Liputan6.com, Jakarta - Opini Oleh: Taufan Hariyadi (Jurnalis Televisi, Pengajar Komunikasi Jurnalistik Universitas Satya Negara Indonesia)
Di sektor bisnis, Covid-19 meluluhlantakan hampir semua entitas, bahkan ada yang sampai “berdarah-darah” laju kasnya. Bagaimana dengan bisnis televisi? Ya sama saja.
Advertisement
Sebagai entitas bisnis media massa, bisnis televisi teresterial (Free To Air/FTA) ikut terguncang, utama televisi dengan genre berita.
Para penggiat media massa mulai berteriak, negara harus hadir menyelamatkan pilar demokrasi keempat itu. Sejumlah skenario ditawarkan, salah satunya mendesak pemerintah segera memungut pajak dari platform digital global seperti Google, Amazon, Facebook, Instagram, dan lainnya yang sudah menikmati keuntungan di Indonesia.
1. Bagi dunia penyiaran televisi berita nasional, keberadaan new media digital kian menggerus popularitas Televisi berita FTA. Kue iklan pun pelan-pelan bergeser ke platform digital global itu.
Sepanjang Juli 28-Juni 2019, belanja iklan pada media digital sebesar Rp 9,3 triliun atau sekitar 6% dari total belanja iklan media televisi, cetak, dan radio.
2. Bahkan Data www.nielsen.com menyebutkan, hingga akhir 2019 belanja iklan di media digital naik hingga Rp 13,3 triliun atau meningkat hingga 7 persen dari total belanja iklan.
Angka itu terbilang kecil dibandingkan nilai belanja iklan televisi 2019 yang mencapai Rp 143 triliun atau 85 % dari porsi belanja iklan.
3. Namun nilainya akan terus membesar, sementara di ruang teresterial belanja iklan kemungkinan akan menurun akibat hempasan Covid-19 di sektor industri.
Agus Sudibyo dalam Jagat Digital (2019) melihat ada kesadaran dari pemilik produk bahwa mereka cukup beriklan di platform new media dengan sasaran audiens yang lebih presisi.
Lalu bagaimana sikap kita sebagai entitas bisnis televisi, utamanya televisi berita melewati covid-19 ini?
Mediamorfosis Televisi
Profesor komunikasi massa pada Universitas Colorado AS, Roger Fidler (2003) sudah menggambarkan bahwa media massa akan mengalami perubahan bentuk akibat munculnya teknologi komunikasi baru.
Fidler menyebutnya Mediamorfosis, yaitu transformasi media komunikasi akibat hubungan timbal balik yang rumit antara tekanan persaingan serta (munculnya) berbagai inovasi sosial dan teknologi.4)
Ada 3 tahap dalam ber-mediamorfosis yang kini sedang terjadi.
1. Koevolusi, yaitu muncul dan berkembangnya setiap bentuk baru (teknologi komunikasi) yang mempengaruhi perkembangan bentuk (media) lain yang sudah ada. New media mempengaruhi televisi berita FTA untuk memiliki wajah lain di platform digital itu.
Konten FTA akan diolah sedemikian rupa untuk didistribusikan kedalam paltform new media.
2. Konvergensi, yaitu konsep penggabungan, persilangan, perkawinan atau media campuran yang mengintegrasikan dua bentuk komunikasi atau lebih yang menghasilkan transformasi dan penciptaan entitas baru.
Bisnis Televisi berita FTA kini menyasar ke new media dengan mendistribusikan konten teresterialnya ke platform tersebut. Dari sini televisi Berita bisa mendapat iklan/pendapatan dari sebuah “entitas baru”.
3. Kompleksitas, yaitu menggambarkan suasana di sekeliling akan tampak chaos (bisa penolakan atau kebingungan) akibat tekanan-tekanan eksternal dari penemuan (media) baru.
Media konvensional harus menghadapi new media sebagai kompetitor yang juga kolaborator, kawan sekaligus juga lawan.
Sebelum new media muncul, persaingan televisi berita FTA hanya antar FTA saja. Sekarang zona kompetitor meluas, multiplatform, FTA vs FTA sekaligus juga berhadapan dengan new media.
