Liputan6.com, Makassar Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) kini berencana kembali membuka lembaran baru kasus korupsi pembebasan lahan underpass simpang lima Bandara Internasional Sultan Hasanuddin yang sebelumnya telah menjerat dua orang tersangka.
Dari dua orang tersangka itu, seorang di antaranya Ahmad Rifai telah menjalani peradilan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Makassar dengan vonis pidana maksimal.
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Daniel Pratu menyatakan Rifai terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi hukuman pidana 3 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan.
Tak hanya itu, Rifai juga dibebankan uang pengganti sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Meski dianggapnya berat, Mantan Kasubag Pertanahan Pemkot Makassar itu telah menerima putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Tapi sebaliknya tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang tidak menerima dan mengajukan perlawanan ke tingkat banding yang hingga saat ini dikabarkan masih berproses di Pengadilan Tinggi Makassar.
"Kami banding karena dalam putusan uang pengganti yang dibebankan ke terdakwa terlalu kecil," kata JPU, Irwan sebelumnya.
Baca Juga
Advertisement
Sementara tersangka lainnya, Rosdiana dinyatakan meninggal dunia dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO). Kejati pun menghentikan penyidikan perkaranya.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel) Firdaus Dewilmar membenarkan adanya rencana membuka kembali lembaran baru penyidikan atas kegiatan proyek nasional yang merugikan negara tersebut.
"Sudah saya instruksikan untuk diteliti ulang. Jika memang ada bukti baru, perkaranya langsung kita buka kembali," kata Firdaus di Kantor Kejati Sulsel, Jumat (12/6/2020).
Dalam persidangan kasus korupsi pembebasan lahan underpass yang mendudukkan Ahmad Rifai sebagai terdakwa kala itu, sebelumnya terungkap fakta baru.
Beberapa nama serta keterlibatannya dalam kegiatan proyek yang bernilai puluhan miliar itu terungkap secara terang. Bahkan perbuatannya disebut-sebut turut andil dalam menyebabkan kerugian negara.
"Nanti JPUnya juga saya panggil untuk paparkan fakta persidangan kasus underpass itu. Kalau faktanya jelas tentu penyidikan harus segera dibuka kembali guna mencari pertanggungjawaban pidana bagi pihak lainnya sesuai fakta yang dimaksud," tegas Firdaus.
Aktivis Minta Supervisi KPK
Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi total atas perkara korupsi yang jelas telah merugikan negara sesuai hasil perhitungan BPKP Sulsel itu.
"Supervisi KPK penting agar benang merah kasus ini terus tersambung. Masih banyak keterlibatan pihak lain tapi belum tersentuh. Kita harap penyidikan kasus ini segera dilanjutkan untuk mencari tersangka berikutnya," kata Kadir Wokanubun, Direktur ACC Sulawesi via telepon.
Ia mengaku menyayangkan sikap Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) yang terkesan menutupi peran pihak lain dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan proyek underpass simpang lima Bandara.
"Padahal sangat jelas semua yang tergabung dalam tim satgas harus dimintai pertanggungjawaban. Aneh sekali jika penyidikan kasus ini tak dilanjutkan kembali," ujar Kadir.
Ia sangat berharap Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel) yang baru, Firdaus Dewilmar segera mengevaluasi dan mengatensi upaya penyidikan lanjutan guna mendalami keterlibatan pihak lain dalam kasus yang jelas telah merugikan negara miliaran rupiah tersebut.
"Dalam sidang terdakwa sebelumnya, Ahmad Rifai itu jelas terungkap fakta bahwa dalam kegiatan pembebasan lahan tidak merujuk pada aturan sebenarnya," beber Kadir.
Dimana pada tahap kegiatan pembebasan lahan proyek underpass Bandara, tidak ada pembentukan tim pengadaan tanah yang merujuk pada aturan tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Melainkan kegiatan tersebut dikerjakan oleh tim yang dinamakan tim satgas yang didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Wali Kota Makassar periode itu.
"Motifnya jelas bahwa mereka tidak ingin melibatkan BPN yang tentunya mengetahui persis status lahan yang dimaksud yakni merupakan lahan negara," jelas Kadir membeberkan fakta persidangan.
Sehingga kata dia, wajar jika ditemukan terjadi pembayaran ganti rugi pada orang yang tidak berhak alias salah bayar.
