Liputan6.com, Aceh - Bagi seseorang yang sedang berkunjung ke Aceh, boleh jadi kopi merupakan salah satu jenis minuman paling ingin dicicipi. Namun, ketika ditanyai tempat minum mana yang akan dikunjungi, robusta atau arabika, apa jawaban anda?
Seseorang mungkin akan ditertawakan karena memesan segelas espreso di kedai kopi yang khusus menyediakan robusta. Pun begitu sebaliknya.
Kali ini, Liputan6.com akan memberi penjelasan sederhana dan ringkas berdasarkan pengalaman belaka tentang perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan keduanya. Fokusnya bukan tentang perbedaan antara rasa robusta dengan arabika, tapi, tempat.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai pembuka, perlu diketahui bahwa penyebutan untuk kedai kopi di Aceh adalah warung kopi, dan lazimnya, warung kopi hanya disematkan kepada tempat yang khusus menyediakan robusta, sebaliknya, tempat yang menjual kopi jenis arabika disebut kafe, yang memiliki konsep lebih modern.
Kesan yang dapat ditangkap saat berada di kafe salah satunya tenang atau jauh dari hiruk pikuk. Sebaliknya, warung-warung yang khusus menyediakan kopi jenis robusta punya suasana yang lebih ingar bingar, walaupun, adakalanya suasana di kafe bisa juga bising, tergantung pengunjung.
Espreso susu, wine, hanyalah contoh kecil dari jenis olahan arabika yang ditawarkan dalam menu yang ada di kafe. Pelbagai makanan mulai yang ringan hingga pelbagai jenis makanan lain pun tersedia.
Warung kopi memiliki menu yang lebih terbatas. Penganan seperti kue biasanya tersedia dan cenderung masih segar pada pagi hari saja karena jenis kue yang dijual lazimnya berupa kue basah yang memang akan berubah rasa apabila terlalu lama dibiarkan.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Beda Kafe dan Kedai Kopi Versi Aceh
Sementara, warung kopi biasanya hanya menyediakan cemilan seperti kacang sangrai atau keripik. Minuman lain yang disediakan di warung kopi, misalnya, kopi susu, teh panas, teh dingin, sirup, hingga minuman saset.
Kafe dibalut dengan interior kontemporer atau klasik dengan konsep bangunan yang cenderung modern. Kursi dan meja yang disediakan juga terkesan mewah.
Apakah warung kopi tidak demikian? tidak juga. Kendati banyak warung kopi yang bertahan dengan konsep seadanya yang jauh dari kata modern, ada juga warung kopi yang didesain dengan interior yang kontemporer.
Berbeda dengan kafe, seorang pelayan di warung kopi tidak pernah menawarkan daftar menu kepada pelanggan. Cukup diucapkan atau memberi kode dengan gestur jari dari jauh jika ia merupakan pelanggan tetap yang suka memesan kopi yang sama.
"Bang, pancong satu!"
Di kafe, mungkin dikenal yang namanya barista atau orang yang membuat kopi, namun, tidak begitu dengan warung kopi. Orang yang membuat kopi palingan disebut tukang saring atau tukang aduk —di beberapa warung kopi, pelayan yang baru saja menyamper pelanggan boleh jadi juga bertugas sebagai orang yang akan membuat kopi.
Kafe cenderung tidak menyediakan televisi, warung kopi malah sebaliknya. Biasanya sebuah televisi tetap akan ditaruh di antara langit-langit warung.
Jika di kafe pelanggan dihibur dengan alunan musik atau bahkan dihibur dengan penampilan akustik, warung kopi hanya butuh menghidupkan televisi yang kadang sedang menayangkan berita atau kilasan pertandingan olahraga.
Hingga saat ini, masih terdapat warung kopi di Aceh yang tidak tutup selama 24 jam. Hal ini tentu saja berbeda dengan kafe, di mana para pemiliknya telah menentukan jam berapa para karyawannya mesti menutup kafe.
Advertisement
Minum Kopi Dulu, Supaya Tidak Gila
Setiap musim Piala Dunia tiba, warung kopi akan ramai pengunjung. Proyektor plus layar tancap akan dipampang paling depan, lampu dimatikan. Sementara suara para pengunjung memekik dan membahana, memenuhi seluruh ruangan.
"Goool!"
Perbedaan lainnya, para pelanggan di warung kopi tidak akan menemukan seorang pelayan berparas cantik berpakaian rapi serta membawa aroma parfum bersamanya datang menyamperi dengan senyum dikulum. Para pelayan di warung-warung kopi rata-rata memang pria.
Namun, perbedaan antara keduanya apakah menjadi penentu bahwa kafe lebih sering dikunjungi ketimbang warung kopi. Tentu tidak.
Hingga saat ini, jumlah pengunjung warung kopi lebih banyak ketimbang pengunjung kafe. Mulai dari suasana yang lebih merakyat, harga hingga rasa yang cenderung lebih lekat di lidah orang Aceh kebanyakan. Lebih dulu dikenal, boleh jadi menjadi alasannya.
Warung kopi juga sangat lekat dengan nilai sejarah. Seorang sosiolog yang hendak mencari tahu bagaimana masyarakat di ujung utara pulau Sumatra itu saling berinteraksi satu sama lain tentu akan lebih memilih warung kopi ketimbang kafe.
Tapi, perbedaan di atas juga tentu tidak bisa menjadi patokan, terlebih juga belum mewakili penjelasan tentang semua antara keduanya. Terlepas dari itu, untuk hal yang lebih jauh, kendati sama sekali profan, minum kopi memiliki nilai ritualitas tersendiri bagi sebagian masyarakat di Aceh.
Semua ritualitas tersebut, kelak memiliki peran tersendiri dalam kehidupan sosiologis bahkan jauh lebih dalam berkaitan pula dengan visi. Kopi bukan hanya sekadar jenis minuman yang mengandung kafeina bersifat toksik. Kopi juga pelipur lara, penyatu, dan penyemangat.
"Jep kupi dilee, mangat bek pungo!" Begitu kata orang Aceh. Artinya, minum kopi dulu, supaya tidak gila.