Liputan6.com, Jakarta - Chandra Asri mendukung konsorsium yang dibentuk oleh UI untuk memproduksi flocked swab, yang merupakan alat pengumpul spesimen untuk tes Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dianggap memiliki realibilitas paling tinggi oleh World Health Organisation (WHO).
Sampai saat ini, flocked swab yang ada di Indonesia masih sangat langka dan merupakan barang impor. Konsorsium inisiasi UI terdiri dari para ahli dan peneliti dari Research Center for Biomedical Engineering (RCBE) Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) dan berbagai pelaku usaha dari industri.
“Kami menyambut baik ajakan kolaborasi oleh UI bersama dengan pelaku usaha lainnya untuk memastikan ketersediaan flocked swab buatan dalam negeri. Chandra Asri mendonasikan seluruh resin yang dibutuhkan sebagai bahan baku utama flocked swab ini. Dukungan ini juga selaras dengan komitmen Chandra Asri untuk turut mendukung pemerintah dalam penanganan pandemi ini,” kata Erwin Ciputra, Presiden Direktur Chandra Asri dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (8/6/2020).
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, Chandra Asri turut memberikan masukan tentang desain dan komposisi material dari flocked swab ini yang terbuat dari bahan Polypropylene bersertifikat SNI yang halal dan aman untuk kesehatan.
Berbagai pelaku usaha lain mitra konsorsium ini turut berpartisipasi dalam pembuatan mold, produksi swab stick, proses flocking, pengemasan yang steril, serta berbagi pengalaman tentang manajemen rantai suplai.
Konsorsium menargetkan capai produksi 1 juta unit flocked swab berkode HS 19 ini sampai dengan pertengahan tahun 2020 untuk didonasikan dan didistribusikan melalui Pemerintah ke rumah sakit dan laboratorium rujukan COVID-19 di seluruh Indonesia.
Chandra Asri Siap Suplai Bahan Baku Masker Bedah dan APD
Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini menyebabkan kebutuhan alat pelindung diri dan masker bedah semakin besar terutama. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan para tenaga medis yang menjadi garda depan dalam penanganan virus corona dan penyakit Covid-19 di Indonesia.
Chandra Asri memiliki jenis bahan baku nonwoven PP berkode HS35NW khusus yang dapat diaplikasikan menjadi alat pelindung medis yaitu masker bedah dan baju pelindung diri.
Khusus untuk masker bedah yang memiliki tiga lapisan, bahan baku non woven ini diaplikasikan untuk lapisan pertama dan ketiga. Untuk baju pelindung diri, bahan baku PP non woven ini merupakan bahan baku utama.
“Kami telah memperkenalkan jenis barang ini untuk market Indonesia beberapa tahun belakangan dalambeberapa aplikasi seperti untuk bahan tas guna ulang spundbond, kebutuhan bahan pakaian non wovenseperti baju pelindung diri dan masker bedah,” ujar Erwin Ciputra, Presiden Direktur Chandra Asri Petrochemical dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (30/4/2020).
Sesuai dengan pedoman dari Restriction of Hazardous Substances Directive (RoHS) yang menjadi haluanutama negara-negara di dunia, bahan baku PP non woven in adalah bahan baku yang aman untuk digunakan dalam temperatur suhu kamar, tidak beracun serta tidak bersifat karsinogenik. Produk milik Chandra Asri ini pun telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) dan sertifikat halal.
“Dengan tingginya kebutuhan akan baju pelindung diri dan masker bedah saat ini, kami berkomitmen untuk menjamin ketersediaan pasokan bahan baku dalam negeri tetap tercukupi dan secara konsisten meningkatkan kapasitas produksi untuk produk tersebut sesuai kebutuhan. Selain itu, kami juga tingkatkan kapasitas untuk penuhi pasar ekspor,” tutup Erwin.
Advertisement
Harga Masker Melonjak karena Semua Negara Berebut Bahan Baku
Ketua Umum Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Ade Tarya menjelaskan faktor penyebab harga masker bisa naik beberapa kali lipat dan menjadi mahal di pasaran. Penyebabnya tak lain mayoritas bahan baku hingga produk masker berasal dari luar negeri alias impor.
“Masker saja 30 persen produksi dalam negeri, 70 persen impor. Itu pun harga industri dalam negeri terintimidasi dengan harga impor dari China,” kata dia dalam rapat virtual dengan Komisi IX, Rabu (8/4/2020).
Tantangan produsen masker setelah merebaknya Corona Covid-19 yakni melonjaknya harga bahan baku. Mengingat negara sumber, seperti China dan Taiwan mengutamakan penggunaan di dalam negeri.
“USD 2,6 per kilogram menjadi USD 80 per kilogram. China dan Taiwan mengutamakan penggunaan dalam negeri. Di sini diperlukan peran pemerintah melakukan komunikasi G to G (government to government),” ujar dia.
“Biaya operasional tinggi dengan overtime dan bahan baku tinggi, masker tadinya Rp 30.000 menjadi Rp 200.000 di pasaran,” kata dia.
Karena itu, untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah perlu memfasilitasi para produsen alat kesehatan untuk mendapatkan bahan baku. Bila perlu pemerintah dapat memberikan subsidi bahan baku.
“Jadi kami harapkan pemerintah mengadakan bahan dan disubsidi. Apa mungkin kita jual seadanya dengan harga bahan baku yang tidak terjangkau produsen. Bantuan pemerintah soal bahan baku itu penting,” ungkapnya.