"Dari keterangan BPN kepada penyidik kan juga tegas bahwa ada lahan negara yang dibayarkan dalam proyek pembebasan itu. Ini jelas pertanggungjawabannya kepada tim satgas secara kolektif yang berperan sebagai panitia pembebasan lahan dalam hal ini," ungkap Kadir.
Ia berharap Kajati Sulsel yang baru mendukung adanya upaya penyidikan lanjutan terhadap kasus underpass yang sebelumnya telah menyeret dua orang terdakwa dan seorang diantaranya yakni Ahmad Rifai saat ini perkaranya masih berproses di tingkat banding Pengadilan Tinggi Sulsel.
"Kasus ini tak boleh ada kesan tebang pilih, harus dilanjutkan. Apalagi dukungan alat bukti sangat cukup," ucap Kadir.
Tak hanya itu, ia juga meminta Kejati Sulsel menindaklanjuti serta mendalami fakta persidangan kasus underpass lainnya. Diantaranya tentang keberadaan Surat Keputusan (SK) pembentukan tim satuan tugas (satgas). Dimana jika merujuk pada aturan yang ada, seharusnya yang dibentuk bukan tim satgas. Melainkan tim pengadaan tanah atau kerap disebut dengan nama tim sembilan.
"Ini perlu didalami. Apa alasan dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti proyek pembebasan lahan underpass yang dimaksud tidak membentuk tim sembilan tetapi tim satgas," ujar Kadir.
Menurutnya dalam kasus ini seluruh tim satgas harus bertanggungjawab penuh. Karena, lanjut dia, tugas dan fungsi tim satgas bersifat kolektif dalam kegiatan pengadaan tanah proyek underpass yang dimaksud bermasalah itu.
"Jadi, kita ingin kasus ini terungkap secara terang benderang dan menyeret semua yang terlibat didalamnya," tegas Kadir.
Sebelumnya dalam sidang terdakwa Ahmad Rifai, JPU juga telah menghadirkan dua orang saksi dari tim satgas dalam sidang dugaan korupsi pembebasan lahan underpass simpang lima bandara saat itu.
Di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Daniel Pratu, kedua saksi yang dihadirkan JPU yakni masing-masing Lurah Sudiang Udin dan mantan Camat Biringkanaya, Andi Syahrum Makkurade memberikan kesaksian yang cukup menjadi alasan pertimbangan agar penyidikan kasus underpass ini harus dilanjut.
Dalam kesaksiannya di tengah persidangan, keduanya mengaku tak mengetahui persis bagaimana teknis pelaksanaan pembebasan lahan underpass yang telah berjalan tersebut.
Meski demikian, keduanya tak menampik telah bertanda tangan dalam dokumen hasil verifikasi nama-nama penerima ganti rugi lahan.
"Nama-nama tersebut sudah ada dan kami tak tahu asal muasalnya. Kalau tanda tangan, betul kami tanda tangan tapi nama-nama sudah ada lebih awal," terang Lurah Sudiang, Udin yang juga diamini oleh Syahrum yang diketahui berperan sebagai anggota tim satgas pembebasan lahan proyek underpass dalam persidangan sebelumnya.
Tak hanya itu, usai persidangan, terdakwa dugaan korupsi underpass simpang lima Bandara, Ahmad Rifai juga turut menguatkan jika proyek pembebasan lahan underpass memang bermasalah.
Ia mengatakan, seharusnya semua tim satgas menjadi tersangka sama dengan dirinya. Karena tanggung jawab tim satgas dalam pembebasan lahan bersifat kolektif.
"Semua harus tersangka karena kesalahan pembayaran ini akibat rekomendasi tim satgas. Kami di tim satgas kan bekerja secara kolektif bukan inisiatif sendiri-sendiri," jelas Rifai dalam persidangan yang digelar, Kamis 16 Mei 2019.
Advertisement
Kronologi Kasus
Diketahui dalam kasus dugaan korupsi underpass simpang lima Bandara ini telah menetapkan dua orang tersangka. Masing-masing Rosdiana dan Ahmad Rifai. Rosdiana hingga saat ini masih berstatus buron.
