Liputan6.com, Jakarta - Pelarian mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiono berakhir di tangan tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Nurhadi dan Rezky merupakan buronan dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA.
Advertisement
"Tim berhasil menangkap DPO (buronan). Lokasi (penangkapan) pada sebuah rumah di bilangan Jaksel (Jakarta Selatan)," ujar Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango saat dikonfirmasi, Selasa (2/5/2020) dini hari.
Nawawi menyebut, penangkapan terhadap Nurhadi terjadi pada Senin, 1 Juli 2020 malam. Dia mengapresiasi kinerja tim penyidik yang bekerja keras dan berhasil menyeret Nurhadi ke markas antirasuah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Tadi usai maghrib saya diminta teman-teman satgas penyidik untuk ke kantor, berdiskusi rencana penangkapan. Terimakasih dan penghargaan kepada rekan-rekan penyidik dan unit terkait lainnya yang terus bekerja sampai berhasil menangkap NHD (Nurhadi) dan menantunya, RH," kata Nawawi.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Buronan Sejak 13 Februari
Nurhadi dan Rezky dijerat sebagai buronan pada 13 Februari 2020 bersama dengan tersangka lain, yakni Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (PT. MIT) Hiendra Soenjoto. Mereka dijadikan buron lantaran tak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan tim penyidik KPK sebagai tersangka.
Nurhadi cs dijerat sebagai tersangka pada, Senin 16 Desember 2019. Saat itu Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang menyampaikan penetapan tersangka terhadap Nurhadi cs.
Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan perkara dari operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus pengaturan perkara di Mahkamah Agung pada 2016 lalu.
Ketika itu, KPK melakukan OTT yang menjerat Edy Nasution selaku Panitera PN Jakarta Pusat, dan pegawai PT Artha Pratama Doddy Aryanto Supeno. Dalam perjalanannya, KPK juga menjerat Eddy Sindoro yang merupakan mantan Presiden Komisaris Lippo Group.
Eddy Sindoro dijerat KPK pada 21 November 2016. Eddy Sindoro sempat melarikan diri ke luar negeri. Dia menyerahkan diri pada Oktober 2018, dan kini telah divonis bersalah dalam kasus ini.
Semasa KPK merampungkan berkas Eddy Sindoro, Nurhadi dan istrinya, Tin Zuraida yang merupakan Staf Ahli Bidang Politik dan Hukum Kementerian PANRB sempat beberapa kali diperiksa sebagai saksi.
Pemanggilan Nurhadi saat itu berkaitan dengan dugaan penemuan aliran uang yang mencurigakan. Sepanjang 2004-2009, aliran uang yang masuk di rekening Tin mencapai Rp 1 miliar sampai 2 miliar. Sedangkan periode 2010-2011, ada belasan kali uang masuk ke rekening Tin dengan nilai Rp 500 juta.
Nurhadi juga terdeteksi pernah memindahkan uang Rp 1 miliar ke rekening Tin. Tin juga pernah menerima Rp 6 miliar melaui setoran tunai pada 2010-2013.
Tak hanya aliran uang yang mencurigakan, saat KPK menggeledah kediaman Nurhadi di Hang Lekiu, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada April 2016, tim lembaga antirasuah menemukan uang sebesar Rp 1,7 miliar dalam enam pecahan mata uang asing.
Sebagian uang tersebut ditemukan tim KPK di toilet. Tin saat itu akan membuang uang-uang tersebut ke toilet untuk menghilangkan barang bukti. Tak hanya itu, Tin juga merobek, membasahi hingga membuang beberapa dokumen ke tong sampah.
Advertisement
Jadi Tersangka Sejak November 2019
KPK kemudian meminta pihak Imigrasi Kemenkumham untuk mencegah Nurhadi ke luar negeri. Tiga tahun berselang, November 2019, KPK akhirnya menjerat Nurhadi sebagai tersangka suap dan gratifikasi sebesar Rp 46 miliar.
Tak terima dijerat KPK, Nurhadi mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada Desember 2019. Nurhadi tak sendiri, dia mengajukan gugatan praperadilan bersama menantunya, Rezky Herbiono dan Direktur PT MIT Hiendra Soenjoto.
Namun pada 21 Januari 2020, hakim tunggal PN Jaksel Akhmad Jaini menolak gugatan yang dilayangkan Nurhadi cs.
Tak patah arang, Nurhadi kembali mengajukan gugatan praperadilan yang kedua. Masih melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, Nurhadi mengajukan gugatan praperadilan yang kedua pada 5 Februari 2020 dan ditolak PN Jakarta Selatan pada 16 Maret 2020.
Di tengah pengajuan gugatan praperadilan yang kedua, KPK terus berupaya memanggil dan memeriksa Nurhadi cs. Namun permintaan tim penyidik KPK tak diindahkan oleh Nurhadi cs.
KPK pun menerbitkan surat Daftar Pencarian Orang (DPO) dan surat perintah penangkapan untuk Nurhadi cs. Dalam proses penerbitan DPO, KPK telah mengirimkan surat pada Kapolri pada Selasa, 11 Februari 2020 untuk meminta bantuan pencarian dan penangkapan terhadap para tersangka tersebut.
Penerbitan surat DPO dilakukan setelah sebelumnya KPK telah memanggil para tersangka secara patut. Namun ketiganya tidak hadir memenuhi panggilan tersebut.
Penetapan DPO terhadap Nurhadi sesuai ketentuan pasal 112 ayat (2) KUHAP. Pasal 112 ayat 2 berbunyi setiap orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Dihargai Senilai iPhone 11
Menjadi buronan KPK, Nurhadi sempat dihargai dengan iPhone 11. Adalah Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) yang menggelar sayembara tersebut. MAKI siap memberikan hadiah iPhone 11 untuk mereka yang mengetahui keberadaan Nurhadi.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat itu berterimakasih kepada MAKI yang membuat sayembara tersebut. Menurut Nurul Ghufron, partisipasi masyarakat akan mempermudah penegak hukum menangkap buronan tersebut.
Namun penetapan status DPO terhadap Nurhadi sempat dipertanyakan pengacara Nurhadi dalam proses praperadilan, Maqdir Ismail. Menurut Maqdir, KPK berlebihan menetapkan Nurhadi sebagai buron. Menurut Maqdir, Nurhadi ada di Jakarta.
Pernyataan yang dilontarkan Maqdir pun langsung disambut Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri. Ali meminta Maqdir mendatangi markas antirasuah dan memberitahukan kepada tim lembaga antirasuah soal keberadaan Nurhadi.
Ali Fikri juga mengingatkan kepada para pihak yang menyembunyikan keberadaan buronan dapat dijerat dengan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Soal penjeratan Pasal 21 UU Tipikor, KPK pernah menjerat advokat Fredrich Yunadi dan Lucas.
Pasal 21 UU Tipikor berbunyi, Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
Advertisement
Diburu ke Jatim hingga Puncak Bogor
Semasa menjadi buronan, KPK berkali-kali mengejar keberadaan Nurhadi namun sulit menemukan. KPK sempat gagal menangkap Nurhadi yang dikabarkan berada di kediaman mertuanya di Tulungagung, Jawa Timur.
KPK sempat menggeledah kediaman ibu dari Tin Zuraida, istri Nurhadi di Tulungagung dalam rangka menemukan keberadaan Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiono yang masih buron.
"Tentunya adalah penyidik dalam rangka pencarian terhadap DPO. Memang informasi terakhir (di) Tulungagung tidak mendapatkan para DPO (Nurhadi maupun Rezky Herbiyono)," ujar Ali Fikri, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu 26 Februari 2020.
Menurut Ali, setelah tim gagal mendapatkan Nurhadi di Tulungaggung, tim penyidik bergerak menuju sejumlah tempat lainnya di Jawa Timur. Yakni menuju kediaman adik ipar Nurhadi di Surabaya. Namun lagi-lagi saat itu tim gagal menemukan Nurhadi.
Selain itu, tim penindakan juga sempat mengejar Nurhadi yang dikabarkan berada di sebuah villa di Puncak, Bogor. Namun tim hanya menemukan belasan kendaraan mewah.
"Ada beberapa motor mewah belasan jumlahnya, motor gede. Kemudian ada empat mobil mewah yang terparkir di gudang di sebuah villa yang diduga milik tersangka NHD (Nurhadi)," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, di Gedung KPK, Senin 9 Maret 2020) malam.
KPK juga berusaha untuk meminimalisir pergerakan Nurhadi. Salah satunya dengan cara memblokir rekening dirinya dan menantunya, Rezky Herbiono. Tak hanya itu, KPK juga menerima laporan yang dilayangkan MAKI terkait salinan tiga kwitansi pembelian apartemen yang diduga dilakukan Nurhadi.
Teranyar, KPK sempat memanggil pengacara Hardja Karsana Kosasih, pada Rabu, 20 Mei 2020 kemarin. Pemanggilan Kosasih untuk menandatangani berita acara penyitaan dokumen terkait aset milik mantan Sekretaris MA Nurhadi.
Ali Fikri sempat menyebut tengah mendalami aset-aset milik Nurhadi yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Ali tak menutup kemungkinan akan menjerat Nurhadi ke dalam Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Tidak menutup kemungkinan dapat pula dikembangkan ke pasal TPPU jika ditemukan bukti permulaan yang cukup baik saat penyidikan maupun fakta-fakta dipersidangan nantinya," kata dia.