Liputan6.com, Jakarta - Liputan6.com beberapa waktu lalu mengadakan sesi wawancara khusus dengan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Roni Dwi Susanto, terkait keterlibatan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam pemaketan barang dan jasa untuk pemerintah.
Peran serta UMKM dalam hal ini rupanya sangat dibutuhkan oleh pemerintah yang kini tengah menggaungkan gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia. Namun demikian, kontribusinya masih belum sekuat perusahaan-perusahaan besar.
Advertisement
Bagaimana isi wawancara tersebut? Simak petikannya berikut ini:
Bagaimana peran LKPP mendorong tumbuh kembang UMKM di Indonesia?
Jadi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018, terlihat bagaimana di dalam sana LKPP mendorong tumbuh kembangnya UMKM. Jadi kita tahu di Indonesia ini jumlah UMKM cukup besar sekali, hampir sekitar 60 juta pelaku. Ada aturan dalam Perpres 16/2018 pasal 4, itu mencakup tentang tujuan pengadaan, itu salah satunya adalah meningkatkan peran serta usaha mikro, kecil dan menengah. Lalu di pasal 5, itu jelas sekali bahwa kebijakan pengadaan barang dan jasa meliputi memberikan kesempatan kepada UMKM.
Kita tekankan lagi, di pasal 20 ayat 2, dalam pemaketan barang dan jasa itu sebesar-besarnya agar diarahkan kepada usaha kecil. Kemudian clear tentang usaha kecil di pasal 65, memperluas peran serta usaha kecil. Pemaketan dilakukan dengan menetapkan pemaketan sebanyak-banyaknya paket untuk usaha kecil, tapi tidak mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan usaha, kesatuan sistem, dan kualitas kemampuan teknis.
Dengan nilai paket pengadaan juga di situ ditekankan paket untuk usaha kecil itu Rp 2,5 miliar. Lalu untuk usaha menengah, yang biar tidak disebutkan dalam Perpres tapi kita mengklasifikasikan batas omzetnya Rp 50 miliar.
Jadi ada beberapa hal yang kita perhatikan. Usaha kecil harus didorong menjadi porsi terbesar dalam pengadaan barang pemerintah. Jadi harus dipastikan, LKPP sebenarnya adalah satu-satunya lembaga yang ditugaskan untuk menyusun kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Jelas di dalam Perpres-nya kita dorong untuk memperluas peran serta usaha kecil, kita mencantumkan barang dan jasa usaha kecil dalam e-catalog elektronik, tapi jangan bilang semua bisa masuk e-catalog elektronik.
Jadi kita dorong teman-teman UMKM, tolong di tempat Pak Teten (Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki) semua display-nya UMKM. Tapi kalau di e-catalog itu jelas barangnya bisa berstandar. Kedua, ada kegiatan yang berulang. Ketiga, memang ada kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah yang membutuhkan barang itu.
Dorongan yang lain lagi, mereka punya sistem kontrak. Di dalam pekerjaan yang besar, mereka enggak mampu tadi jadi subcontract-nya dari usaha non-kecil yang dapat mendukung kemitraan dalam kerjasama yang lain. Ada cukup besar peluang yang diberikan. Aplikasi Sirup juga menyediakan informasi, jadi lewat sirup.lkpp.go.id, itu ada sistem informasi pengadaan yang harus diisi oleh kementerian atau lembaga dan (pemerintah) daerah di awal tahun, di akhir tahun itu mereka sudah isi, dan bisa dilihat betapa paket pengadaan yang bisa dicadangkan untuk usaha kecil. Jadi dari sisi aplikasi pun kami sudah mencoba untuk memfasilitasi kewajiban yang sudah ditulis oleh Presiden, dan tolong dipastikan bahwa kementerian atau lembaga loh demand-nya, bukan LKPP. Jadi LKPP menyiapkan aplikasi dan sistemnya, tetapi yang belanja kementerian atau lembaga.
Apakah sudah banyak produk UMKM yang tayang di e-catalog pengadaan barang dan jasa?
Saat ini sudah tayang sekitar 70 komoditas, dimana 77 persen atau 54 komoditas itu komoditas penyediaan UKM. Kalau produknya di e-catalog itu 221.467. sebanyak 51,5 persen itu produk UMKM, dan penyedianya ada 1.748 yang 45 persen itu penyedianya UMKM. Produknya bisa mulai dari alat perkantoran, ada bidang-bidang konsumsi, meubelair, peralatan pertanian, buku pelajaran sekolah. Elektronik jaran, karena itu sebagian besar pasti usaha besar. Tapi alat kesehatan non-hightech, itu bisa disediakan oleh usaha kecil menengah, dan itu ada di dalam e-catalog itu.
Jadi ada sebanyak sekitar 10 komoditas, termasuk konsumsi makan atau minum di jamuan rapat yang kami tanggungkan. Jadi kalau untuk keperluan rapat, kami sediakan itu daftar usaha kecil, mikro menengah yang dapat dibeli kalau kantor mengadakan rapat.
