Liputan6.com, Jakarta - Siapa yang ingat akan kompetisi online #PuisiDiRumahAja yang digelar Galeri Indonesia Kaya? Setelah kompetisi berakhir, event tersebut berlanjut dengan pertunjukan online yang menghadirkan para penulis puisi terpilih untuk membacakan karyanya.
Pertunjukan pembacaan puisi online itu berlangsung pada Kamis malam, 20 Mei 2020. Pertunjukan yang berdurasi sekitar 120 menit menampilkan 21 karya puisi yang terpilih dari 182 peserta kompetisi.
Baca Juga
Advertisement
"Senang rasanya melihat antusiasme yang tinggi dari para pecinta puisi dalam kegiatan ini. Semoga kegiatan ini dapat menghibur dan menginspirasi para penikmat seni yang sedang di rumah, untuk menuangkan dan mengasah kreativitas dalam menuliskan karya-karya sastra, terutama puisi," ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Kamis (21/5/2020).
Pertunjukan dibuka oleh lantunan suara vokalis Deredia, Louise Monique. Pertunjukan tersebut dipandu oleh Sita Nursanti dan ditemani oleh Bentara Bumi (founder Malam Puisi Indonesia) dan Putri Minangsari (co-founder Unmasked - Poetry Open Mic).
Para peserta terpilih berasal dari berbagai daerah dan latar belakang profesi, mulai dari petani di Tumenggung, guru di Karang Anyar, pedagang di Bali, mahasiswa di Blitar, ASN di Jakarta, dokter di Manado, hingga editor di Singapura. Para peserta ini menggambarkan pergolakan emosi, kepasrahan, dan berbagai sudut pandang mereka dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Salah satu yang menggelitik adalah puisi berjudul 'Manusia-Manusia di Balik Jendela' karya Theresia yang akrab disapa Rere. Ia berprofesi sebagai ASN di Jakarta yang kini berstatus sebagai anak kos. Dalam akun Instagramnya @whenscarves, ia menyebut puisi itu ditulis pada 14 Mei 2020. Seperti apa isinya?
Manusia-Manusia di Balik Jendela
Saya rindu rumah yang halamannya luas, lengkap dengan pohon kelengkeng, mangga, nangka, jambu, pisang yang panennya bergantian
Saya rindu meja makan kayu dilapisi kain batik dengan kursi yang berjajar
Saya rindu canda tawa, riuh celetukan dan pertanyaan basi seperti “kapan nikah?”
Saya rindu masakan ibu yang itu-itu saja dan rasanya tak lebih enak dari masakan saya sendiri
Saya rindu jogja
Saya rindu keluarga
Saya takut pada kemungkinan yang diuraikan dalam belasan webinar
Saya takut pada rasa nyaman yang menyebar setiap senja dari balik jendela dengan secangkir kopi atau kontemplasi
Saya takut peluk saya tak pernah sampai pada pemiliknya
Saya takut keadaan ini tak bisa berubah layaknya letak kasur dan dekorasi kamar berwarna jingga yang sewanya harus dibayar tiap bulan
Orang bilang saya beruntung,
tapi bagaimana bisa saya merasa baik-baik saja saat mata saya enggan memejam,
saat sekitar saya tabungannya menciut,
saat mereka yang peluhnya tak lagi bisa dihargai rupiah
Coba bagaimana?
Sulit sekali membayangkan yang indah-indah saat ini
Karena seberapapun banyaknya diromantisasi, pandemi ini menghancurkan peradaban cepat dan pasti, seperti perang melawan angin
Saya pernah percaya kalau kata menguatkan
Pun pernah yakin kalau ini hanya sementara, sebulan, dua bulan ya kalau sial sekali mungkin 3 bulan
Tapi bagaimana kalau ini bertahan selamanya?
Tapi di antara banyaknya ketakutan, kemarahan, kerinduan, kekecewaan
Ada berkat yang diselipkan Tuhan untuk kita yang negerinya ramah nan dermawan
Di antaranya eratnya rasa kemanusiaan.
Dalam tragedi yang merenggut nyawa dan mata pencaharian, orang-orang tersadar bahwa ia tak hanya hidup sendirian
Advertisement