Balada Manusia-Manusia Karung di Semarang

Manusia karung bermunculan beberapa hari terakhir. Apa bedanya dengan pengemis?

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 20 Mei 2020, 22:21 WIB
Manusia karung semacam ini, saat ini bertebaran di jalanan kota Semarang. Dampak Pandemi Corona? (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Matahari masih terik. Maghrib masih lama. Rohmad sudah beristirahat di tepi jalan Majapahit Semarang. Ia mengaku tetap berpuasa ramadan meskipun layar gawai menunjukkan angka 34 derajat celcius.

Rohmad memang usianya sudah lanjut. Namun ia masih mampu mengayuh sepeda warna putih. Bagian belakang sepeda itu ia lengkapi dengan keranjang berisi karung. Ya, Rohmad adalah salah satu manusia karung yang belakangan jumlahnya meningkat.

“Saya baru dua bulan bekerja cari barang bekas dan juga cari sedekah,” kata Rohmad singkat.

Ia mengaku urban dari sebuah dusun di Grobogan. Sebelum ini ia ikut anaknya membantu bekerja di sebuah proyek pembangunan perumahan di kota Pekalongan. Meski sudah lanjut usia, ia bekerja membantu saja secara serabutan.

“Sedikit tapi ada pemasukan dan badan kan bergerak, jadi nggak sakit semua,” katanya.

Awal Maret, proyek perumahan tempatnya bekerja dihentikan pengerjaannya. Ia dan anaknya menganggur. Mereka pulang ke dusun dan bertahan mengerjakan apa saja yang bisa dilakukan.

Rupanya mereka salah perhitungan, pandemi corona memaksa mereka untuk bersilat otak mencari sumber penghasilan baru. Maka ia kembali ikut anaknya. Kali ini Semarang menjadi kota tujuan. Tentu puasa ramadan tetap dijalani.

“Istri saya sudah meninggal enam tahun lalu. Anak saya cuma satu dan belum menikah. Jadi dia nggak keberatan saya numpang hidup,” kata Rohmad.

Berbagai pekerjaan diburu. Tak ada yang bisa menampung dua orang ini. Persediaan uang menipis. Hingga mulai awal Mei mereka berdua memutuskan menjadi manusia karung.

“Jika ada pembagian sembako, kalau kami mendengar dan dekat biasanya ya kebagian. Nggak tahu dari pemerintah atau bukan, tapi banyak kok yang nasibnya seperti kami. Pembagian itu makin sering menjelang berakhirnya bulan ramadan,” katanya.

 

Simak video pilihan berikut


Pengemis ≠ Manusia Karung

Mereka yang sungguh-sungguh menjadi manusia karung untuk bertahan hidup, selalu memiliki peralatan tambahan baik sepeda maupun gerobak. (foto: Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Sejak pemberlakuan PSBB di kota-kota besar dan PKM di Semarang, memang muncul gerakan dari masyarakat untuk saling menolong. Mobilisasi donasi untuk disalurkan marak terjadi dimana-mana. Rohmad menjadi salah satu yang mendapatkan berkah ini.

“Saat ramadan seperti ini, kalau menjelang maghrib selalu saja ada yang memberhentikan saya. Entah memberi nasi bungkus, beras atau kadang uang. Kadang lima puluh ribu, kadang seratus ribu. Tapi tiap hari selalu ada,” katanya.

Manusia karung ini belakangan sangat berlimpah jumlahnya. Kelahirannya dibidani pandemi corona, dan sekarang mudah dijumpai di jalan-jalan protokol kota Semarang.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi sendiri mengaku sudah menyiapkan antisipasi dengan program lumbung kelurahan. Program ini memang menyasar siapapun yang tinggal di Semarang meskipun status kependudukan tidak ber-KTP Semarang.

“Ada bansos dari Presiden, Menteri, Pemprov, juga Pemkot Semarang. Jumlahnya mencapai ratusan ribu KK. Namun jika itu belum mencukupi dan masih ada yang tinggal di Semarang karena nggak bisa pulang kampung, tetap disediakan yang namanya Lumbung kelurahan,” kata Hendi.

Psikolog Probowatie Tjondronegoro menyebutkan bahwa banyaknya manusia-manusia karung ini sesungguhnya bersifat alamiah. Disebutnya bahwa mereka secara naluriah mengerjakan apapun untuk bertahan hidup.

“Naluriah saja. Saya tak yakin ini terkooordinir,” katanya.

 


Dirazia

Untuk membedakan manusia karung asli dan pengemis yang menyaru korban pandemi corona bisa dilihat dari jumlah karung dan isinya. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Meningkatnya populasi manusia karung itu memang sejak pandemi corona dan kebijakan perusahaan merumahkan bahkan mem-PHK buruhnya.

Nurchamid, seorang buruh di Semarang barat mengaku selain mencari sesuatu yang bisa dijual di loakan, ia juga menjalankan ojek online. Hanya saja saat ini oejk online menurun drastis.

“Tapi saya tak ikut memburu sumbangan atau sedekah,” katanya.

Meski demikian, ia kemanapun membawa karung juga. Jika seddang tidak ada tarikan dan menemukan barang yang bisa dijual, ia akan ambil.

“Kalau pas narik, barang itu saya simpan dulu. Saya sembunyikan di sebuah tempat,” katanya.

Satpol PP Kota Semarang tak hanya diam. Mereka juga menggelar razia bagi manusia-manusia karung ini. Namun ada perbedaan persepsi yang mendasari razia tersebut. Satpol PP menganggap bahwa manusia karung itu tak lebih dari pengemis musiman.

“Semua yang terjaring kita data dan kita beri pesan agar tak kembali ke jalanan. Selain itu ada penjelasan juga tentang bahaya corona,” kata Fajar Purwoto, Kepala Satpol PP Kota Semarang.

Atas hal ini, Wali Kota menyebutkan bahwa manusia karung yang sesungguhnya adalah warga yang terpaksa mencari sedekah dan barang-barang yang bisa diloakkan, nyatanya diikuti oleh para pengemis musiman dengan meniru modus mereka.

“Khusus untuk penduduk yang tinggal di Semarang, jika bukan pengemis jangan takut. Silakan lapor ke Kelurahan setempat. Lumbung Kelurahan bisa dimanfaatkan. Tapi ini tentu saja berbeda jika motivasinya memang mengemis,” katanya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya