Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan sampai dengan 26 Mei, restrukturisasi kredit perbankan mencapai Rp 517,2 triliun dengan total 5,3 juta debitur.
Dari jumlah itu, Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, menyebutkan sebesar Rp 450,6 triliun diantaranya berupa UMKM dengan jumlah debitur sebanyak 4,5 juta debitur.
"Sedangkan non UMKM restrukturisasinya sudah Rp 266,5 triliun untuk 780 debitur, ini baru di perbankan," ujarnya usai Rapat Terbatas, Rabu (3/6/2020).
Baca Juga
Advertisement
Sementara untuk lembaga atau perusahaan pembiayaan, per 31 Mei telah direstrukturisasi senilai Rp 75,08 triliun dengan nasabah 2,4 juta kontrak.
"Sedangkan di perusahaan pembiayaan masih ada 538 ribu kontrak yang masih dalam proses persetujuan," imbuh Wimboh.
Dalam realisasinya, OJK menemukan bahwa nasabah baik di sektor keuangan perbankan maupun keuangan non bank yang sudah tidak mampu lagi membayar kredit pokok maupun bunganya, sehingga akan mempengaruhi likuiditas.
"Ini kenyataannya bahwa di sektor keuangan perbankan dan lembaga keuangan non bank ini ternyata banyak nasabah yang memang tidak mampu lagi membayar pokok dan bunganya, untuk itu baik di skema restrukturisasi maupun tidak direstrukturisasi likuiditasnya pasti terganggu," bebernya.
Skema Likuiditas
Untuk itu, OJK menyambut baik berbagai skema likuiditas BI dengan penurunan GWM hingga Quantitative easing, sehingga likuiditas secara agregat dapat terjaga.
"Bagi bank yang mengalami likuiditasnya mismatch bisa menjual surat hutangnya, merepokan kepada BI,"
"Khusus bank yang apabila tidak bisa memenuhi skema likuiditas yang ditentukan oleh BI, maka ada skema yang disiapkan Kemenkeu yakni likuiditas darurat melalui bank peserta," imbuhnya.
Advertisement