Sungai Ornamen Bumi yang Mengundang Bidadari, Dewan SDAN: Jaga dan Lestarikan

Sebagai ornamen jagat yang membuat bumi ini lebih istimewa, tentu sungai seharusnya dijaga, dipelihara, dilestarikan.

oleh Gilar Ramdhani pada 05 Jun 2020, 21:30 WIB
Dalam kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari sungai memang sekadar latar tempat atau lokasi kisah bermula, padahal sebenarnya sungai adalah inti pesannya.

 

Liputan6.com, Jakarta Bagi kamu penggemar karya sastra dan dongeng pasti tak asing lagi dengan kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari. Lupa? Jaka Tarub adalah seorang pemuda desa anak petani yang sederhana. Ia biasa berkelana di hutan liar untuk berburu. Suatu hari, ketika ia merasa haus dan hendak minum, ia berjalan menuju sungai. Memang begitulah kebiasaan manusia saat itu. Kalaupun bepergian jauh dan lama, ia tak pernah membawa bekal air dalam botol. Jika haus, ia mencari mata air atau sungai langsung minum. Kala itu, sungai adalah tempat minum siapa saja, hewan maupun manusia. Tak penting disaring dan tak harus direbus; airnya bening bersih dan higienis.

Tatkala mendekati sungai, Jaka Tarub mendengar suara yang tak biasa. Tawa renyah riang gadis-gadis bercanda diselingi gemericik aliran sungai dan byar byur bunyi ciprat air yang dimain-mainkan. Jaka berjalan berjingkat-jingkat, mengintip dari balik rerimbunan pohon. Wow! Tujuh gadis cantik jelita yang tak ada tara bandingnya. Belum pernah Jaka melihat gadis remaja secantik mereka. Mereka sedang mandi dan bermain-main di sungai.

Begitulah sepenggal kisah dari kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari.

Ketua Bidang Pengairan DPN HKTI dan Anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN), Imam Mustofa menjelaskan bahwa dalam kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari sungai memang sepertinya sekadar latar tempat atau lokasi kisah bermula, biasanya diabaikan dari kata kunci utama. Padahal, sebenarnya sungai adalah inti pesannya. Hanya ia disamarkan di balik figur-figur tokoh utama dan alur ceritanya.

"Kisah tersebut adalah tentang perjalanan wisata tujuh bidadari ke bumi untuk menikmati indah dan segarnya sungai. Tempat seperti apakah yang membuat bidadari nan cantik jelita dari surga nan segala sempurna mau datang? Pastilah tempat yang lebih asri, indah, dan berbeda dari suasana keseharian mereka di tempat asalnya. Begitulah lazimnya orang mendatangi tempat wisata. Seperti kita datang ke kolam renang karena di rumah adanya cuma bak mandi," jelas Imam Mustofa.

Dari cara pandang demikian, dapatlah ditarik keyakinan bahwa kisah tutur tersebut sedang menyampaikan pesan tersirat bahwa di bumi ini, khususnya di tanah Jawa di mana latar budaya itu populer, adalah tempat istimewa. Karena itulah para bidadari berkenan melancong.

"Tempat istimewa itu tidak lain adalah air yang mengalir, bening, segar di alam terbuka dan di lingkup pepohonan yang hijau. Ya, sungai," tegas Imam. 

Imam Mustofa melanjutkan bahwa sungailah yang membuat mayapada ini menjadi lebih istimewa daripada kayangan. Padahal, kayangan sering digambarkan oleh para dalang sebagai tempat segala kesempurnaan keindahan. Kata kayangan pun banyak digunakan sebagai cara mencitrakan kesempurnaan tempat tinggal. Lihatlah para pembangun kawasan pemukiman. Mereka menggunakannya untuk menamai proyek yang mereka tawarkan. Sungguh pun demikian, kesempurnaan kayangan ternyata masih kalah oleh bumi mayapada, karena di tanah ini ada sungai.

“Sebagai ornamen jagat yang membuat bumi ini lebih istimewa, tentu sungai seharusnya dijaga, dipelihara, dilestarikan. Para bidadari pasti sedih menyayangkan kondisi sungai-sungai yang tercemar, kotor, beracun, bau busuk dan berwarna hitam pekat. Jika sekarang tak lagi ada keajaiban bidadari turun ke bumi, boleh jadi ini karena sungai-sungainya sudah menjijikkan," ujarnya.

"Mungkin juga mereka memilih pindah ke sungai-sungai di belahan bumi lain yang terkenal masih sangat bersih. Sungai Caragh di Irlandia, Sungai Thames di Inggris, Sungai Torne yang melintas Filnlandia dan Swedia, Sungai Tara di Eropa Selatan yang melintas Bosnia Herzegovina dan Montenegro, atau Sungai Umngot di negara bagian Meghalaya di India, mungkin menjadi pelancongan baru dan tempat mandi para bidadari itu," kata Imam Mustofa.

Pada zaman dahulu, sastra dan kepercayaan bisa menjadi salah satu media untuk tetap menjaga sungai agar tetap menjadi sumber kehidupan manusia, padahal maknanya hanya tersirat, bukan secara langsung. Masyarakat dulu mengerti maksudnya, tetapi masyarakat zaman sekarang malah tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi dengan sungai.

 


Perlunya Edukasi dan Budaya Positif Tentang Air

Imam Mustofa Ketua Bidang Pengairan DPN HKTI dan Anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN).

Dewan SDAN Bersama pemerintah pusat sudah memberikan berbagai anjuran untuk menjaga sungai. Ini terjadi akibat masyarakat tidak mengerti dan tidak peduli atau memang pemerintah harus lebih keras memberikan anjuran kepada masyarakat.

“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sangat relevan untuk tampil di depan menginisiasi gagasan ini," kata Imam Mustofa

Dalam literatur kesusasteraan, dongeng Jaka Tarub masuk kategori folklor. Dalam masyarakat tradisional, folklor adalah salah satu sumber nilai budaya sekaligus media untuk sosialisasinya. Melekat pada sifat dasarnya, folklor mengandung pesan-pesan tertentu yang hendak disampaikan kepada masyarakat, baik berupa makna, nilai, norma maupun kearifan setempat. Pesan itu diregenerasikan kepada anak cucu melalui repetisi tutur secara turun-temurun.

Dalam sosiologi, juga psikologi sosial, dikenal istilah beliefe alias kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu. Keyakinan itu menentukan cara seseorang memberi nilai atas sesuatu seperti penting-tidak penting, benar-salah, baik-buruk, dan sebagainya, serta membentuk sikap dan mengarahkan perilaku. Folklor juga punya andil membentuk sistem kepercayaan.

Imam Mustofa menjelaskan kembali bahwa kisah Jaka Tarub mengandung sasmita, hidden message, pesan implisit yang harus ditangkap dan diungkap secara cerdas, bahwa sungai di bumi adalah sesuatu yang sangat berharga. Sampai-sampai, bidadari surga pun rela menjadi wisatawan “manca-alam” demi menikmati kesegarannya. Alangkah sayangnya jika manusia yang sehari-hari dekat dan mendapat manfaat darinya justru berbuat lakna tdengan membiarkan sungai menjadi kotor, tercemar, rusak, tak terawat.

"Tantangannya adalah bagaimana menangkap pesannya yang sering kali tersembunyi dengan sangat halus, dan kemudian merepetisi kisahnya secara kreatif sehingga tetap menarik, dan memaknainya secara kontekstual sehingga pas dengan milieu zamannya," ungkapnya.

Dengan keleluasaan narasi yang kreatif, eksploratif dan eksplanatif, sesungguhnya dongeng dapat menjadi bahan edukasi tentang bagaimana pentingnya menghargai sungai; merawat, menjaga dan melestarikannya. Tentang hal ini, guru besar Universitas Negeri Surabaya Prof. Dr. Hari Supratno telah menulis buku setebal 428 halaman yaitu “Folklor Setengah Lisan Sebagai Media Pendidikan Karakter” (Unesa Press, 2015).

"Hampir di setiap tempat di Indonesia ada folklor yang terkait dengan air dan sumber air. Pasti ada banyak kisah dongeng lain dari berbagai penjuru negeri yang bisa digali sebagai referensi untuk mengembangkan budaya positif terkait air," urainya.

Imam Mustofa menegaskan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sangat relevan untuk tampil di depan menginisiasi gagasan ini, dalam rangka mengembangkan strategi pengembangan budaya terkait air sebagaimana tercantum dalam Kebijakan Nasional Pengelolaan SDA. Karena itulah Mendikbud, yang tugas dan fungsinya pokoknya sebenarnya sangat jauh dari urusan pengelolaan sumber daya air, tampak relevan menjadi salah satu anggota Dewan SDA Nasional.

“Kelak jika sungai-sungai kembali bersih, kita bisa mengundang kembali bidadari-bidadari," ujar Imam Mustofa.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya