Penyerang Novel Baswedan Dituntut 1 Tahun, Tim Hukum: Sangat Rendah dan Memalukan

Tim Advokasi Novel Baswedan, kata dia, sejak awal menemukan banyak kejanggalan dalam persidangan ini.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 11 Jun 2020, 22:05 WIB
Novel Baswedan bersama Wadah Pegawai (WP) KPK memperingati 500 hari penyerangan terhadap dirinya di depan Gedung KPK, Jakarta, Kamis (1/11). Penyidik senior KPK itu diserang dengan air keras pada 500 hari lalu. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta Kuasa hukum Novel Baswedan, Andi Muhammad Rezaldy menilai sandiwara hukum yang menimpa kliennya selama ini akhirnya terkonfirmasi. Sebab, dua terdakwa penyerang Novel Baswedan dituntut 1 tahun penjara.

Andi mengatakan, tuntutan ini tidak hanya sangat rendah, akan tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan. Terlebih. Novel adalah korban  serangan brutal.

"Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elit mafia korupsi dan kekerasan," katanya dalam siaran pers yang diterima, Kamis (11/6/2020).

Tim Advokasi Novel Baswedan, kata dia, sejak awal menemukan  banyak kejanggalan dalam persidangan ini.

Pertama, dakwaan Jaksa seakan berupaya untuk menafikan fakta kejadian yang sebenarnya. Sebab, Jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan.

"Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia. Sehingga Jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," tegas dia.

Kedua, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan Jaksa di persidangan. Dalam pantauan Tim Advokasi Novel Baswedan setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan di Persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Tiga saksi itu pun juga diketahui sudah pernah diperiksa oleh Penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.

"Jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini. Padahal esensi hukum pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah Jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya," beber dia.

Ketiga, lanjutnya, peran penuntut umum terlihat seperti pembela para terdakwa. Menurut Andi, hal ini dengan mudah dapat disimpulkan oleh masyarakat ketika melihat tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa.

Tak hanya itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel Baswedan pun Jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Penyidik KPK. Padahal seharusnnya, Jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru mebuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan.

"Persidangan kasus ini juga menunjukan hukum digunakan bukan untuk keadilan, tetapi sebaliknya hukum digunakan untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman alakadarnya. Menutup keterlibatan aktor intelektual," pungkasnya.


Minta Bentuk Tim Pencari Fakta Independen

Polisi mengawal dua tersangka kasus penyiramanan air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (28/12/2019). Tersangka berinisial RM dan RB dipindahkan dari Polda Metro Jaya ke Bareskrim Mabes Polri untuk penyidikan lebih lanjut. (merdeka.com/Imam Buhori)

Dengan sejumlah alasan tersebut, Tim Advokasi Novel Baswedan menuntut beberapa poin atas tuntutan ini, yakni meminta majelis hakim tidak larut dalam sandiwara hukum ini dan harus melihat fakta sebenarnya yang menimpa Novel Baswedan.

Selain itu, tim advikasi juga meminta Presiden Joko Widodo untuk membuka tabir sandiwara hukum ini dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen dan Komisi Kejaksaan mesti menindaklanjuti temuan ini dengan memeriksa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya