Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diharapkan segera menerapkan kebijakan energi alternatif yang terintegrasi dan konsisten. Ini mengingat kebijakan energi juga akan turut mendukung ketahanan cadangan devisa.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finaance (Indef) Ucok Pulungan mengatakan, energi alternatif lain dimaksud selain gas seperti energi angin maupun air.
Advertisement
Dia mengingatkan, meski dari sisi program banyak namun dari sisi dampak dan juga penggunaan masih sangat minim.
"Misal, sebenarnya pembangkit listrik tenaga bayu sudah dikembangkan di Sulsel. Tinggal diperbanyak. Program energi alternatif lain udah ada, karena itu jangan lagi menjadi wacana saja," kata Ucok di Jakarta.
Dia juga mengingatkan, pelemahan nilai tukar Rupiah selain dampak kebijakan impor BBM tinggi juga karena kebijakan di sektor rill.
Misalnya ekspor yang rendah lalu kebergantungan pada jasa asing dan aliran modal ke negara lain dari pendapatan investasi.
Sementara dari sisi moneter, BI sudah cukup baik mengawal rupiah. Jadi, kalau sektor rillnya tidak beres, rupiah akan terdepresisi. Alhasil, perlu kebijakan yang berjalan bersamaan.
"Dalam kaitannya dengan BBM, maka terkait dengan impor. Namun pemerintah sudah berupaya dengan penggunaan B20. Sedikit banyak sudah terlihat dari penurunan volume impor BBM sepanjang 2019," ucapnya.
Harga BBM murah dengan subsidi, juga bisa membuat program energi alternatif selain fosil bisa menjadi lambat. Memang, ada tendensi kalau harga BBM murah, insentif untuk mengembangkan energi alternatif jadi tidak menarik. "Itu yang selama ini terjadi. Tapi, saat harga BBM naik, baru kita panik," ucap Uchok.
Uchok menilai, dalam penentuan harga BBM, perlu mempertimbangkan berbagai aspek termasuk pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Memang, ada koreksi harga nilai tukar dan juga penurunan harga minyak, tetapi harus tetap hati-hati dalam mengambil kebijakan harga BBM.
Ucok mengingatkan, saat ini lebih penting mendorong daya beli masyarakat tetap terjaga agar ekonomi lebih berputar, konsumsi rumah tangga tidak anjlok. Caranya, menekan inflasi pangan lewat operasi pasar di daerah, juga memastikan pendapatan masyarakat terjaga.
Reporter: Dwi Aditya P
Sumber: Merdeka.com
Subsidi
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Febby Tumiwa, menyebut bahwa saat ini BBM subsidi diberikan pada BBM jenis diesel (solar) dan minyak tanah. Di APBN 2020, besarnya Rp 18,7 triliun, di mana yang besar adalah subsidi LPG 3 kg senilai Rp 49,4 triliun.
"Subsidi ini memang perlu dipangkas secara bertahap dan dialihkan kepada sektor lain yang produktif, tetapi pengalihan tersebut harus memastikan bahwa masyarakat miskin tetap bisa mendapatkan energi dalam jumlah yang cukup dan berkualitas," ujar Febby.
Menurut data dari Kementerian Keuangan Indonesia, pada 2011 subsidi BBM mencapai Rp 165,2 triliun, kemudian pada 2012 meningkat tajam menjadi Rp 211,9 triliun.
Pada tahun 2013 terjadi sedikit penurunan subsidi menjadi Rp 210 triliun, namun biaya ini meningkat kembali pada 2014 menjadi Rp 240 triliun.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa bagian terbesar subsidi bahan bakar dinikmati oleh pemilik kendaraan roda empat (53 persen), dan bukan oleh pengendara motor (40 persen) dan angkutan umum (3 persen).
Advertisement