Liputan6.com, Jakarta Sepekan belakangan, uji spesimen Virus Corona penyebab COVID-19 melampaui target, yakni lebih dari 10 ribu per hari. Presiden Joko Widodo lantas menaikkan angka itu dua kali lipat, menjadi 20 ribu per hari.
"Pengujian spesimen, saya sampaikan terima kasih, target pengujian spesimen 10 ribu sudah terlampaui. Target ke depannya sudah mulai 20 ribu per hari, harus sudah kita rancang ke sana," kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas melalui telekonferensi pada Kamis, 4 Juni 2020.
Advertisement
Target uji spesimen 10 ribu per hari ditetapkan Jokowi pada pertengahan Mei 2020. Awalnya tak langsung tercapai, hanya sekitar lima ribu spesimen yang diuji.
Seminggu terakhir, data memperlihatkan uji spesimen mencapai lebih dari 10 ribu, meski di beberapa hari lalu ada penurunan.
Pencapaian target uji spesimen bisa dilihat pada 28 Mei 2020 sebanyak 11.495. Lalu, pada 29 Mei 2020 ada 10.639 spesimen, 30 Mei 2020 sebanyak 11.361 spesimen, kemudian 31 Mei 2020 sebanyak 11.470 spesimen.
Data pada hari pertama di bulan Juni memperlihatkan, uji spesimen dilakukan sebanyak 10.039. Sayangnya, hari berikutnya turun menjadi 9.049 spesimen, pada 3 Juni 2020 kembali naik 11.970 spesimen, 4 Juni 2020 tembus 13.206 spesimen yang diperiksa, dan pada 5 Juni naik lagi menjadi 13.333.
Sehingga, total hingga Jumat 5 Juni 2020, sudah 389.973 spesimen yang diperiksa. Dari hasil pengujian itu ada total 29.521 positif terinfeksi COVID-19.
Lalu, dengan target uji spesimen harian yang dua kali lipat lebih tinggi, apa strategi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19?
Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Indonesia, Doni Monardo menyatakan bahwa pihaknya telah menerima arahan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan pemeriksaan spesimen hingga 20 ribu dalam sehari.
"Sekarang ini sudah rata-rata di atas 10 ribu. Ke depan akan meningkatkan kemampuan menuju ke 20 ribu dan pada akhirnya kita upayakan bisa mencapai 30 ribu," kata Doni.
Ada beberapa strategi gugus tugas guna mencapai bahkan melampaui target 20 ribu spesimen per hari. Pertama, penambahan sumber daya manusia untuk melacak serta menguji spesimen.
"Karena itu kita memerlukan relawan yang bisa mem-back up, dan ini membutuhkan tenaga besar," kata Ketua Dewan Pengarah Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona di Tanah Air, Muhadjir Effendy, usai rapat terbatas bersama Jokowi pada Kamis lalu.
Sukarelawan yang dibutuhkan yakni mahasiswa di bidang kesehatan masyarakat, keperawatan, mahasiswa S2 bidang biologi molekuler.
Menurut Muhadjir, Presiden Jokowi sudah menyetujui pembukaan perekrutan sukarelawan secara besar-besaran. Mereka bakal menjalani pelatihan sebelum bertugas.
Pelacakan ODP
Strategi kedua, menurut Doni Monardo, adalah tracing (pelacakan) orang yang diduga terinfeksi COVID-19. Itu perlu secara intensif dilakukan. Butuh kerja sama berbagai pihak di tingkat provinsi untuk melaksanakan pelacakan masyarakat yang diduga Orang Dalam Pemantauan (ODP).
"Program ini akan menjadi prioritas kami ke depan dan ujung tombaknya adalah kepala dinas kesehatan tingkat provinsi."
"Kita harapkan lewat manajemen yang terintegrasi, kepala dinas kesehatan bisa lebih banyak mengetahui warga yang terdampak kemudian di mana lokasi mereka berada, kemudian apa langkah-langkah melakukan isolasi, terutama isolasi mandiri," Doni menambahkan.
Sementara, jurus ketiga adalah menghadirkan mesin pengujian yang berkualitas. Doni mengatakan, pihaknya akan melakukan peremajaan mesin RT-PCR secara bertahap.
"Diharapkan mesin-mesin yang akan kita siapkan ini memiliki kualitas yang lebih baik, bisa lebih cepat, dan lebih banyak melakukan pemeriksaan. Karena beberapa di antara mesin ini memiliki waktu yang cukup lama. Bahkan, beberapa daerah harus menunggu dan mengantre lebih dari 2-3 hari," ujarnya.
Advertisement
Jumlah Laboratorium dan Peralatan Uji Cukup?
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto juga menegaskan bahwa gugus tugas akan berupaya penuh melakukan pengetesan lebih masif lagi untuk mengejar target. Sarana seperti laboratorium sudah cukup dan sudah tersebar di banyak tempat.
"Kami sudah mengaktifkan 66 mesin tes cepat molekuler (TCM) yang berada di semua kabupaten dan kota di Tanah Air. Ini menjadi salah satu tulang punggung, sehingga jarak antara rumah sakit dan laboratorium yang memeriksa akan diperpendek," kata Yuri dalam konferensi pers Jumat (5/6/2020).
Data Jumat, 5 Juni 2020 tercatat ada 186 laboratorium dengan rincian dari 120 lab PCR (101 laboratorium yang sudah aktif) dan 66 laboratorium TCM aktif.