Dalam proyek tersebut, Rosdiana diketahui bertindak sebagai penerima ganti rugi lahan sedangkan Ahmad Rifai bertindak sebagai Sekretaris Tim Satgas.
Dari hasil penyidikan, Ahmad Rifai yang diketahui sebagai Kasubag Pertanahan Pemerintah Kota Makassar (Pemkot Makassar) kala itu, diduga melakukan kongkalikong dengan Rosdiana yang bertindak seolah-olah sebagai kuasa penerima anggaran atas lahan yang masuk dalam pembebasan proyek underpass simpang lima Bandara.
Padahal, lahan yang dimaksud atau diajukan oleh Rosdiana tersebut, tidak termasuk sebagai lahan yang dibebaskan dalam proyek pembangunan underpass. Hal ini terbukti dengan temuan sertifikat tanah yang diajukan untuk diganti rugi.
"Jadi ada sebidang tanah yang menerima pembayaran adalah orang yang tidak berhak. Artinya ada kongkalikong. Jadi ada orang yang bertindak seolah-olah sebagai penerima ganti rugi padahal dia tidak berhak," jelas Kepala Kejati Sulsel yang saat itu masih dijabat oleh Tarmizi.
Dari perbuatan keduanya, negara telah dirugikan sebesar Rp 3.482.500.000 sesuai dari hasil perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Sulawesi Selatan (BPKP Sulsel).
"Uang ganti rugi lahan yang diterima oleh Rosdiana sebesar nilai kerugian negara tersebut, dimana Ahmad Rifai turut mendapat fee sebesar Rp250 juta dari Rosdiana," urai Tarmizi.
Keduanya saat itu dijerat ancaman pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 ayat 1 subsidair pasal 3 juncto pasal 18 ayat 1 Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 KUHP.
Proyek pembebasan lahan proyek underpas simpang lima Bandara, diselidiki oleh Kejati Sulsel pada awal tahun 2017 lalu. Dimana proyek tersebut diketahui menggunakan anggaran yang bersumber dari APBN melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dijalankan oleh Balai Jalan Metropolitan Makassar (BJMM) senilai Rp 10 miliar.
Dalam perjalanannya, Pemkot Makassar diminta oleh BJMM untuk menyediakan lahan yang akan digunakan pada proyek tersebut. Selain itu Pemkot juga diminta untuk membuat daftar nominatif (inventarisasi lahan) yang akan digunakan untuk pembebasan lahan proyek underpass.
Namun dalam pelaksanaan pembebasan lahannya, ditemukan adanya indikasi dugaan salah bayar senilai Rp 3,48 miliar.
Pada tahap penyelidikan, beberapa pihak terkait dalam proyek tersebut diperiksa secara maraton. Diantaranya Camat Biringkanaya, Andi Syahrum Makkuradde dan mantan Kasubag Pertanahan Pemkot Makassar, Ahmad Rifai.
Tepat November 2017, status kasus pembangunan underpass simpang lima Bandara pun resmi ditingkatkan oleh Kejati Sulsel dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan karena pertimbangan alat bukti adanya unsur perbuatan melawan hukum didalamnya dianggap telah terpenuhi. Sejumlah pihak lain yang terkait pun turut diperiksa kembali secara maraton oleh tim penyidik Kejati Sulsel.
Diantaranya Camat Tamalanrea, Kaharuddin Bakti, Kepala Kelurahan Sudiang, Udin dan Asisten 1 Pemkot Makassar yang bertindak selaku Ketua Tim Satgas, M. Sabri juga diperiksa sebagai saksi pada bulan Desember 2017 lalu. Kemudian berlanjut memeriksa mantan Kepala Badan Pertanahan (BPN) Kota Makassar, Iljas Tedjo Prijono pada tanggal 8 Januari 2018.
Tak hanya itu, tim penyidik Kejati Sulsel juga telah memeriksa sejumlah orang yang tergabung dalam tim satgas lainnya yang diduga mengetahui dan terlibat dalam proyek merugikan negara tersebut.
Mereka adalah dua staf Kesbangpol Kota Makassar yakni A. Rifai dan Hasan Sulaiman yang masing-masing bertugas sebagai mantan Sekretaris tim Satgas dan staf tim satgas. Keduanya diperiksa pada tanggal 29 Januari 2018 lalu.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: