Penarikan Pajak Netflix hingga Spotify Mampu Dongkrak Penerimaan Negara

Sektor digital sangat potensial meningkatkan penerimaan negara melalui pajak.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Jun 2020, 12:00 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Rencana pemerintah untuk menarik pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk layanan streaming musik dan film seperti Netflix dan Spotify akan menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha bagi pelaku usaha. Rencana tersebut pun mendapat dukungan banyak pihak salah satunya DPR.

Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan menilai, sektor digital sangat potensial meningkatkan penerimaan negara melalui pajak. Mengingat pajak dunia digital tersebut bakal jadi sumber baru yang menaikkan kantong pendapatan negara. Saat ini Pemerintah memang sedang bekerja keras meningkatkan penerimaan negara dari pajak.

Untuk itu, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Sistem Elektronik.

Dalam aturan ini, pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen atas pembelian produk dan jasa digital dari pedagang atau penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), baik dari luar maupun dalam negeri.

“Dengan aturan ini, pemerintah akan mengenakan PPN sebesar 10 persen bagi produk-produk digital seperti Netflix maupun Spotify yang mulai berlaku 1 Juli 2020. Tujuannya untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha bagi pelaku usaha dalam dan luar negeri baik konvensional maupun digital," urai Hergun, sapaan akrabnya, di Jakarta (8/6/2020).

Politisi Partai Gerindra ini menambahkan, penerapan pajak digital saat ini semakin penting seiring dengan terus naiknya pengguna dan penyedia layanan digital yang beroperasi di Indonesia. Terlebih dengan adanya pandemi ini pajak digital bisa menjadi sumber pendapatan negara baru untuk menutup defisit APBN.

"Jadi, terobosan sumber penerimaan ini harus didukung. Saya kira upaya ini tentu dapat menambah penerimaan negara. Bagaimanapun juga, sektor usaha yang mengambil keuntungan ekonomi dari operasionalnya di negara kita, ideal dan harusnya mematuhi ketentuan PMK tersebut. Perusahaan yang beroperasi dan memperoleh pendapatan dari Indonesia, mau ditarik-in pajak, masa dibilang diskriminasi?" ungkap legislator dapil Jawa Barat IV Itu.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Ancaman Trump

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Pernyataan Hergun itu juga sekaligus menanggapi pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang tidak terima perusahaan-perusahan asal AS dikenakan skema pajak seperti dalam PMK. Trump sendiri mengaku akan menginvestigasi rencana pengenaan pajak tersebut.

“Ancaman Presiden Trump yang akan menginvestigasi rencana pengenaan pajak layanan perusahaan digital asal Negeri Paman Sam itu, karena khawatir terhadap skema pajak yang tidak adil, saya kira itu sangat berlebihan. Kalau Trump bisa bilang Make America Great Again, ya bayar pajaknya dong. Masa nyari duit di Indonesia gak mau bayar pajak?” seru Hergun.

Transaksi perusahaan AS ini rerata tidak dilakukan di dalam negeri. Pelanggan diwajibkan mentransfer biaya berlangganan pada rekening perusahaan di luar negeri. Ini adalah bukti konkret kebocoran ekonomi Indonesia. Regulator dahulu belum punya banyak upaya dalam mengejar penerimaan yang nyata. Ujungnya regulator pajak hanya bisa mengejar para wajib pajak dalam negeri.

“Memang, persoalan ini menjadi isu besar terlepas dari apakah dimaknai akan memunculkan perang dagang dengan negara asal perusahaan tersebut. Yang jelas bagi negara kita, berbagai potensi pajak yang ada tentu harus dioptimalkan. Pemerintah sendiri melalui Omnibus Law sedang merancang aturan untuk mengenakan pajak bagi perusahaan over the top (OTT) yang beroperasi di Indoensia, seperti Netflix, Spotify, dan lainnya," kata Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini.

Termasuk Google, Facebook. Amazon, yang selama ini bukan Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Lewat Omnibus Law, sambungnya, definisi BUT ini akan diubah dari semula berdasarkan keberadaan fisik kantornya di Indonesia, menjadi atas dasar kegiatan ekonomi yang dijalankan di Indonesia. Selama ini, perusahaan-perusahaan itu tidak tersentuh regulasi pajak.

Bila aturan untuk pengenaan pajak bagi OTT ini sudah ada, tanpa mereka menjadi BUT, negara bisa memperoleh penerimaan dari usaha yang mereka jalankan di Indonesia. Tinggal dilihat skema pajak yang akan diberlakukan Pemerintah, adil atau tidak.

"Selama pengenaan pajak itu diberlakukan sama dan adil bagi semua pelaku usaha, saya kira mereka juga tidak boleh mempersoalkan, karena Indonesia negara berdaulat," tutup Hergun.

 


Tindakan Trump

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Sebelumnya, kebijakan pengenaan pajak bagi konten digital seperti Netflix, Spotify dan lainnya di sejumlah negara membuat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump Geram. Dilansir dari laman Reuters, Kamis (4/6), Pemerintah AS disebutkan bakal mengambil tindakan atas keputusan negara-negara tersebut.

"Presiden Trump khawatir jika pengenaan pajak tersebut berimbas tidak adil pada perusahaan-perusahaan," ujar Kepala US Trade Representative (Kantor Perwakilan Dagang AS), Robert Lightizer.

Robert mengaku pihaknya sedang menyiapkan tindakan-tindakan untuk mempertahankan kelangsungan bisnis perusahaan dan pekerja yang dianggap terkena 'diskriminasi' tersebut.

Menurut data Federal Register AS, negara yang merencanakan pengenaan pajak terhadap Netflix dan aplikasi digital lainnya ialah Austria, Brazil, Republik Ceko, negara-negara Uni Eropa, Inggris, India, Indonesia, Italia, Spanyol dan Turki. Kantor Perwakilan Dagang AS disebutkan telah meminta pertemuan dengan perwakilan dagang negara tersebut untuk berkonsultasi terkait hal ini.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya