Kasus Diananta, Menambah Panjang Daftar Pemidanaan Produk Pers

Kasus peminadaan seorang jurnalis bernama Diananta di Kalimantan Selatan akibat pemberitaan dianggap menambah daftar panjang kasus kriminalisasi produk pers.

oleh Roni Sahala diperbarui 10 Jun 2020, 05:45 WIB
(Foto: Skratos1983/Pixabay) Ilustrasi Pers

Liputan6.com, Palangka Raya Kasus Diananta, jurnalis Banjarhits.id, yang ditahan akibat pemberitaan menambah panjang proses pemidanaan terhadap produk pers. Wartawan di Kalimantan Tengah pun ikut mengambil sikap dan mendorong penerapan hukum yang sehat.

Ketua PWI Kalteng, Haris Sadikin mengatakan, yang dialami Diananta persis sama seperti yang dialami dua wartawan BeritaKalteng.com beberapa waktu lalu. Arliandie dan Yundhie dijerat UU ITE dan diadili karena memuat berita tentang perampasan lahan oleh perusahaan perkebunan sawit.

Beruntungnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Palangka Raya cukup memahami dan menghormati UU Pers. Dua wartawan tersebut dinyatakan tidak bersalah dan divonis bebas.

"Dalam menangani kasus sengketa pemberitaan, majelis hakim harus berani. Ini juga diutarakan saksi ahli dalam setiap persidangan," kata Haris di Palangka Raya, Selasa (9/6/2020).

Selain Arliandie dan Yundhie, ada juga kasus yang menimpa reporter Borneonews.co.id, Roni  Sahala dan media cetak Palangka Post Darlan. Dua wartawan ini dilaporkan dengan UU ITE oleh oknum pegawai kejaksaan.

Kasus ini kemudian dinyatakan dihentikan karena setelah proses pemeriksaan, telah memenuhi standar produk jurnalistik.

Simak juga video pilihan berikut


Ditahan Karena Berita

Kehidupan napi di penjara seperti alam liar

Diananta ditetapkan sebagai tersangka setelah menerbitkan berita yang berjudul 'Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel'. Konten ini diunggah melalui saluran kumparan/banjarhits.id, pada 9 November 2019 lalu.

Banjarhits.id adalah tempat Diananta menjadi pemimpin redaksi dan merupakan mitra Kumparan melalui program 1001 Startup Media.

Pada saat yang sama masalah ini juga telah dibawa ke Dewan Pers. Diananta dan Sukirman datang ke Sekrerariat Dewan Pers di Jakarta, pada Kamis, 9 Januari 2020 lalu guna proses klarifikasi.

Dewan Pers kemudian mengeluarkan lembar Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang berisi redaksi kumparan.com menjadi penanggung jawab atas berita yang dimuat itu. Bukan banjarhits.id yang menjadi mitra kumparan dan langsung dijalankan.

Dengan demikian, masalah ini selesai. Hak jawab pengadu sebagai kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalan versi pengadu sudah diberikan. Media, yaitu kumparan/banjarhits sudah pula meminta maaf dan menghapus berita yang dipersoalkan.

Namun PPR Dewan Pers ini tidak dianggap. Penyidikan polisi terus berlanjut dengan surat panggilan kedua dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalsel, pada tanggal 25 Februari 2020, hingga penahanan Diananta pada 4 Mei 2020.

Polisi menjeratnya dengan Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di hari yang sama, sidang perdana kasus yang menimpa jurnalis Diananta Putera Sumedi alias Nanta digelar Senin (8/6/3020) mulai pukul 12.30 WITA di Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan.


Berita Dianggap Bermuatan SARA

Ilustrasi unjuk rasa Black Lives Matter. (Sumber Wikimedia Commons)

Jaksa mendakwa berita yang sudah ditulis Nanta telah menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Sebelumnya, JPU juga menegaskan bahwa PN Kotabaru berwenang mengadili perkara ini meskipun tempat kejadian perkara ada di Banjarmasin atau sekitarnya.

“Sebab mengingat tempat terdakwa ditahan dan kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri Kota Baru. Ini sesuai Pasal 84 ayat 2 KUHAP,” kata Jaksa Erlia.

Di Polres Kotabaru, Diananta menyimak dakwaan pada dirinya dengan memakai rompi tahanan. Ia ditemani Penasihat Hukum Hafiedz Halim. Ada juga istrinya Wahyu Widianingsih yang jauh-jauh datang dari Banyuwangi khusus untuk mendampingi suaminya itu.

Dalam kesempatan itu juga Penasihat Hukum Bujino A Salan yang hadir langsung di PN Kotabaru meminta kemudahan akses untuk menjenguk Nanta di Polres Kotabaru.

Hakim Meir Elisabeth Randa menunda sidang hingga 15 Juni 2020 dengan agenda eksepsi dari penasihat hukum Diananta.


Dukungan Rekan Jurnalis

Ilustrasi Jurnalis Perang

Sementara itu di luar PN Kotabaru, puluhan jurnalis dari berbagai organisasi kewartawanan melakukan aksi solidaritas menolak kriminalisasi eks Pemimpin Redaksi Banjarhits Diananta Putra Sumedi tersebut.

Mereka membawa spanduk panjang bertuliskan 'Stop Kriminalisasi Wartawan, Bebaskan Diananta', dan memajangnya halaman depan PN yang berlokasi di Jalan Raya Stagen, Pulau Laut Utara.

Para jurnalis meminta Majelis Hakim PN Kotabaru, untuk membebaskan Nanta dari segala dakwaan dan membebaskannya dari tahanan karena kasusnya sudah selesai di Dewan Pers. Lagipula Nanta dengan beritanya membela masyarakat adat mempertahankan tanah miliknya dari korporasi.

"Diananta membela masyarakat. Jadi dia bukan seorang pelaku kriminal," kata Iwan Hardi, salah satu jurnalis asal Kotabaru.

Jurnalis asal Kabupaten Tanah Bumbu, Nanang Rusmani, juga jauh-jauh datang untuk bersolidaritas untuk Nanta. Menurut dia, kasus yang menimpanya murni sengketa jurnalistik.

"Dan dia menulis apa adanya. Sesuai fakta yang ada. Jadi kami bukan melawan hukum, tapi minta keadilan," ujar Nanang yang juga ketua Forum Komunikasi Wartawan (FKW) Tanah Bumbu ini.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya