Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan telekomunikasi asal Malaysia, Axiata, kabarnya tengah dalam pembicaraan untuk mengakuisisi operator Indonesia. Operator yang disebut-sebut akan dicaplok itu memiliki skala lebih kecil ketimbang XL Axiata, anak usaha Axiata yang beroperasi di Indonesia.
Kepada Reuters, CEO Axiata Jamaludin Ibrahim menyebut, pembelian saham salah satu operator telekomunikasi Indonesia ini dilakukan untuk memangkas biaya dan persaingan di pasar terbesar ketika pandemi Covid-19.
Baca Juga
Advertisement
Perlu diketahui, di Indonesia, pasar telekomunikasi dari segi jumlah pengguna, masing-masing dikuasai oleh PT Telekomunikasi Indonesia (melalui Telkomsel), XL Axiata, Indosat Ooredoo, Smartfren, dan Tri Indonesia.
"Kecuali untuk pemain terbesar, saya bisa katakan bahwa saat ini kami tengah berbicara dengan semua pihak untuk semacam pengaturan (penjajakan kesepakatan bisnis)," kata CEO Axiata Jamaludin Ibrahim, sebagaimana dikutip dari Reuters, Selasa (26/5/2020).
Jamaludin juga menegaskan, pihaknya tidak berencana mengakuisisi dua operator telekomunikasi Indonesia, melainkan hanya satu.
Cuma Mau Akuisisi Satu Operator
"Saya tidak memiliki bayangan untuk membeli dua (operator)," katanya.
Sekadar informasi, dari segi kapitalisasi pasar, PT Indosat memiliki Rp 10,68 triliun. PT Smartfren memiliki nilai pasar Rp 21 triliun. Sayangnya Tri Indonesia tidak menyebutkan berapa kapitalisasi pasarnya.
Jamaludin mengatakan, grup Axiata sendiri memiliki kapitalisasi pasar sekitar USD 8 miliar atau setara Rp 118 triliun.
Advertisement
Berminat Akuisisi Operator di Negera Lain
Tidak hanya mencoba menjalin kesepakatan bisnis dengan salah satu operator di Indonesia, Axiata juga berupaya menjajaki kesepakatan dengan operator di Malaysia dan juga Sri Lanka.
Perlu diketahui, selain beroperasi di Indonesia dan Malaysia, Axiata juga memiliki bisnis di Bangladesh, Kamboja, Nepal, Pakistan, Myanmar, Thailand, Laos, dan Filipina.
"Saya harap sebelum saya pensiun, salah satu kesepakatan di negara entah Malaysia, Indonesia, atau Sri Lanka bisa terjadi. Apalagi, Covid-19 membuat konsolidasi kian dibutuhkan lebih dari sebelumnya. Oleh karenanya, kami terus berdiskusi dengan sejumlah pihak," katanya.
(Tin/Why)