Gelombang Kedua Virus Corona COVID-19 Diprediksi Melanda Jepang

Gelombang kedua Virus Corona di Jepang akan terjadi meski saat ini sudah dianggap mampu melewati masa suram pandemi COVID-19.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 20 Mei 2020, 14:10 WIB
Pejalan kaki menunggu untuk menyeberang jalan di kawasan bisnis Shinjuku, Tokyo, Jepang, 17 April 2020. Banyak warga Jepang tidak mengindahkan imbauan untuk tetap di rumah setelah pemerintah mengumumkan darurat nasional akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Liputan6.com, Tokyo - Gelombang kedua infeksi Virus Corona COVID-19 diyakini akan melanda Jepang meskipun negara itu telah berhasil mencegah penyebaran COVID-19 yang eksplosif. Hal itu diyakini Kenji Shibuya, seorang profesor di sebuah lembaga Inggris.

Kenji Shibuya, direktur Institute for Population Health di King's College London, memperingatkan rasa puas yang dialami Jepang setelah dinilai mampu mencegah ledakan pandemi pada skala yang terlihat di banyak negara Barat, seperti mengutip Japan Times, Rabu (20/5/2020). 

"Akan berbahaya memiliki kesan seperti itu ketika gelombang infeksi (Virus Corona) berikutnya datang," katanya. 

"Pertarungan melawan virus ini benar-benar pertempuran jangka panjang, dan ini hanya akhir dari inning pertama," katanya sambil menggunakan metafora bisbol. 

Shibuya memuji langkah pemerintah untuk menahan kelompok infeksi selama tahap awal wabah Virus Corona COVID-19. 

Dia juga mengatakan upaya publik untuk tetap di rumah dan pernyataan pemerintah tentang keadaan darurat segera setelah angka infeksi mulai meningkat secara eksponensial telah membantu mencegah ledakan penyebaran Virus Corona.

"Kebiasaan Jepang seperti menggunakan masker dan tidak banyak berjabatan tangan mungkin juga berhasil secara positif, tetapi juga penting untuk melakukan physical distancing," katanya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pentingnya Infrastruktur Kesehatan

Ilustrasi masyarakat Jepang. (AFP)

Shibuya menekankan bahwa sangat penting untuk membangun sistem medis yang dapat menahan lonjakan jumlah pasien dan memperkuat pemantauan tren infeksi dengan menguji lebih banyak orang terhadap virus tersebut. 

"Meskipun Jepang mampu melalui masa terberat pandemi, sistem medis dan pengujiannya tidak cukup," katanya. 

"Sementara menginvestasikan sumber daya dalam pengujian pasien yang sakit parah itu sendiri benar, masalah terbesar dengan penyakit ini adalah bahwa mereka dengan gejala ringan atau tanpa gejala menularkannya kepada orang lain tanpa menyadarinya," jelasnya lebih lanjut. 

Dia menekankan perlunya beralih ke rezim pengujian lebih banyak orang, mengidentifikasi pasien yang terinfeksi dan mengisolasi mereka.

Shibuya juga meminta perusahaan untuk bekerja sama dengan meminta karyawan menjalani tes secara berkala terhadap virus tersebut.

"Itu akan mungkin untuk mengambil tes di rumah menggunakan sampel air liur," katanya.

Shibuya mengatakan Inggris terlambat membangun rezim pengujian meskipun penyebaran virus itu cepat di Italia dari Februari hingga awal Maret, menyebabkan krisis yang menyebabkan 34.000 kematian.

"Pemerintah menetapkan strategi pada 12 Maret untuk membiarkan banyak warga negara secara alami terinfeksi virus untuk mendapatkan kekebalan kawanan, tetapi mereka meremehkan dampak yang diperkirakan pada saat itu dan melihat penyebaran eksplosif virus di Italia dan negara-negara lain sebagai sesuatu yang tidak terkait," katanya. 

Inggris menyia-nyiakan waktu hingga enam minggu, karena baru memberlakukan lockdown pada 23 Maret, kata Shibuya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya