan lainnya.

kelima, resiko penting itu udah bisa dikelola, misalnya kalau ada lonjakan kasus sudah siap, tak ada lagi kekurangan APD, tak ada lagi petugas kesehatan yang kena. 

Keenam, komunitas dan masyarakat fully educated. Masyarakat sudah benar-benar dipahamkan, karena fully educated itu bukan lagi terdidik tapi paham, terkibat dan berdaya untuk melaksanakan new normal.

"Melihat parameter itu, sudah layak nggak Indonesia beranjak ke new normal?" pungkas Ede Surya Darmawan.

Peneliti yang juga Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan bahwa istilah berdamai dengan COVID-19 bukan berarti menyerah dan membiarkan diri tertular penyakit tersebut.

Amin mengatakan, World Health Organization telah menyampaikan bahwa virus corona penyebab COVID-19 akan sulit untuk benar-benar hilang karena mereka berasal dari alam.

"Yang bisa kita lakukan adalah bukan memusnahkan virusnya sama sekali, tetapi mencegah jangan sampai virus itu menyebabkan penyakit. Untuk itu tentu harus ada upaya untuk mencegah penularan, mencegah seseorang tidak tertular dan menularkan ke orang lain, dengan berbagai cara," kata Amin saat dihubungi oleh Health Liputan6.com pada Rabu (20/5/2020).

Amin mengatakan, upaya tersebut seperti apa yang telah dilakukan selama ini untuk mencegah virus influenza, HIV, atau penyakit lain yang bersifat luas seperti malaria. 

Amin mengatakan, yang dimaksud berdamai dengan COVID-19 bukan berarti menunggu herd immunity.

"Kalau kita sudah memiliki kekebalan juga tidak berarti bahwa kita bisa seenaknya. Artinya mungkin ada orang yang kebal tapi dia juga bisa menularkan kepada orang lain, orang lain ini yang mungkin akan menderita lebih berat," ujarnya.

"Jadi intinya adalah kita mesti menyesuaikan pola dan gaya hidup kita untuk mengantisipasi itu, misalnya secara umum dengan menjaga kesehatannya, lalu kalau vaksinnya sudah ada divaksinasi lebih baik, kalau ada gejala flu ya kita harus pakai masker."

Amin menegaskan bahwa yang dimaksud berdamai dengan COVID-19 bukan berarti menyerah terhadap virus tersebut dan membiarkan seseorang tertular. Hal ini bisa diartikan agar orang-orang tetap bisa menjaga dirinya dari penularan dengan segala upaya yang ada, meskipun virus tersebut sudah ada di dunia.

"Jadi memang berdamai, kemudian kita bisa hidup berdampingan dengan virus itu tanpa saling mengganggu."


Kerahkan Tokoh Masyarakat

Warga melakukan Rapid Test (tes cepat) mandiri COVID -19 secara drive thru di Akses Senayan Park Jalan Gerbang Pemuda, Jakarta, Kamis (23/4/2020). Drive thru Rapid Tes Covid -19 dibanderol dengan harga Rp 489.000, periode 17-30 April 2020 pukul 08.00-10.00 WIB. (merdeka.com/Arie Basuki)

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Suhaimi mengatakan, PSBB tahap III menjadi fase penentu penularan virus Corona di Jakarta. Dia meyakini PSBB menjadi instrumen penting memutus rantai penularan Covid-19.

"PSBB sangat efektif untuk menekan penularan Covid-19. Saya sarankan Pemprov tingkatkan kembali komunikasi dan edukasinya ke masyarakat agar PSBB tahab III menjadi PSBB pamungkas untuk DKI Jakarta," ujar Suhaimi, Rabu (20/5/2020).

Politikus PKS ini juga meminta agar distribusi bantuan sosial diutamakan di wilayah merah atau tingkat kasus penularan Covid-19 cukup tinggi sekaligus memastikan penerima bansos disiplin terhadap PSBB. Bagi warga yang tetap nekat berkegiatan di luar selama PSBB, Pemprov DKI diwajibkan memberi sanksi tegas.

"Harus diperketat dan bansos lebih fokus untuk daerah merah dengan catatan mereka betul-betul koperatif stay at home. Bagi yang melanggar PSBB dan itu membahayakan orang lain maka, harus diterapkan sanksi secara tegas," jelasnya.

Anggota DPRD DKI dari Fraksi Gerindra Syarif mengatakan, untuk memaksimalkan PSBB kali ini seluruh lini masyarakat diwajibkan mengambil peran secara konkret. Bahkan menurutnya, tokoh-tokoh masyarakat perlu untuk mengingatkan warga pentingnya PSBB.

