Liputan6.com, Jakarta - Industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) telah memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sepanjang tahun 2019, industri yang didominasi oleh pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ini telah berkontribusi terhadap penerimaan cukai negara sebesar Rp 426,6 miliar.
Namun, pertumbuhan industri ini kerap mengalami hambatan lantaran belum memiliki regulasi khusus yang dapat menjamin kepastian usaha.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Supriadi, menyatakan industri HPTL perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah berupa regulasi untuk menjamin kepastian usaha.
“Pelaku usaha belum mendapatkan kepastian usaha. Regulasi yang ada baru Peraturan Menteri Keuangan. Sebenarnya investasi untuk industri ini terbuka, tidak seperti rokok. Saya dengar keluhan asosiasi. Jangan sampai sudah investasi besar, lalu nanti akhirnya dilarang,” kata Supriadi dalam Dialog Industri: Ketahanan Industri UMKM Vape di Tengah Pandemi COVID-19.
Sampai saat ini, pemerintah baru mengatur industri HPTL melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/2018 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Baca Juga
Advertisement
Sedangkan aturan mengenai produk dan industrinya belum ditetapkan oleh pemerintah. Produk HPTL juga perlu diatur dari aspek kesehatan, seperti pencantuman peringatan kesehatan yang berbeda dengan rokok. Pasalnya, sejumlah hasil riset yang sudah dipublikasikan membuktikan bahwa produk ini memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan rokok.
Menurut Supriadi, industri HPTL perlu diatur ke dalam regulasi yang lebih tinggi seperti Undang-Undang atau Peraturan Presiden sehingga menciptakan kepastian usaha. Sebab, saat ini sudah ada sekitar 2,2 juta pengguna produk HPTL berdasarkan data Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI).
Data tersebut juga menunjukkan jumlah pelaku usaha industri HPTL lokal yang signifikan, yaitu terdapat sekitar 5.000 pengecer, 300 produsen likuid, dan 100 produsen alat dan aksesori. Adapun jumlah tenaga kerja yang terserap sudah mencapai sekitar 50.000 orang.
“Kalau dilihat, industri ini cukup berkembang pesat sehingga kita harus melindunginya. Industri HPTL memiliki potensi cukup besar, di samping penerimaan negara, ada tenaga kerja. Kita tidak bisa menghalangi teknologi seperti ini,” tambah Supriadi.
Standardisasi Produk HPTL
Selain regulasi dari aspek kesehatan, pemerintah juga diharapkan menetapkan standardisasi produk HPTL.
“Kami sudah memulai untuk membuat standar dalam rangka menciptakan kepastian usaha. Kami sudah membahas dengan Badan Standardisasi Nasional. Mudah-mudahan tahun ini standar akan kami buat dan selesai tidak ada halangan,” ujar Supriadi.
Staf Khusus Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pengembangan industri dan Kawasan, I Gusti Putu Suryawan, menambahkan bahwa standardisasi produk HPTL diperlukan untuk menciptakan kepastian usaha bagi industri HPTL.
“Ini yang sedang kami dorong melalui Kemenperin, produk yang baik dan benar standarnya seperti apa? Ini yang harus ditetapkan,” katanya.
Sejauh ini, Putu melanjutkan, dirinya sudah secara intensif membahas industri HPTL dengan Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Bambang Adi Winarso.
“Kami sudah cukup intens berkomunikasi. Saya sampaikan ini yang harus mulai (pembahasan) dari industri karena kepentingan dari sisi alat dan ekstrak. Mereka (pelaku usaha) takut investasi di sini karena belum ada kepastian usaha,” tambah Putu.
Dengan berbagai potensi yang ada, menurut Putu, Indonesia perlu bergerak cepat dalam memanfaatkan peluang dari industri HPTL. Jika terlambat memberikan kepastian usaha, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi produk HPTL dari luar negeri.
“Jangan sampai sudah keburu banjir dan tata niaga banjir dari luar, kita hanya jadi pengguna. Kita memang harus segera, mungkin kalau perlu, ada gugus tugas vape," pungkasnya.
Advertisement