Liputan6.com, Boston - Sebuah penelitian besar terhadap 96.032 pasien terinfeksi virus corona yang dirawat di rumah sakit menemukan bahwa obat antimalaria hydroxychloroquine dan chloroquine tidak bermanfaat bagi pasien yang memakainya.
Sebaliknya, mereka yang menerima salah satu obat memiliki risiko kematian yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak meminumnya --dengan beberapa kasus melaporkan kaitan dengan komplikasi jantung, menurut jurnal yang diterbitkan oleh the Lancet pada 22 Mei 2020, seperti dikutip dari the Business Insider, Sabtu (23/5/2020).
Advertisement
Studi retrospektif mengawasi pasien selama empat bulan di enam benua. Mereka menemukan bahwa obat dikaitkan dengan peningkatan frekuensi detak jantung yang abnormal.
Hydroxychloroquine dan chloroquine mendapat perhatian di awal pandemi sebagai pengobatan potensial untuk COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh virus corona baru.
Obat itu disetujui oleh sejumlah otoritas kesehatan untuk penggunaan lain tetapi tidak untuk pengobatan COVID-19. Namun, beberapa pemimpin dunia, seperti Presiden AS Donald Trump dan Presiden RI Joko Widodo pernah mendorong penggunaan obat itu sebagai pengobatan medis pasien virus corona.
Analisis Riset
Riset melihat total 96.032 pasien yang dirawat di rumah sakit, dengan 14.888 di antaranya mendapat perawatan obat hydroxychloroquine atau chloroquine; hydroxychloroquine dan antibiotik macrolide; serta chloroquine dan macrolide selama empat bulan. (Macrolide adalah jenis antibiotik yang mencakup azitromisin).
Penulis riset menyebut tidak dapat menemukan manfaat pada mereka yang diberi perawatan dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima kombinasi apa pun. Sebaliknya, penelitian ini menemukan peningkatan frekuensi detak jantung abnormal pada mereka yang menerima obat. Mereka yang menerima obat memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak minum obat, jurnal itu menyebutkan, seperti dikutip dari Business Insider.
Para pasien datang dari 671 rumah sakit dari enam benua, dan penelitian ini dipimpin oleh para peneliti di Brigham's and Women Hospital di Boston, Massachusetts. Hasil riset diterbitkan pada Jumat 22 Mei di jurnal the Lancet. Meskipun itu bukan uji coba terkontrol secara acak, ini adalah studi terbesar dari jenisnya pada pasien COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh virus corona baru.
Kendati demikian, ada batasan untuk analisis. Itu adalah pengamatan di lapangan (tidak terkontrol), meskipun uji coba terkontrol secara acak --yang sebelumnya menempatkan pasien baik untuk pengobatan atau kontrol plasebo secara acak-- sedang berlangsung.
Simak video pilihan berikut:
Obat yang Menarik Perhatian
Di awal pandemi, obat itu menarik perhatian dokter, ahli, dan sejumlah negara, termasuk pemerintahan Presiden AS Donald Trump sebagai pengobatan virus corona yang potensial. Beberapa hasil awal yang menjanjikan mengenai obat ini diterbitkan pada akhir Maret 2020.
Presiden Donald Trump pada awal pekan ini mengatakan, dia mengonsumsi hydroxychloroquine setiap hari selama satu setengah minggu.
Studi tambahan, bagaimanapun, telah meragukan seberapa efektif obat ini dalam mengobati virus corona baru. Percobaan klinis yang berlangsung di Brasil dihentikan pada April setelah lonjakan kematian di antara pasien yang telah menerima obat.
Obat belum disetujui oleh Administrasi Makanan dan Obat AS (FDA) untuk pengobatan COVID-19.
Sementara itu, dua penelitian observasional, yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine dan Journal of American Medical Association, menemukan bahwa di antara ribuan pasien virus corona yang dirawat di rumah sakit yang menerima obat antimalaria hydroxychloroquine, tidak lebih baik atau lebih buruk daripada pasien yang tidak menerima obat.
Advertisement