Liputan6.com, New York - Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyesalkan keputusan Korea Utara yang telah memutuskan sambungan komunikasi (hotline) dengan Korea Selatan.
Guterres menyebut bahwa saluran seperti itu diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman atau salah perhitungan antara kedua negara, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Kamis (11/6/2020).
Baca Juga
Advertisement
Keputusan Pyongyang, yang diumumkan oleh kantor berita negara KCNA pada hari Selasa kemarin menandai kemunduran upaya perdamaian dan denuklirisasi.
Juru bicara PBB Stephane Dujarric mencatat bahwa Juni adalah bulan simbolis yang mewakili ulang tahun kedua dari pertemuan pertama antara Presiden AS Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, serta peringatan 20 tahun pertemuan pertama antara para pemimpin kedua Korea.
"Sekretaris Jenderal berharap bahwa semua pihak menggunakan peringatan bulan Juni untuk menggandakan upaya serta melanjutkan pembicaraan guna mencapai perdamaian berkelanjutan dan denuklirisasi Semenanjung Korea yang lengkap dan dapat diverifikasi," kata Dujarric.
Korea Utara telah dikenai sanksi PBB sejak 2006. Sanksinya telah diperkuat oleh Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara selama bertahun-tahun dalam upaya untuk memotong dana untuk program nuklir dan rudal balistik Pyongyang.
Simak video pilihan berikut:
Cegah Pembelot Bagikan Selebaran Anti-Korut
Ketegangan kedua negara sempat terjadi ketika adik pemimpin Korea Utara memperingatkan Korea Selatan, agar mencegah pembelot mengirim selebaran ke zona demiliterisasi (DMZ) yang memisah kedua negara.
Ia mengatakan pihaknya akan membatalkan perjanjian militer bilateral baru-baru ini jika kegiatan itu berlanjut, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia.
Kim Yo-jong, yang secara tidak resmi menjabat kepala staf Kim Jong-un, mengeluarkan peringatan itu dalam pernyataan yang disiarkan kantor berita negara itu, KCNA, Kamis 4 Juni.
Ia merujuk pada ribuan "selebaran anti-DPRK" baru-baru ini yang dibuang di sisi Utara DMZ yang dijaga ketat dengan judul "Defectors from the North." DPRK atau Republik Rakyat Demokratik Korea adalah nama resmi Korea Utara.
"Jika tindakan berniat jahat seperti itu, yang dilakukan secara terang-terangan, dibiarkan dengan dalih 'kebebasan individu' dan 'kebebasan berpendapat', pemerintah Korea Selatan tidak lama lagi akan menghadapi fase terburuk," demikian laporan KCNA.
Kim Yo-jong memperingatkan tentang kemungkinan pembatalan perjanjian militer antar-Korea untuk menghilangkan ancaman praktis perang sebagai akibat selebaran klandestin itu. Pakta militer yang dicapai 2018 itu "hampir tidak ada artinya," katanya.
Ia juga memperingatkan Korea Utara akan sepenuhnya mundur dari proyek industri Kaesong dan menutup kantor penghubung bersama di kota perbatasan, kecuali Seoul menghentikan tindakan semacam itu.
Laporan KCNA tidak menyebut pihak yang disalahkan dalam penyebaran selebaran itu. Tetapi komentar Kim Yo-jong muncul setelah mantan diplomat Korea Utara dan pembelot Korea Utara lainnya memenangkan kursi parlemen dalam pemilihan umum Korea Selatan pada April lalu.
Advertisement