Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyebut tim penyidik masih terus mendalami dugaan adanya pihak yang melindungi mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi selama pelarian sebagai buronan kasus korupsi.
"Kami sampai saat ini masih dalam proses pemeriksaan. Apakah selama DPO, yang bersangkutan dilindungi, dibantu ataupun kemudian difasilitasi persembunyiannya oleh pihak-pihak lain," ujar Ghufron di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (2/6/2020).
Advertisement
Ghufron menyebut, jika nantinya dugaan tersebut terbukti, maka KPK akan menjerat pihak yang turut menyembunyikan Nurhadi dengan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut disematkan kepada pihak yang menghalangi, merintangi, dan menghambat proses penyidikan.
"Maka kepada pihak-pihak tersebut tentu akan kami tindak tegas menggunakan Pasal 21 tersebut," kata dia.
Ghufron menyebut pihaknya sudah menerima berbagai informasi selama masa pelarian Nurhadi. Dia menegaskan, setiap informasi yang diterima akan ditelusuri lebih dalam untuk menemukan fakta.
"Kalau info-info tentu sampai saat ini tentu kami terima, akan kami himpun itu semua. Yang penting info tersebut tentu perlu dikroscek dengan hasil pemeriksaan, dengan alat bukti lain, maupun tersangka yang sudah di tangan kami. Tentu kami akan lanjutkan itu," kata Ghufron.
Nurhadi dijerat sebagai tersangka karena yang bersangkutan melalui menantunya, Rezky Herbiono, diduga telah menerima suap dan gratifikasi dengan nilai Rp 46 miliar. Suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA.
Tercatat ada tiga perkara sumber suap dan gratifikasi Nurhadi, pertama perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara, kedua sengketa saham di PT MIT, dan ketiga gratifikasi terkait dengan sejumlah perkara di pengadilan.
Rezky diduga menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari Direkut PT MIT Hiendra Soenjoto untuk mengurus perkara itu. Cek itu diterima saat mengurus perkara PT MIT vs PT KBN.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kronologi penangkapan Nurhadi
Tim penindakan KPK menangkap mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiono. Keduanya merupakan buronan kasus dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut, pihak lembaga antirasuah menetapkan Nurhadi dan Rezky sebagai buronan sejak Februari 2020. Selain keduanya, KPK juga menyematkan status buron terhadap Direktur PT MIT Hiendra Soenjoto.
"Sejak ditetapkan DPO, penyidik KPK dengan dibantu pihak Polri terus aktif melakukan pencarian terhadap para DPO antara lain dengan melakukan penggeledahan rumah di berbagai tempat baik di sekitar Jakarta maupun Jawa Timur," ujar Ghufron dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (2/6/2020).
Ghufron menceritakan awal penangkapan terhadap Nurhadi dan Rezky. Sekitar pukul 18.00 WIB, Senin 1 Juni 2020, tim KPK mendapat informasi dari masyarakat mengenai keberadaan Nurhadi dan Rezky.
Selanjutnya tim bergerak ke Jalan Simprug Golf 17 Nomor 1 Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan yang diduga digunakan sebagai tempat persembunyian Nurhadi dan Rezky. Sekitar pukul 21.30 WIB, tim KPK mendatangi rumah tersebut untuk melakukan penggeledahan.
"Awalnya tim KPK bersikap persuasif dengan mengetuk pagar rumah namun tidak dihiraukan," kata dia.
Menerima sedikit perlawanan dari Nurhadi, tim dengan didampingi ketua RW setempat dan pengurus RT melakukan upaya paksa membongkar kunci pintu gerbang dan pintu rumah tersebut.
"Setelah tim KPK berhasil masuk ke dalam rumah, disalah satu kamar ditemukan NHD (Nurhadi) dan dikamar lainnya ditemukan RHE (Rezky) dan langsung dilakukan penangkapan terhadap keduanya," kata Ghufron.
Usai penangkapan, keduanya digelandang ke markas antirasuah untuk pemeriksaan lebih lanjut demi kepentingan penyidikan.
Kedua tersangka diduga menerima hadiah atau janji terkait dengan Pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT KBN (Persero) kurang lebih sebesar Rp 14 miliar; Perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp 33,1 Miliar dan Gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan kurang lebih Rp 12,9 miliar, sehingga akumulasi yang di duga diterima kurang lebih sebesar Rp 46 Miliar.
Advertisement