"Harus mengerahkan segala kekuatan. Lini pemerintah dan tokoh tokoh masyarakat taat jalankan PSBB," kata Syarif.

Tokoh masyarakat yang dimaksud mulai dari tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan beberapa tokoh yang dianggap mampu menggerakan kesadaran warga akan bahayanya penularan Covid-19.

Lebih lanjut, ia menuturkan selama PSBB sejak April hingga saat ini, ada perubahan kebiasaan masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari. Terlebih pada PSBB kedua, Anies menerbitkan Pergub Nomor 41 Tahun 2020 tentang Sanksi Pelanggar PSBB.

"Ada (perubahan) tentu. Yang pertama kan lebih banyak unsur edukasi, yang kedua sudah ada tindakan dan sampai ketiga ini," ujarnya.

Kepala Dishub DKI Jakarta Syafrin Liputo menyatakan, ada penurunan jumlah angkutan umum di Jakarta saat pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).  Dia mengatakan biasanya jumlah rata-rata angkutan umum di Jakarta itu mencapai 1,8 juta setiap harinya.

"Pada masa PSBB, angka ini turun menjadi 231 ribu penumpang per hari atau 88 persen penurunannya," kata Syafrin Rabu (20/5/2020).

Selain itu, dia juga menyatakan jumlah penumpang yang menggunakan transportasi umum juga ikut mengalami penurunan sejak dilaksanakannya imbauan work from home (WFH).

Penurunan itu kata Syafrin, meliputi jumlah penumpang transportasi angkutan dan bus antar kota antar provinsi (AKAP).

"Pada masa WFH sudah turun 52,68 persen atau rata-rata menjadi 912 ribu penumpang dalam sehari. Rata-rata penumpang bus AKAP hanya 4,8 penumpang saja atau turun 92,8 persen," ucapnya.

Sementara itu, untuk pengawasan pelanggaran PSBB pihaknya bersama berkoordinasi dengan TNI dan Kepolisian untuk berjaga di 33 cek poin. Salah satunya yakni di 10 titik yang menjangkau jalan arteri di perbatasan Jakarta.

"Lima titik di ruas jalan tol (3 titik di Tol Dalam Kota dan 2 titik di Gerbang Tol Cikarang Pusat dan Cikupa). Enam titik di terminal dan 7 titik di stasiun kereta," jelasnya. 

Untuk PSBB tahap III, Syafrin menyatakan, akan ada tambahan petugas Satpol PP di 12 titik yang menjadi lokasi pemantauan pelanggaran arus keluar masuk.

Catatan lain dari PSBB I dan II Jakarta adalah masih banyaknya tingkat pelanggaran di lapangan. Menurut data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, hingga Selasa 19 Mei setidaknya ada 70.448 pelanggaran yang diberikan sanksi teguran. Data itu dihimpum dari Senin (13/4/2020) hingga Selasa (19/5/2020).

"Jumlah penindakan teguran di wilayah DKI Jakarta selama 37 hari sebanyak 70.448," kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Sambodo Purnomo Yugo, Rabu (20/5/2020).

Sambodo merinci jenis pelanggar yang paling banyak ditemui yakni pengendara tak memakai masker. Dia menyebut jumlahnya mencapai 29.806 pelanggar.

Selain itu, kendaraan yang melebihi kapasitas total 11.992 pelanggar. Selanjutnya, pengendara sepeda motor yang mengangkut penumpang tidak sama dengan KTP dengan jumlah 9.180 pelanggar.

Kemudian, pengendara sepeda motor yang berkendara tanpa mengenakan sarung tangan dengan jumlah 8.120 pelanggar. Sedangkan yang melanggar pembatasan jarak penumpang sebanyak 8.016 pelanggar.

Lalu, pengendara mengemudikan dengan suhu tubuh di atas normal sebanyak 1.409 pelanggar. Sambodo menerangkan, pihaknya masih menemukan pengemudi ojek online mengangkut penumpang sebanyak 1.138 pelanggar.

Juga pengendara yang berpoerasi melebihi jam operasional dengan total 787 pelanggar. Sambodo menyebut, sanksi yang diberikan pihak kepolisian kepada pelanggar berupa teguran tertulis.

“Semua pelanggar kami data, kami kasih teguran tertulis,” ucap dia.

Reporter: Giovani Dio Prasasti

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya