Cerita Akhir Pekan: Saat Orangtua Jenuh Jadi Guru Selama Anak Belajar dari Rumah

Sudah dijalankan selama berbulan-bulan, proses belajar dari rumah menghasilkan keluhan tak hanya dari anak, namun juga orangtua.

oleh Asnida Riani diperbarui 13 Jun 2020, 08:30 WIB
Ilustrasi anak belajar dari rumah Credit: pexels.com/Elly

Liputan6.com, Jakarta - Demi memutus rantai penyebaran COVID-19, sudah sejak Maret para pelajar, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, menerapkan proses belajar dari rumah. Kondisi ini tentu membuat perubahan terjadi di berbagai lini, termasuk peran orangtua dalam pendampingan.

Menurut Psikolog Pendidikan, Adinda Istiqomah, pembelajaran jarak jauh seperti sekarang perlu kesepakatan pengertian tentang peran dan fungsi masing-masing, baik guru dan orangtua. "Kedua belah pihak juga perlu punya pemahaman tentang kemampuan belajar anak," paparnya lewat pesan pada Liputan6.com, Jumat, 12 Juni 2020.

Adinda menyambung, peran orangtua di masa belajar dari rumah bergeser jadi mengoperasionalkan pembelajaran di rumah. Mengoperasionalkan di sini adalah bagaimana sebagai pendamping, orangtua bisa mempersiapkan anak untuk belajar, menjaga atensi anak ketika pembelajaran daring, dan membimbing ketika mengalami kesulitan.

Sementara, menurut Pemerhati Pendidikan Doni Koesoema, proses belajar dari rumah merupakan perubahan drastis bagi anak. Menurutnya, komunikasi saat belajar dari rumah sangat tergantung pada alat, dan ini bisa melelahkan karena pengalaman berkomunikasi jadi terbatas.

"Situasi ini juga membatasi gairah siswa dalam belajar. Mereka cepat lelah dan bosan. Apalagi, bila cara pengajaran selama PJJ (pembelajaran jarak jauh) tak menarik dan kaku. Hanya mengulang hafalan yang tidak relevan dengan proses belajar," terangnya lewat pesan pada Liputan6.com, Rabu, 10 Juni 2020.

Bahkan, sambung Doni, proses belajar dari rumah dalam kondisi itu bisa saja tak memberi ruang pada kreativitas dan inovasi, serta kemampuan berpikir secara mandiri. Bila ini terjadi, anak akan semakin tak berminat belajar.

Load More

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Keluhan Proses Belajar dari Rumah

Ilustrasi anak belajar dari rumah/copyright pixabay.com/rawpixel

Adinda mengatakan, setelah berbulan-bulan menjalani proses belajar dari rumah, jadwal belajar dan bermain anak cenderung jadi tak teratur. "Waktu sekolah dan bermain jadi sulit dipisahkan karena anak biasanya mau waktu main mereka lebih lama, sedangkan tugas-tugas sekolah juga sudah menanti," katanya

Dengan kesibukan semua anggota keluarga yang berbeda-beda, orangtua seringkali bingung dan berharap anak bisa menyelesaikan tugas mereka sendiri. Namun, kenyataannya anak masih belum mandiri, kurang kooperatif, bahkan memberi berbagai macam alasan sehingga tugas tidak selesai sesuai target waktu.

"Selain itu banyak anak yang menganggap jika sekolah libur, maka belajar ikut libur. Mindset tersebut membuat perilaku belajar di rumah tergantung mood yang bisa berdampak pada perilaku belajar anak di antaranya tak tahan duduk lama, menunda belajar, kurang teliti, kurang tekun, dan sangat bergantung ketika belajar," sambung Adinda.

Keluhan serupa pun diutarakan Julia, ibu yang harus bekerja dari rumah sekaligus mendampingi kedua anaknya menerapkan pembelajaran jarak jauh. "Sekarang pun sudah mulai jenuh dan resah kapan anak bisa kembali ke sekolah. Di sisi lain, was-was juga karena pandemi belum sepenuhnya teratasi," ucap Julia lewat sambungan telepon, Kamis, 11 Juni 2020.


Mengatasi Permasalahan Belajar dari Rumah

Ilustrasi anak belajar dari rumah. (Ilustrasi: Pexels.com/Pixabay)

Mengatasi berbagi kendala, termasuk rasa jenuh di tengah situasi tak pasti, Adinda merekomendasikan beberapa metode. Pertama, menggunakan jadwal guna menciptakan keteraturan dan ketertiban.

"Jadwal pembelajaran online biasanya sudah ditentukan guru di sekolah. Sementara, jadwal mengerjakan tugas atau PR harus ditentukan sendiri. Misal, setelah pembelajaran online, anak boleh bermain, lalu sore harinya mengerjakan PR," katanya.