Jadi katalog itu ada tiga, nasional, sektoral, lokal. Jadi yang lokal itu diharapkan produk-produk lokal di daerah yang hanya melayani kebutuhan lokal seperti kayu, itu kan banyak kerajinan lokal yang dibutuhkan pemerintah. Itu seharusnya didorong oleh teman-teman pemerintah daerah membuat katalog lokal.
Apakah sudah banyak kementerian yang membeli produk UMKM melalui lelang di LKPP?
Jadi pengadaan itu metodenya tidak hanya elektronik ya. Itu bisa melalui tender, tender cepat, pengadaan langsung yang tidak dibatasi nilainya, bisa juga pengadaan langsung yang di bawah Rp 200 juta, dan katalog atau e-purchasing.
Dari data kami yang melalui UMKM, yang melalui tender itu sekitar Rp 15,3 triliun, dan dimenangkan oleh mereka. Tender cepat sebesar Rp 988 miliar. Pengadaan secara langsung itu ada Rp 1,6 triliun. Penunjukan langsung Rp 1 triliun. Yang melalui e-catalog sendiri kecil, Rp 788 miliar.
Jadi sangat riskan kalau kita masukan semua barang di e-catalog. Karena syaratnya barangnya bisa berstandar, kebutuhannya berulang, ada kementerian atau lembaga yang membutuhkan, informasinya juga harus disiapkan dari awal.
Kalau untuk variasi kementerian dan lembaga mana saja yang ikut serta itu ada datanya di kami, tapi rata-rata hampir sama karena harus kami paketkan, saat ini jumlahnya 43 persen. Semua kementerian atau lembaga mencadangkan untuk pengadaan barang dan jasa secara nasional.
Tapi yang secara elektronik, itu totalnya sekitar Rp 17,06 triliun lah yang digunakan oleh perusahaan kecil. Mereka perusahaan kecil loh, bukan menengah loh, itu usaha kecil saja. Karena kewajiban kita adalah usaha kecil yang harus kita dorong. Jumlahnya kalau dari teman-teman UMKM cukup besar sekali sekitar 60 juta. Yang besar itu hanya 0,01 persen dari pelaku usaha yang ada di Indonesia.
Perbandingan antara pelaku usaha kecil dan non-kecil, itu prosentasenya seberapa besar?
Kalau kita lihat dari rencana pengadaannya, itu antara 44 yang usaha kecil, berarti 56 yang usaha besar. Itu dari rencana pengadaannya ya. Usaha besar itu dari jumlahnya sedikit, tapi dari nilai usahanya besar. Untuk yang UMKM, jadi misalnya kita punya belanja totalnya Rp 63,8 triliun, itu UMKM yang melalui e-purchasing atau e-catalog itu hanya 22,2 triliun. Kecil sekali, karena di e-catalog kan tidak bisa semua usaha mikro bisa masuk. Bukan berarti kita membuat barrier, tapi banyak kementerian atau lembaga yang tidak bisa dipenuhi oleh UMKM belanjanya.
Advertisement
Apakah LKPP berkoordinasi dengan Kementerian Koperasi dan UKM mengenai kriteria UMKM yang bisa masuk dalam e-catalog?
Sudah. Jadi kami masih bikin produk dalam negeri bersama Menko Marinvest, Menko Perekonomian, pak Teten. Untuk produk UMKM kita sudah berkoordinasi (dengan Menteri Koperasi dan UKM) sebelum zaman Pak Teten. Sehingga kalau lihat taging di kita tuh ada lokal impor. Tapi sekarang kita kembangkan laman UMKM, kita mulai dengan identifikasi barang-barang dan jasa yang dibutuhkan pemerintah. Jadi LKPP sekali lagi memfasilitasi barang dan jasa yang memang dibutuhkan pemerintah. Jangan sampai semua orang pingin masuk LKPP, di LKPP tidak mendorong UMKM. Semua UMKM dibutuhkan pemerintah, tapi tidak semua pemerintah butuh barang dan jasa produk UMKM.
Misalnya tukang tambal ban, itu kan usaha kecil. Kan tidak ada pemerintah yang melakukan tender atau e-purchasing jasa tambal ban. Atau dicontohkan juga kerupuk, tidak ada pemerintah yang secara spesifik haru membeli kerupuk itu. Tapi kalau ada pemda yang membutuhkan itu, toh mereka bisa melakukan tender, pengadaan langsung, pengadaan tidak langsung. Jadi jangan semua dimasukan ke dalam katalog.
Kemudian kami juga ada identifikasi barang dan jasa yang dibutuhkan pemerintah, kami juga melakukan rapat-rapat untuk melihat potensi produksi dan rantai pasok untuk melihat kebutuhan UMKM, karena belum tentu UMKM bisa memenuhi kebutuhan pemerintah, sehingga mungkin ada satu level lagi di atasnya yang bisa mengkoordinir dan bisa memberikan quality product sekaligus mengontrolnya, ini loh yang dibutuhkan pemerintah. Nanti saya yang jualin, kamu jual berapa saya bayar berapa. Karena pemerintah juga kan tidak langsung bisa dapat barang hari ini bayar hari ini, sementara UMKM kita kan barang dijual terima uang. Pemerintah barang ada dulu baru dibayar.
