Liputan6.com, Makassar Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) menurunkan tim Intel dan Pidsus (Pidana Khusus) menyelidiki adanya pengendapan dana senilai Rp80 miliar milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar di Asuransi Bumiputera.
"Iya sesuai intruksi Pak Kajati tim Intel dan Pidsus diturunkan khusus bersama-sama mendalami hal itu," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Idil saat ditemui di ruangan kerjanya, Senin (8/6/2020).
Dari hasil penyelidikan bidang Intelijen Kejati Sulsel sebelumnya, beber Idil, memang ditemukan dana sebesar Rp80 miliar mengendap di Asuransi Bumiputera. Dimana dana puluhan miliar milik perusahaan plat merah tersebut disinyalir bersumber dari dana cadangan dan dividen.
"Kita sudah periksa pihak Bumiputera juga dan jika keterangannya masih diperlukan tentu kita akan panggil lagi," jelas Idil.
Selain mendalami dugaan kebocoran dana tantiem (hadiah untuk karyawan yang bersumber dari keuntungan perusahaan), bonus pegawai dan kelebihan pembayaran beban pensiunan, pengusutan juga melebar ke sektor pengelolaan dana cadangan dan dividen yang kabarnya dikelola sendiri oleh internal perusahaan daerah tersebut.
"Kalau dana cadangan itu besarannya 20 persen dari laba perusahaan. Sementara dividen nilainya 45 persen dari laba perusahaan. Nah kita melihat ini sangat rawan apalagi sistemnya dikelola sendiri oleh mereka," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Firdaus Dewilmar di Kantor Kejati Sulsel.
Adapun pengusutannya, beber Firdaus, akan dimulai dengan mendalami laporan pertanggungjawaban pengelolaan tahun 2010 hingga 2019.
"Itu nilainya sangat besar dan dari hasil penyelidikan kita, ditemukan adanya deviden yang tidak terpenuhi. Ada temuan BPK namun ini tidak ditonjolkan," beber Firdaus.
Baca Juga
Advertisement
Dalam tahap penyelidikan kasus dugaan korupsi di lingkup Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar, Kejati Sulsel telah memeriksa sejumlah pihak yang terkait.
Selain mantan Wali Kota Makassar, Moh. Romdhan Pomanto, tampak sejumlah pejabat teras Pemerintah Kota Makassar dan jajaran Direksi PDAM Makassar tak luput dari pemeriksaan.
Kemudian tak berhenti disitu, Kejati kembali mengagendakan pemeriksaan terhadap pihak Asuransi Bumiputera dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sebelumnya, Kejati Sulsel juga menegaskan akan memeriksa mantan Wali Kota Makassar dua periode, Ilham Arif Sirajuddin serta sejumlah legislator kota Makassar periode itu.
"Dari total temuan BPK di PDAM kan jumlahnya Rp31 miliar. Itu akumulasi dari tahun 2003 hingga 2018 sehingga pihak-pihak di periode itu kita akan panggil diantaranya Wali Kota jaman itu," kata Firdaus.
Pemanggilan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar diperiode tahun 2003 hingga tahun 2018, lanjut dia, juga tak luput dari panggilan untuk diambil keterangannya.
"Ada Komisi B misalnya yang merupakan mitra kerja PDAM itu kita panggil juga untuk mengetahui sejauh mana fungsi pengawasan yang mereka jalankan dalam mengontrol pelaksanaan anggaran oleh perusahaan plat merah milik Pemkot Makassar tersebut," jelas Firdaus.
Kronologi Dugaan Korupsi PDAM Makassar
Diketahui, kasus dugaan korupsi di lingkup PDAM Makassar bermula dari adanya laporan salah satu LSM di kota Makassar.
Mereka melaporkan kasus tersebut berdasarkan adanya alat bukti berupa hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tahun 2018.
Dimana dalam LHP BPK bernomor 63/LHP/XIX.MKS/12/2018 itu memuat adanya lima rekomendasi baik untuk Pemkot Makassar maupun PDAM sendiri.
Dari lima rekomendasi yang ada, dua diantaranya dinilai berpotensi ke ranah hukum.
Pertama, BPK merekomendasikan kepada Wali Kota Makassar diperiode itu agar memerintahkan Direktur Utama PDAM Makassar untuk mengembalikan tantiem dan bonus pegawai sebesar Rp8.318.213.130 ke kas PDAM Makassar.
Kedua, BPK juga merekomendasikan kepada Wali Kota Makassar diperiode itu agar memerintahkan Direktur Utama PDAM Makassar untuk mengembalikan kelebihan pembayaran beban pensiunan PDAM sebesar Rp23.130.154.449 ke kas PDAM Makassar.
Atas dua poin rekomendasi BPK itu, salah satu LSM di Makassar yang dimaksud menilai terjadi masalah hukum karena terjadi kelebihan pembayaran yang nilainya mencapai Rp31.448.367.629 miliar.
Lebih jauh mereka mengaitkan temuan dan rekomendasi BPK tersebut dengan pelanggaran terhadap UU No 28 tahun 1999 tentang Pemerintah Bebas KKN, UU No 9 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo UU Nomor 20 tahun 2001 dan UU No 30 tahun 2014 tentang Admonistrasi Pemerintah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement