Liputan6.com, Cirebon - Momen Lebaran Idul Fitri di Cirebon masih terasa meski di tengah suasana Pandemi Covid-19. Sejumlah tradisi masih digelar di Keraton Kasepuhan Cirebon setelah Lebaran Idul Fitri.
Seperti yang dilakukan Keraton Kasepuhan menggelar tradisi syawalan yang digelar tujuh hari setelah Lebaran. Keraton Kasepuhan Cirebon menggelar Lebaran Ketupat.
Baca Juga
Advertisement
"Sebagai rasa syukur setelah puasa sunah syawalan 6 hari setelah Idul Fitri kami gelar Lebaran Ketupat," kata Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat, Minggu (31/5/2020).
Dalam pelaksanaan tradisi ini, keluarga dan kerabat keraton membuat masakan yang berpadu dengan Ketupat. Masakan ketupat kemudian dikirim ke Masjid Agung Sang Cipta Rasa berusia 500 tahun.
Masakan Ketupat juga dikirim ke Masjid Pejlagragan yang berusia 500 tahun, Langgar Agung, Ketandan dan situs lain yang di bawah naungan Keraton Kasepuhan.
Dia mengatakan, masakan ketupat juga dibagikan kepada warga serta abdi dalem Keraton Kasepuhan Cirebon.
"Kami Idul Fitri belum makan ketupat, baru sekarang syawalan lebaran ketupat," ujar Sultan Arief.
Dia menjelaskan makna ketupat berasal dari kata "kupat". Kupat dalam sebuah frase ngaku lepat atau mengaku bersalah.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Makna Filosofis
Sementara janur atau daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kepanjangan dari kata Jatining Nur yang berarti Hati Nurani.
"Makna secara filosofis beras yang dimasukan dalam anyaman ketupat menggambarkan nafsu duniawi," ujar dia.
Dengan demikian, bentuk ketupat dalam tradisi Lebaran Ketupat di Cirebon melambangkan nafsu dunia yang dibungkus hati nurani.
Namun demikian, bagi sebagian masyarakat Cirebon, bentuk ketupat persegi diartikan dengan kiblat papat limo pancer. Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin utama yakni timur, barat, selatan, dan utara.
"Artinya, ke arah manapun manusia akan pergi ia tak boleh melupakan pancer atau kiblat," jelas Sultan Arief.
Rumitnya anyaman janur untuk membuat ketupat merupakan simbol dari kompleksitas masyarakat saat itu. Anyaman yang melekat satu sama lain merupakan anjuran bagi seseorang untuk melekatkan tali silaturahmi tanpa melihat perbedaan kelas sosial.
"Tapi ceritanya jadi lain ketika terjadi krisis di saat lebaran dan jurang sosial pun jadi jelas," ujar dia.
Advertisement