Tanpa jadwal, kata Adinda, akan terjadi pertempuran terus antara orangtua dan anak. Bahkan, ketika anak sudah dewasa, jadwal bisa ditetapkan bersama.

Kemudian, pengaturan tempat. Tempat yang terpisah antara anak sekolah dari rumah dengan orangtua yang bekerja dari rumah. Jika tidak ada ruang terpisah, bisa menggunakan sudut ruang terpisah. "Lalu menghadap ke komputer atau dinding sehingga tidak terjadi distraksi orang lewat maupun sedang melakukan aktivitas lain," imbuhnya.

Ketiga, bantu anak seperlunya. "Misal, orangtua hanya menyiapkan komputer atau aplikasi pada awalnya, kemudian tinggal dipantau. Karena intruksi-intruksi yang diberikan guru sudah jelas. Orangtua mengatakan pada anak, 'Jika memerlukan bantuan, bisa memanggil mama atau papa'," papar Adinda.

Lalu, bisa juga dengan memberi penghargaan dalam berbagai bentuk, seperti pujian. Apresiasi dari orangtua akan menumbuhkan atmosfer positif saat belajar di rumah. "Anak juga jadi pribadi yang merasa dihargai dengan usaha belajarnya," tuturnya.

Terakhir, anak boleh belajar apa saja yang mereka sukai. Misal, cara memelihara kelinci atau belajar mengenai olahraga favorit. "Kalau suka, ia biasanya cari sendiri, nantinya dapat pengetahuan sendiri, dan bisa diceritakan ke orangtua. Hal tersebut membuat anak secara kognitif lebih menguasai banyak hal," paparnya.

Julia menambahkan, demi menciptakan nuansa belajar di rumah, ia bahkan meminta anak-anak memakai seragam seperti saat sekolah. "Setelah pakai seragam, mereka tahu kalau itu memang waktunya belajar, apalagi anak saya yang masih SD," tuturnya.

Rutinitas ini diimbangi dengan dirinya yang juga berdandan rapi seolah mau berangkat kerja. "Karena biar bagaimanapun, anak kan peniru ulung. Jangan suruh mereka disiplin, rapi, tapi orangtuanya sembarangan," ucapnya lagi.


Komunikasi Orangtua dan Guru

Ilustrasi anak belajar dari rumah. (Ilustrasi/iStockphoto)

Adinda mengatakan, pada praktiknya, guru dan orangtua bisa saling melakukan kontrol dan mengevaluasi belajar anak secara daring. "Orangtua juga bisa menanyakan kondisi anaknya selama pembelajaran daring dari guru dan guru juga menanyakan kondisi belajar murid di rumah," tuturnya.

Kemudian, kedua pihak bisa sama-sama mengevaluasi belajar anak. "Contoh jika anak mendapatkan nilai yang kurang, guru dan orangtua harus membicarakan cara yang dibutuhkan untuk meningkatkan pencapaian anak," sambung Adinda.

Soal metode pembelajaran yang menyenangkan tak hanya untuk anak, tapi juga orangtua, Adinda merekomendasikan penerapan learning to know, yakni salah satu pilar pendidikan dari UNESCO.

"Learning to know memiliki arti bahwa anak dianjurkan untuk mencari dan mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya melalui pengalaman. Bisa dilakukan dengan melakukan aktivitas yang diminati anak," kata Adinda.

Di dalam learning to know, terdapat learning how to learn, yakni anak memahami melalui apa yang ada di sekitar.

"Misal, mengajarkan berhitung melalui aktivitas berkebun dengan menghitung daun yang merupakan aktivitas diminati anak. Contoh lain untuk melatih motorik anak, mereka dilibatkan dalam pekerjaan dapur seperti memotong buah," imbuhnya.

Menurut Doni, metode ini sebenarnya ada banyak. "Yang jelas, kalau sekedar menghafal, pasti anak tidak suka. Apalagi, kalau disuruh menjawab pertanyaan yang jawabannya sudah ada di buku teks atau internet," ungkapnya.

"Sedangkan untuk orangtua, tugas-tugas yang menyita kuota dan pulsa pasti tidak menyenangkan, seperti anak diminta membuka video atau membuat tugas dengan membuat video. Ini akan memboroskan uang orangtua. Karena itu, sekolah dan guru harus paham," tuturnya.

Lebih dari itu, kata Doni, tak semua guru harus memberi penugasan pada setiap mata pelajaran. Yang menyenangkan anak umumnya adalah tugas sekolah yang relevan dengan kondisi dan kebutuhan anak, tanpa meninggalkan tercapainya tujuan belajar dalam kurikulum.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya