Liputan6.com, Aceh - Seorang pemuda berinisial RA (21) di Aceh terancam hukuman cambuk 90 kali atau 90 bulan penjara akibat menyetubuhi seorang gadis. Namun, hukuman tersebut bisa saja bertambah mengingat polisi menjerat pelaku dengan pasal berlapis.
RA sendiri merupakan pemuda asal Kecamatan Tanah Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara. Ia menyetubuhi korban pada Jumat (10/4/2020).
Sebelumnya, pelaku menjemput korban dari rumahnya pada waktu tengah malam. Karena korban disebut-sebut memiliki hubungan asmara dengan pelaku, ia menurut saat dijemput.
Baca Juga
Advertisement
Korban tak sadar jika dirinya akan menjadi objek pelampiasan nafsu pelaku. Gadis berstatus pelajar itu pun disetubuhi di bawah paksaan.
Pada akhirnya, korban mengadukan apa yang telah menimpa dirinya kepada orangtuanya. RA pun dilaporkan ke Polres Aceh Utara, lantas diciduk pada Selasa (14/4/2020).
Penyidik menjerat tersangka dengan pasal 47 juncto pasal 26 Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Pada pasal 26, ancaman hukumannya berupa cambuk hanya sebanyak 45 kali atau penjara selama 45 bulan, sementara, pasal sebelumnya, 90 kali cambuk atau 90 bulan penjara.
"Berkas perkaranya dinyatakan sudah lengkap atau P21 oleh kejaksaan, untuk itu, kemarin unit PPA menyerahkan tersangka ke pihak Kejari Aceh Utara," ungkap Kasat Reskrim, AKP Rustam Nawawi, dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Kamis (4/6/2020).
Pandangan yang berbeda terkait hukuman terhadap pelaku datang dari Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul. Hukuman tersebut dinilai terlalu ringan dan tidak tepat.
"Apa yang dilakukan pelaku terhadap anak di bawah umur itu masuk dalam kategori kekerasan seksual, karena itu disetubuhi. Yang paling tepat ialah menggunakan UUPA, itu bisa sampai dengan 15 tahun hukuman," jelas Syahrul ditemui di ruang kerjanya, Kamis sore.
Banyak hak anak yang akan hilang jika pelaku hanya dijerat dengan kedua pasal dalam qanun tersebut. Berbeda halnya jika pelaku dikenakan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) yang berlaku di Indonesia.
"Pada pasal yang dikenakan kepada pelaku, korban tidak ada hak restitusi, kalau UUPA ada," kata Syahrul.
Ia berharap pertimbangan-pertimbangan seperti pentingnya menghukum pelaku dengan hukuman terberat serta jaminan adanya hak restitusi terhadap korban membaik dapat mengubah sudut pandang aparat penegak hukum.
Jumlah kasus kekerasan seksual di daerah dengan tingkat hukuman rendah seperti itu disebut Syahrul memang meningkat akhir-akhir ini. Penyebabnya tentu saja karena tidak ada efek jera terhadap para pelaku.
"Karena daerah tersebut ngotot memakai qanun untuk menghukum pelaku kekerasan seksual," ketus dia.
Baginya, terkesan ada yang tidak sinkron antara cita-cita negara yang terus membenahi aturan agar pelaku kekerasan seksual dihukum berat serta menjamin adanya hak korban dengan implementasi hukuman di tingkat daerah.
"Aparatnya seolah tidak punya semangat untuk menghukum pelaku. Bahwa dalam hal juga ada hak korban yang perlu dijamin," dia memungkasi.