Kalau masuk katalog otomatis kita harus punya identitas mereka, yang kadang-kadang UMKM itu banyak yang sifatnya perorangan. Sehingga pada saat masuk katalog, jangan lupa katalog diklik, orang mau beli dia tidak melayani. Itu malah memberikan sanksi kepada dia. Bukan kami mempersulit UMKM masuk ke dalam e-catalog, kami juga dorong BUMN dan BUMD untuk beli barang UMKM.
Apakah ada mekanisme UMKM ini mendapat proyek langsung tanpa tender untuk mempercepat?
Jadi sangat memungkinkan sekali, yang terpenting satu, identifikasi kebutuhan. Kami selalu mendorong kementerian/lembaga, (pemerintah) daerah, tolong analisa identifikasi kebutuhannya, baru penyedianya bisa enggak dari teman-teman UMKM. Ternyata ada kebutuhan barang, misalkan penyedianya ada 10. Kalau kita tunjuk salah satu kan enggak fair juga, sementara kebutuhannya masih lama. Jadi terpaksa harus tender.
Tapi bukan berarti tender itu harus harga murah ya. Harga murah dan tercepat itu berarti barangnya sudah terstandar. Jadi otomatis kalau kita jual sama-sama sepatu Bata, mereknya sama, toko yang termurah yang kita beli.
Apakah ada produk UMKM yang seharusnya masuk pengadaan, tapi belum tersedia?
Saat ini kalau saya telusuri ada sekitar 13 lebih (produk yang sudah tersedia). Saya urutkan saja ya, konsumsi/makanan minuman yang memang itu kebutuhan dasar, terus kemudian batik, meubelair atau peralatan kantor dan sekolahan, terus ada juga peralatan pertanian yang sederhana, kemudian bibit benih tanaman itu banyak UMKM (sebagai penyedia), barang-barang seminar gate, kemudian alat kesehatan yang non-hightech seperti keranjang untuk teman-teman yang sakit, buku pelajaran sekolah, alat peraga edukatif, peralatan permainan, dan juga jangan lupa ada konstruksi yang juga bisa dikerjakan oleh usaha kecil.
Ada juga pengantaran barang atau kurir yang bisa dikerjakan usaha kecil. Terus kemudian ada juga jasa properti, ada juga jaringan IT maupun terkait mekanikal, itu bisa juga diterapkan oleh usaha kecil. Itu yang ada saat ini. Jadi semua peluang itu ada di usaha kecil juga bisa dikerjakan, kecuali misalkan produk-produk tertentu, obat-obatan jenis tertentu.
Apa pesan untuk para pelaku UMKM yang mau masuk ke dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah?
Sangat penting sekali mendorong UMKM untuk bisa terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Namun, perlu disadari bahwa di dalam prinsip pengadaan, kita tetap memastikan bahwa prinsipnya harus efisien. Terus harus transparan, semua orang bisa akses dan adil, semua orang punya kesempatan yang sama, dan dipastikan nanti terjadi persaingan. Dan proses pengadaan kita juga harus akuntabel. Dan satu lagi kita mengharapkan semua kementerian/lembaga dalam sistem pengadaan, dan teman-teman UMKM tahu tujuan pengadaan.
Teman-teman UMKM juga harus tahu tujuan pengadaan. Yang nomor satu kita dorong UMKM untuk terlibat. Tapi ada 6 prinsip. Yang pertama tepat dari sisi kuantitasnya, jadi kalau pemerintah pesan 1.000 ya mereka harus bisa adakan 1.000. Terus kemudian kualitasnya, terus kemudian waktu dibutuhkannya tepat, lalu nilai harganya. Nilai harganya bukan yang murah ya sekali lagi, biaya yang tepat itu misalnya oh iya pantes ini harganya Rp 60 ribu, dibandingkan impor yang 50 ribu. Karena ini lokal jadi kita harus prioritaskan yang lokal. Dan yang terakhir, penyedianya juga tepat. Jangan sampai walau usaha kecil, jari enggak mungkin saya mau ke tukang jahit untuk pesan pakaian dan seragam, tetapi saya pesannya ke tukang bangunan. Jangan sampai ada usaha kecil yang palu gada, apa lu minta gua ada. Enggak bisa.
Kami ingin UMKM berbenah. Dan saya yakin teman-teman di kementerian/lembaga sudah banyak sekali yang membina UMKM. Kita ingin UMKM kita bangkit dengan menunjukan kualitas. Tidak perlu yang langsung bersaing dalam artian mengalahkan produk impor, tapi dengan keberpihakan kita bangga dengan buatan Indonesia itu penting
Advertisement