Liputan6.com, Bandung - Pandemi Corona Covid-19 mengubah hampir segalanya, termasuk gaya orang berjabat tangan. Berdasarkan hasil penelitian para ahli, disebutkan tangan merupakan wadah bakteri paling banyak.
Baca Juga
Advertisement
Terkait dengan kebiasaan berjabat tangan, Jawa Barat memiliki kearifan lokal yang sudah ada sejak lama. Bahkan, jauh sebelum ada pandemi Covid-19, kearifan lokal itu berasal dari pola budaya yaitu bersalaman dengan merapatkan kedua tangan dan disimpan di depan dada sambil membungkukkan badan.
Belakangan teknik menyapa tersebut dipopulerkan dengan istilah 'Salam Sunda'. Melalui salam tersebut, diharapkan penyebaran virus yang muncul ketika seseorang bersin, batuk, dan kemudian bersalaman dengan orang lain dapat dihindari. Lantas, apakah pola salam Sunda memang tidak ada sentuhan sama sekali?
Menurut pemerhati budaya dan seni Sunda, Agus Hediana, pola berjabat tangan itu sendiri terdiri dari dua jenis, ada yang menempel dan tidak. "Kalau bertemu dengan orang yang tak dikenal biasanya tidak ada sentuhan," kata Agus saat berbincang dengan Liputan6.com di Bandung, Kamis (11/6/2020).
Menurut Agus, pola berjabat tangan di masyarakat Sunda adalah nilai kearifan lokal yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Ketika tangan tidak saling menyentuh karena tidak saling mengenal, maka kita bisa terhindar dari kemungkinan adanya wabah.
Pola bersalaman itu sendiri, lanjut Agus, tergantung kepada siapa akan berjabat tangan. Jika dalam acara religi di kasepuhan adat, bersalaman dengan sentuhan tetap perlu dilakukan kepada pemimpin adat.
"Biasanya tergantung strata dan siapa yang ditemui," ujar Agus.
Agus menyimpulkan, adanya pola bersalaman di masyarakat Sunda tersebut menunjukkan makna bahwa ada harmonisasi antara manusia dengan pencipta. "Yang menarik dari cara bersalaman ini bahwa konsep kearifan lokal masih relevan dengan kondisi sekarang," tutur Agus.
Meski dikenal sebagai salam Sunda, Agus menolak anggapan tersebut. Karena pola bersalaman kedua tangan disimpan di depan dada juga dilakukan masyarakat di Jawa hingga Bali. Bahkan, pengaruh teknik bersalaman tersebut lebih dikenal dengan salam Namaste di India.
"Kalau diklaim salam Sunda, kenapa di India juga seperti itu? Oleh karena itu harus dipertanyakan kembali apakah benar berasal dari Sunda atau justru pengaruh India," kata Agus.
Sementara itu, Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan (MLKI) Kota Bandung yang juga penganut aliran penghayat Bonie Nugraha Permana mengatakan, memang tidak ada literatur yang menjelaskan tata cara salam Sunda.
"Bersalaman yang dilakukan di masyarakat Sunda itu memang ada dan itu bersentuhan satu sama lain dengan kedua tangan melipat di depan dada sambil membungkukan badan. Ada sentuhan walau cuma ujung jarinya," kata Bonie.
Menurut Bonie, teknik jabat tangan seperti itu lazim dilakukan. Hal itu dimungkinkan karena kebiasaan dahulu tidak ada isu-isu virus yang menular.
"Hanya sekarang kan musim Covid-19, jadi ikut-ikutan jaga jarak dan menghindari sentuhan," ucapnya.
Bonie lebih jauh mengungkapkan, cara memberi salam di masyarakat Sunda menunjukkan kesetaraan di antara manusia. Bahkan dalam situasi tertentu pada orang tua Sunda yang masih memegang adat tradisi, jika ada yang mau mencium tangan selalu ditolak.
"Saya sendiri menganalisa, cara salam sentuh ujung jari sambil membungkuk ala Sunda adalah nilai egaliter sosial masyarakat Sunda, itu tanpa mengenal tingkatan usia," ujarnya.