New media mengambil penonton media konvensional tetapi juga menumbuhkan penonton baru dan ceruk pasar audiens baru.
Berdamai dengan “Frenemy”
Dalam 3 tahun terakhir, sebenarnya media televisi berita FTA di Indonesia sudah memanfaatkan new media seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan YouTube. New media digunakan sebagai:
1. Etalase publikasi promo program FTA dalam bentuk flyer (brosur digital) maupun cuplikan video pendek
2. Saluran baru distribusi konten FTA
3. Saluran distribusi konten baru khusus untuk platform new media saja. Pendapatan dari ceruk bisnis baru itu pun mulai dibukukan.
Dari situs www.socialblade.com, sejumlah televisi berita sudah merasakan hasil dari kanal new media digital tiap bulannya. Pendapatan Kompas TV dari YouTube dengan 5,4 juta subscriber sekitar 51 ribu - 815 ribu dolar AS.
YouTube CNN Indonesia dengan 5,4 juta subscriber sekitar 26 ribu - 419 dolar AS. YouTube tvOne dengan 3 juta subscriber sekitar 19 ribu - 312 ribu dolar AS. Youtube Metro TV News dengan 2,2 juta subscriber sekitar 9 ribu – 144 ribu dollar AS (diakses pada 16 Mei 2020, pukul 12.00 wib).
4. Hubungan televisi berita FTA dengan new media ibarat “benci tapi rindu”
New media menggerus bisnis dan popularitas televisi berita, sementara televisi berita memanfaatkan new media untuk menghasilkan peluang bisnis baru.
Nikos Smyrnaios (2015) dalam Journalism facing The Internet Oligopoly: Google, Facebook, and News Infomediation, menyebut hubungan “benci tapi rindu” itu menciptakan ruang Coopetision (cooperation sekaligus competition).
Televisi berita FTA memanfaatkan new media sebagai cooperation (kerjasama), di sisi lain new media dianggap sebagai competition (kompetitor).
5. Boleh dibilang hubungan televisi berita FTA dengan new media masuk dalam ruang “Frenemy”, kawan (friend) sekaligus lawan (enemy)
New media sebagai kawan karena keberadaannya memberikan kemudahan dalam distribusi konten televisi berita FTA. Sebagai lawan, new media bertarung dengan Televisi berita FTA dalam memperebutkan perhatian khalayak, data pengguna, dan kue iklan.
Advertisement
Gamang Digital
Jadi, tekanan bisnis televisi berita di tengah krisis pandemi ini, sesungguhnya gelombang tekanan kedua. Sebelumnya, penetrasi new media yang kian populer di masyarakat sudah menekan bisnis televisi berita.
Saat itu menjadi alarm bagi bisnis televisi berita untuk memaksimalkan adaptasi. Penggunaan new media secara maksimal bisa berpeluang menjadi ceruk income baru.
Televisi berita masih terjebak pada glorifikasi bisnis masa lalu. Sebagian penggiat senior televisi berita FTA sadar tsunami digital new media ada di depan mata, tetapi menyangkal gelombang itu akan menyapu kekuatan bisnis mereka.
Sebagian yang lain meyakini new media bisa mengganggu bisnis televisi berita FTA, tetapi manajemannya hanya menguatkan sektor redaksinya demi menahan hempasan gelombang new media.
Ada semacam kegamangan atau kebingungan berpikir pada sebagian praktisi televisi berita FTA saat menghadapi kekuatan new media.
Melawan arus kekuatan new media bukanlah pilihan realistis, tetapi mencoba “berdamai” dengannya memunculkan peluang baru. Klaus Schwab (2016) dalam World Economic Forum meyakinkan bahwa inti dari revolusi 4.0 adalah inovasi kolaboratif.
6. Bagi mereka yang malas belajar, pandemi adalah akhir dari segalanya
Bagi mereka yang mau mencari pelajaran, pandemi adalah momentum memperbaiki diri dan melihat peluang baru. Pandemi covid-19 adalah momentum bagi siapapun untuk belajar “colab” jika tak ingin “collapse”, tantangannya adalah old management.