Liputan6.com, Jakarta - Isu rasisme kembali ramai dibicarakan sejak meninggalnya George Floyd di Amerika Serikat. Kasus tersebut menimbulkan gelombang protes di sejumlah negara, tak hanya di Amerika Serikat.
Secara historis, sebelum rasisme muncul, lebih dulu berkembang pemikiran tentang ras yang berakar jauh di abad ke-18, kemudian muncul serentak di semua negara Barat sepanjang abad ke-19, seperti ditulis Hannah Arendt dalam bukunya Asal-Usul Totalitarisme: Imperialisme (Jilid II).
Baca Juga
Advertisement
Dengan dasar ras, kemudian dibentuk sebuah 'elite' yang boleh menganggp dirinya punya hak-hak istimewa, seperti bangsawan. Mereka menentukan bahwa seseorang berasal dari 'darah biru' dan yang membawa hak-hak yang lebih tinggi dari yang lain.
Pemikiran tentang ras kemudian berkembang menjadi rasisme. Tak hanya sebagai paham, tapi juga dianggap sebagai ideologi, sistem yang didasarkan pada sebuah opini yang cukup kuat untuk membujuk mayoritas rakyat untuk memandu mereka dalam kehidupan.
Dalam pandangan Arendt, dari banyak ideologi hanya ada dua yang berhasil tampil di puncak dan berhasil mengalahkan ideologi yang lain. Pertama, ideologi yang mengartikan sejarah sebagai perjuangan ekonomi antarkelas. Kedua, ideologi yang menafsirkan sejarah sebagai persaingan alamiah antarras.
Di Jerman, rasisme menguat dengan munculnya kaum Nazi yang melancarkan usaha untuk menaklukkan dunia. Saat itu, rasisme menjadi kecenderungan kuat dalam opini publik di mana-mana selama era 1930-an. Kenyataannya, rasisme menjadi hal yang sangat membahayakan bagi negara.
"Rasisme dapat menyulut konflik intern di setiap negara, dan juga merupakan salah satu sarana ampuh yang pernah ditemukan yang dapat dipakai untuk menggelar perang saudara," kata Arendt .
Di Afrika Selatan sempat terjadi politik Apartheid yang mencuatkan tokoh-tokoh hak asasi manusia, salah satunya Nelson Mandela. Ia dengan gigih memperjuangkan persamaan hak antara bangsa Afrika kulit hitam dan keturunan kulit putih yang berkuasa saat itu.
Bagaimana di Indonesia?
Berdasarkan keterangan di atas, persoalan rasisme sebenarnya bukan hal baru. Seiring waktu berjalan, tindakan yang mengarah pada rasisme masih tetap terjadi, tak terkecuali di Indonesia.
"Definisi rasisme yang lengkap dan cukup ada di Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis yang sudah jadi hukum Indonesia," ujar Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 5 Juni 2020.
Asfinawati menyebut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihanberdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
"Secara praktik, rasisme berevolusi, mulai dari yang tidak terlalu jelas atau tersamar, hingga vulgar, serta sistemik, seperti dilakukan negara," ujar Asfin.
Asfinawati menyebut tentang perlakuakan terhadap etnis Papua. Menurutnya, demonstrasi di Papua dan oleh orang Papua, akan dituduh makar.
"Meski aksinya biasa saja, tetap dianggap makar. Padahal, aksi dari kelompok lain tidak dianggap makar," ujar Asfin.
Begitu juga dengan etnis Tionghoa. Mereka mereka dibatasi untuk menjadi anggota Tentara Nasional Indoensia (TNI). "Mereka diberlakukan SKBRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia), sedangkan yang lain tidak," kata Asfinawati.
Advertisement