Liputan6.com, Samarinda - Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia sangat berdampak bagi pelaku usaha terutama sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Selain kesulitan pemasaran, para pengusaha ini juga terhambat akibat penerapan pembatasan sosial.
Di Kalimantan Timur, sebagian pelaku usaha sudah mulai merumahkan karyawannya. Namun tidak sedikit pula yang terus berjuang agar operasional usaha tetap berjalan sehingga karyawan tetap mendapatkan haknya.
Berdasarkan catatan Direktur Eksekutif Dialogika, Dedy Pratama, pelaku usaha juga berharap ada relaksasi aturan bagi pengusaha UMKM. Lembaga riset dan data yang berbasis di Kaltim itu meminta pemerintah untuk memberikan kelonggaran bagi pengusaha agar usaha tetap jalan.
Baca Juga
Advertisement
“Dari dialog yang kita lakukan dengan para pengusaha UMKM, mereka berharap ada kelonggaran dalam berusaha, bisa dalam bentuk memperbolehkan membuka outlet di pusat keramaian, atau mengizinkan makan di tempat bagi pelaku usaha kuliner,” kata Dedy Pratama, Kamis (21/5/2020).
Cepat atau lambat, tambah Dedy, pola hidup baru selama pandemi dan setelahnya harus mulai disosialisasikan di tengah masyarakat lebih cepat. Sehingga perputaran ekonomi bisa berjalan dan menyesuaikan norma hidup yang baru.
“Cepat atau lambat, istilah the new normal itu adalah sebuah keniscayaan dan kita tidak bisa menghindarinya,” sebutnya.
Dedy menjelaskan, pandemi ini mungkin bisa berakhir lebih cepat, namun ancaman virus akan terus menghantui masyarakat sampai ada cara paling ampuh mencegahnya. Pencegahan berupa vaksin juga masih dalam tahap penelitian sehingga Covid-19 menjadi ancaman nyata masa depan ekonomi Indonesia.
“Kita minta dengan sangat agar pemerintah segera mensosialisasikan maksud dari kalimat berdamai dengan corona itu. Sehingga relaksasi bagi pelaku usaha bisa segera terealisasi,” kata Dedy.
Simak juga video pilihan berikut
Pengusaha Kuliner Berharap Diijinkan Makan di Tempat
Pengusaha kuliner di Kabupaten Kutai Kartanegara, Muhammad Wahib Herlambang, berharap pemerintah segera memberikan kemudahan bagi pelaku usaha kuliner. Salah satunya mengijinkan makan di tempat.
“Kami tak hanya jualan makanan, namun juga jasa menyediakan tempat warga untuk makan. Kita berharap ada relaksasi bagi pengusaha seperti kami bisa membuka gerai yang mengijinkan pengunjung tak harus membawa pulang,” kata Wahib saat berdiskusi daring di forum yang dilaksanakan Dialogika.
Soal ketentuan pelaksanaan agar sesuai dengan protokol kesehatan, Wahib mengaku siap menerapkan. Bahkan jika harus menyiapkan tempat yang lebih luas agar pengunjung bisa berjarak, Wahib mengaku bersedia.
“Paling penting itu apa regulasinya, kami harus seperti apa, tapi kalau terus-terusan dilarang tentu kami akan sulit berkembang dan gulung tikar,” kata Wahib yang merupakan penyintas Covid-19.
Pelaku usaha lainnya, Fidriansyah, juga berharap hal serupa. Pemilik usaha suvenir ini juga meminta ada relaksasi di tengah aturan pembatasan sosial.
“Usaha kami sangat tergantung dari acara-acara yang digelar masyarakat seperti perkawinan atau hajatan lain. Selama pandemi, hajatan dilarang. Kami berharap ada kelonggaran untuk itu,” kata Fidri, pemilik Mutiara Souvenir yang berbasis di Samarinda.
Fidri mengakui, akibat pembatasan sosial, usahanya berjalan tertatih. Padahal, usaha suvenir ini memiliki efek hingga ke tingkat pengrajin.
“Pembuatan suvenir terhenti dari pengrajin karena kami tidak memesan lagi. Sedangkan stok di toko kami juga menumpuk,” sebutnya.
Kini Fidri berharap banyak pada pesanan parsel jelang lebaran. Paket-paket parsel dalam berbagai kemasan sudah dibuat untuk dipesan warga yang ingin berbagi saat lebaran.
Nasib paling buruk dialami oleh pengusaha percetakan. Selama pandemi, nyaris tidak ada pesanan sama sekali.
Padahal biasanya selama Bulan Ramadan, pesanan spanduk maupun percetakan lainnya sangat ramai hingga kewalahan. Hal ini dialami oleh Al Amin, pengusaha percetakan asal Solo, Jawa Tengah.
“sama sekali tidak ada, berhenti total, tidak ada pesanan,” keluh Al Amin.
Beruntung dia masih bisa melayani pesanan pembuatan masker dalam jumlah besar. Usaha percetakannya beralih fungsi memproduksi masker.
“Alhamdulillah masih ada pesanan skala besar yakni masker merah putih, karyawan saya alihkan ke sana sehingga masih bisa menghasilkan,” katanya.
Advertisement
Berjuang Tidak Merumahkan Karyawan
Dua bulan lebih pandemi Covid-19 telah melanda Indonesia. Beragam peraturan terkait pembatasan sosial membuat pelaku usaha kelabakan menjalan usahanya.
Tak sedikit yang memilih merumahkan karyawan agar tidak menjadi beban biaya operasional. Ada pula yang mengakalinya dengan mengatur pembagian waktu kerja.
Muhammad Wahib Herlambang misalnya, terpaksa merumahkan karyawan di beberapa outlet usaha kulinernya. Sebab jika dipaksakan, outlet tersebut akan selalu disubsidi.
“Tidak ada pilihan lain, sebagian dirumahkan. Sebagian lagi kita perbantukan di outlet pusat,” kata Wahib.
Wahib bukan tanpa usaha. Dia berusaha kreatif menjalan usahanya agar tetap menghasilkan omzet yang lumayan. Namun, usaha itu gagal karena usaha kuliner membutuhkan jasa makan di tempat.
“Kita berharap ada relaksasi aturan sehingga kalaupun kami harus berjualan dengan gerobak keliling, akan tetap dilakukan, asal diijinkan saja,” katanya.
Lain halnya dengan Fidriansyah, meski tidak merumahkan karyawan, dia terpaksa harus mengatur jadwal kerja sebaik mungkin. Kompensasinya adalah karyawan hanya menerima gaji 80 persen dari biasanya.
“Kalau biasanya dijaga beberapa karyawan, sekarang kita atur shift-nya bergantian misalnya tiga hari masuk, tiga hari tidak,” kata Fidri.
Soal Tunjangan Hari Raya (THR), keduanya bersepakat sedang mengupayakan meski nantinya menggunakan skema pembayaran khusus. Pemerintah sendiri membolehkan mencicil THR, namun harus ada kesepakatan antara pengusaha dan karyawan.