Liputan6.com, Jakarta Mantan Wali Kota Medan Teuku Dzulmi Eldin divonis 6 tahun penjara denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan. Vonis disampaikan Hakim Ketua Abdul Azis di Pengadilan Tipikor, pada Pengadilan Negeri Medan.
Hakim Abdul Azis menyatakan Dzulmi Eldin terbukti melanggar dakwaan pertama Pasal 12 huruf b UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
Advertisement
"Terbukti dakwaan pertama. Pidana 6 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 4 bulan," ujar Abdul Azis dalam amar putusannya, Kamis (11/6/2020).
Selain pidana pokok, hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Dzulmi Eldin tak bisa dipilih maupun memilih dalam jabatan publik selama 4 tahun seusai menjalani pidana pokok.
Hal memberatkan putusan yakni Dzulmi dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintah yang bebas dari korupsi. Dzulmi sebagai pegawai negeri tidak menunjukkan keteladanannya.
"Terdakwa (Dzulmi) telah menikmati hasil perbuatannya," kata hakim.
Sementara hal meringankan Dzulmi dianggap berlaku sopan dipersidangan dan memiliki tanggungan keluarga. Atas putusan ini, baik pihak Dzulmi Eldin maupun jaksa penuntut umum pada KPK masih berpikir apakah menerima atau melanjutkan upaya hukum lanjutan.
Vonis terhadap Dzulmi lebih rendah satu tahun dibanding tuntutan jaksa KPK. Jaksa menuntut majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Medan menjatuhkan hukuman terhadap Dzulmi Eldin hukuman 7 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa menilai Dzulmi Eldin terbukti melakukan tidak pidana suap terkait dengan proyek dan jabatan di lingkungan pemerintahan Kota Medan tahun anggaran 2019.
"Menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa Dzulmi Eldnin berupa pidana penjara selama 7 tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan," ujar Jaksa KPK Siswhandhono saat membacakan surat tuntutan dalam persidangan online yang ditayangkan di Jakarta, Kamis (14/5/2020).
Selain hukuman penjara, jaksa juga meminta agar majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah Dzulmi Eldin selesai menjalani pidana pokoknya.
Dalam dakwaan disebutkan kasus suap Eldin berawal dari kekurangan anggaran kegiatan Apeksi. Terdakwa pada pertengahan bulan Juli 2018 menerima laporan dari Samsul Fitri tentang dana yang dibutuhkan untuk keberangkatan kegiatan Apeksi di Tarakan Kalimantan Utara sejumlah Rp 200 juta.
Namun yang ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak mencapai jumlah tersebut. Mendapat laporan itu, terdakwa kemudian memberikan arahan untuk meminta uang kepada Para Kepala OPD/Pejabat Eselon II dan Samsul Fitri menyatakan kesanggupannya.
Samsul Fitri di hadapan terdakwa kemudian membuat catatan Para Kepala OPD/ Pejabat Eselon II yang akan dimintai uang serta perkiraan jumlahnya yang mencapai Rp 240 juta. Atas catatan perhitungan Samsul Fitri tersebut terdakwa menyetujuinya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Total Uang Disetor Mencapai Rp2,1 MilIiar
Permintaan Eldin melalui Samsul Fitri hanya terkumpul Rp 120 juta. Dalam kesempatan lain, permintaan Dzulmi Eldin ternyata terus berlanjut hingga yang terakhir meminta uang pegangan dan perjalanan selama menghadiri undangan acara Program Sister City di Kota Ichikawa Jepang pada Juli 2019.
Penghitungan kebutuhan dana akomodasi kunjungan ke Jepang tersebut sejumlah Rp 1,5 miliar. Sedangkan APBD Kota Medan mengalokasikan dana hanya Rp 500 juta.
Eldin kemudian mengarahkan Samsul Fitri untuk meminta uang kepada Kepala OPD yang akan ikut dalam rombongan ke Jepang tersebut.
Dalam dakwaan Jaksa KPK, keseluruhan uang yang dikumpulkan terdakwa dari para kepala OPD yang disetorkan ke Dzulmi Eldin, totalnya mencapai Rp 2,1 miliar lebih.
Advertisement