Liputan6.com, Semarang - Mbah Alwi sejak pagi sudah bangun. Ia mandi dan berdandan seperti biasanya hari lebaran. Pagi ini, Minggu (24/05/2020) ia akan memimpin salat Idulfitri. Tak main-main ia akan jadi khatib sekaligus imam.
Saat semua beres, di ruang tengah yang cukup besar istri dan dua anaknya yang belum berkeluarga sudah menunggu. Salat dilakukan di ruang tengah rumahnya yang cukup luas.
“Tak apa di rumah. Boleh kok. Malah dianjurkan,” katanya.
Seumur-umur ia yang bacaan salatnya tak lancar, baru kali ini menjadi imam salat idul fitri. Sehari sebelumnya, ia sudah belajar banyak hal tentang tata cara menjadi imam salat idulfitri. Termasuk menyiapkan khotbahnya.
Baca Juga
Advertisement
“Baru kali ini. Tapi ini baik, saya bisa menyampaikan hal-hal baik pesan lebaran sesuai para khatib,” katanya.
Mbah Alwi yang berusia 67 tahun ini tinggal di pinggiran kota Semarang Timur. Ia sebelumnya tak kenal gawai, karena setiap hari pekerjaannya hanya membuat batu bata. Namun dua bulan ini ia selalu menenteng gawai. Bukan keluaran terbaru, tapi masih bagus dan lancar.
“Dikirimi anak saya yang di Surabaya. Katanya larangan keluar rumah masih berlangsung lama. Saya kemudian minta diajari anak-anak,” katanya.
Usai salat idulfitri, Mbah Alwi mengajak semua berkumpul. Atas inisiatif anaknya, mereka menggelar video conference. Seru, karena mbah Alwi masih gagap dengan peralatan komunikasi modern ini.
“Saya paham, memang semua demi kebaikan maka nggak bisa sungkeman seperti biasa. Tadi kami juga makan opor dan ketupat sambil telponan dengan gambar,” kata mbah Alwi.
Nano, anak bungsunya memang belum menikah. Ia pula yang meminta mbah Alwi menggelar video conference. Alasannya sederhana.
“Setidaknya bapak lebih ayem kalau melihat anaknya yang di rantau sehat dan tetap beridulfitri dengan gembira,” katanya.
Simak video pilihan berikut
Nonton video di Youtube
Di balik revolusi kehidupan mbah Alwi dari masyarakat rural menjadi masyarakat urban ini, Nano memang sangat sibuk melobi kakak-kakaknya yang di rantau. Ia sendiri tak cukup punya uang untuk membelikan gawai.
Nano sehari-hari membantu mbah Alwi membuat batu bata. Ia bertugas mengaitutuduk tanah hingga menjadi sangat liat dan nantinya akan dibakar. Tiga kakaknya berada di luar kota. Kehidupan mereka lebih baik dibanding yang ada di rumah Semarang.
“Kakak saya ada yang berjualan tahu gimbal di Surabaya. Ada juga yang menjadi sopir di Jakarta. Semua lebih mapan hidupnya dan rutin membantu kami di Semarang. Jadi saya berani mintakan hape untuk bapak,” katanya.
Berlebaran virtual dengan aplikasi di gawai menjadi pilihan saat Semarang dikurung pandemi covid-19. Kabar terakhir, Pasar Kobong yang menjadi sentra penjualan ikan dan hasil laut ditutup karena ada 26 pedagang yang reaktif saat dilakukan tes cepat.
Mbah Alwi juga menyebutkan bahwa kesehatan dan keselamatan menjadi yang utama. Saat menyiapkan nasihat bagi anak-anaknya baik yang dirantau maupun yang ada di rumah, ia bercerita tentang Gus Dur.
“Saya ini orang bodoh. Tapi setelah dibelikan hape, saya melihat video Gus Dur dicarikan anak saya. Gus Dur bilang lebih penting keselamatan daripada ritual. Saya tak paham maksudnya, trus nanya ke anak saya,” katanya.
Setelah kenal gawai dan berada dalam tekanan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM), bagaimana dengan produktivitas kerjanya.
“Sama saja. Yang nggak boleh kan kumpul ramai-ramai. Kalau kerja bikin bata kan hanya saya dan anak saya saja. Itupun kami sibuk sendiri-sendiri dengan jarak berjauhan,” kata Mbah Alwi.
Jadi apa kesimpulan lebaran di tengah kepungan virus corona ini?
“Jadi ngerti kenapa anak-anak muda suka pegang hape berlama-lama dan tak akrab dengan cangkul mengaduk lumpur dan sekam untuk batu bata. Tapi nanti kami akan jualan dengan hape juga,” katanya.
Advertisement