Salah satu laboratorium PCR yakni Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman, setiap hari mampu menguji 360-an spesimen. Dari awal Maret hingga 4 Juni 2020 sudah 11 ribu spesimen yang diperiksa, dengan terkonfirmasi positif ada SARS-CoV-2 sekitar 15 persen.
Untuk bisa mendapatkan hasil positif atau negatif spesimen yang masuk, butuh waktu sekitar tiga hari. "Jadi, kalau spesimen masuk pagi hari lalu dilakukan ekstraksri RNA, besok masuk PCR seharian, hari berikutnya bisa didapatkan hasilnya," kata Kepala LBM Eijkman Prof dr Amin Soebandrio, PhD, SpMK dihubungi Jumat (5/6/2020).
Guna meningkatkan jumlah spesimen yang diperiksa, LBM Eijkman mendatangkan mesin automatic extractor. Mesin ini diharapkan mampu membantu memudahkan kerja peneliti dalam memeriksa spesimen virus corona. Dalam waktu dekat mesin ini akan beroperasi dan mampu memeriksa spesimen maksimal 1.000 per 24 jam.
"Ini mesin besar yang fully automatic, mulai dari ekstraksi RNA hingga PCR. Dengan mesin otomatis ini kebutuhan tenaga manusia bisa dihemat, jadi para peneliti bisa mengerjakan penelitian yang lain," kata Amin.
"Dengan mesin baru ini, mudah-mudahan lebih cepat," tambah dia.
Masalah Pengiriman Sampel
Amin yang juga Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan bahwa target uji spesimen hingga 20 ribu yang ditetapkan Jokowi bisa tercapai. Tentu perlu ada perbaikan untuk mencapai target tersebut.
"Perlu ada peningkatan kapasitas laboratorium dan kita juga harus memperbaiki sistem pengambilan dan pengiriman sampel," kata Amin saat dihubungi Jumat (5/6/2020).
"Jangan sampai ada sampel yang tertahan, karena tidak semua puskesmas atau rumah sakit di daerah punya akses transportasi untuk mengirim sampel ke laboratorium yang lebih besar," lanjutnya.
Bila sistem transportasi pengiriman sampel sudah diperbaiki lalu di waktu yang sama peningkatan kapasitas laboratorium perlu dilakukan sehingga tidak terjadi penumpukan sampel. Peningkatan kapasitas yang dimaksud adalah laboratorium tersebut mampu menguji spesimen lebih dari sebelumnya.
Advertisement
Lebih Banyak Lebih Baik
Sementara itu, pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), dr Pandu Riono MPH, PhD, menilai bahwa target sebanyak itu masih dirasa kurang. Menurut Pandu, kalau bisa sebanyak mungkin akan jauh lebih baik.
"Segitu juga kurang. Kita harus periksa banyak," kata Pandu saat dihubungi Health Liputan6.com pada Jumat, 5 Juni 2020 sore.
Walaupun pandemi COVID-19 di Indonesia mereda, lanjut Pandu, tes massal harus menyasar ke banyak orang. "Harus sebanyak-banyaknya. Kita harus mampu mengecek tes semaksimal mungkin," ujarnya.
Sehingga, dia menambahkan, ketika terjadi kenaikkan kasus lagi, bisa cepat tertangani dan tidak perlu lagi ada antrean. Pria yang menempuh Program Magister Kesehatan Masyarakat (Master of Public Health) di University of Pittsbrug, USA itu mengatakan, selama ini walaupun pengetesan spesimen sudah 10 ribu, tetap masih ada antrean.
"Kapasitas 10 ribu, yang dites harus 20 ribu, kan 10 ribu (sisanya) harus besoknya," katanya.
Dengan kata lain, laboratorium juga harus diperbanyak. Dan, jangkauannya harus diperluas. Pandu, mengatakan, kota-kota besar yang belum ada laboratoriumnya masih banyak. Salah satu contoh yang disebut Pandu adalah di wilayah Kalimantan.
"Masa semuanya dikirim ke Jawa? Enggak benar, lah," katanya.
Pandu berharap, tiap-tiap provinsi di Indonesia memiliki laboratorium yang bisa mengecek uji spesimen tersebut. Berhubung saat ini belum ada tanda-tanda laboratorium bakal diperbanyak, Pandu berharap laboratorium yang sudah ada bisa dimaksimalkan .
"Tapi kan supaya maksimal bagaimana caranya? Kan tambah mesin," kata Pandu.
"Penduduk kita 267 juta lho, banyak sekali," Pandu menekankan.
Masyarakat Tidak Perlu Swab Mandiri
Meski demikian, tidak perlu juga masyarakat sampai melakukan swab test mandiri demi 'membantu' pemerintah. Menurut Pandu, buat apa? Terpenting, lanjut dia, jangan sampai terinfeksi virus Corona.
"Nggak usah swab-swab-an. Yang penting jangan terinfeksi. Swab buat apa? Yang terpenting pakai masker, jaga jarak, cuci tangan itu yang bisa dilakukan oleh rakyat. Swab enggak usah," kata Pandu.
Selama masyarakat mengikuti protokol kesehatan dari pemerintah, kecil risikonya untuk tertular dan menyebarkan COVID-19.
"Masalahnya, swab test hari ini dan hasilnya negatif, siapa yang bisa menjamin besok masih negatif? Bisa saja besoknya kena," ujarnya.
"Buat apa ngabisin duit buat swab (mandiri). Sudahlah, pakai masker saja. Mending uangnya buat beli masker," Pandu mengingatkan.
Advertisement