Liputan6.com, Jakarta - New Normal merupakan isu yang sedang populer di masyarakat saat ini. Namun, sebaiknya tidak dibicarakan secara latah. Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (PP Kagama) sekaligus Koordinator Staf Khusus Presiden, AAGN Ari Dwipayana mengatakan, banyak pihak menggunakan istilah new normal dengan bermacam pandangan.
"Ada yang menganggap new normal sebagai re-opening, pelonggaran PSBB. Tetapi, ada juga yang melihat new normal sebagai perubahan gaya hidup, perilaku, kebiasaan, atau adaptasi terhadap kebiasaan-kebiasaan baru," ujarnya.
Advertisement
Hal tersebut disampaikan Ari dalam sambutannya di seminar Kagama Health and Caring, bertopik New Normal: Perilaku Hidup Sehat, Bijak Memilih Obat dan Suplemen Kesehatan Selama Pandemi Covid-19, yang digelar secara daring, Sabtu (13/06/2020). Acara yang digelar PP Kagama tersebut diikuti sekitar 500 peserta.
Selain Ari hadir pula Ketua II PP Kagama Bambang E Marsono, Wakil Sekjen PP Kagama Hasannudin M Kholil, serta narasumber dokter dan aktivis kemanusiaan Tirta Mandira Hudhi dan Guru Besar Fakultas Farmasi UGM/Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia Zullies Ikawati. Bertindak sebagai moderator Lusy Noviani, Manager Farmasi Rumah Sakit Atma Jaya.
Ari menyebutkan, setiap orang memiliki pemaknaannya sendiri terhadap new normal. Namun, dalam seminar tersebut dia mengajak masyarakat untuk membahas new normal dalam konteks perubahan perilaku hidup sehat.
"Pandemi ini memberikan makna yang luar biasa bagi kita semua. Karena telah mengubah secara fundamental kebiasaan-kebiasaan kita sebelumnya. Misalnya, cara kita belajar atau cara kita bekerja dari rumah yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan. Cara kita melakukan aktivitas ekonomi juga berubah termasuk dalam hal konsumsi," ujar Ari.
Menurutnya, pandemi Covid-19 mempercepat adanya perubahan kebiasaan, termasuk juga kebiasaan menjaga kesehatan. Jika sebelumnya orang agak abai terhadap kesehatan, abai menjaga daya tahan tubuh, kali ini masyarakat menganggap persoalan ini sebagai sesuatu yang penting dan harus diutamakan.
Alumnus Departemen Politik Pemerintahan UGM angkatan 1990 itu menuturkan, pandemi telah menggugah kesadaran tentang ketahanan di bidang kesehatan, bukan hanya ketahanan di bidang ekonomi dan sosial.
Seperti kesadaran betapa tergantungnya Indonesia terhadap bahan obat-obatan. Berdasar data, kata Ari, 95% bahan obat-obatan Indonesia diimpor dari berbagai negara. Indonesia banyak bergantung pada bahan obat-obatan dari luar. Demikian juga dalam hal pemenuhan kebutuhan alat-alat kesehatan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Ketahanan di Bidang Kesehatan
Pria asal Ubud, Bali ini menuturkan, Indonesia belum memiliki fasilitas pendukung yang cukup untuk melakukan rapid test maupun PCR (polymerase chain reaction) test. Laboratorium kesehatan juga terbatas, ditambah jumlah tenaga kesehatan yang kurang di tengah banyaknya ancaman penyakit berbahaya dan menular. Sebagai contoh angka TBC Indonesia menempati posisi ketiga tertinggi di dunia. Indonesia juga punya masalah cukup serius dengan HIV.
"Pandemi ini menjadi kesempatan kita untuk meningkatkan ketahanan negara di bidang kesehatan," pungkas pria kelahiran 1972 ini.
Untuk itu, selain perilaku hidup sehat, serta bijak memilih obat dan suplemen, Ari juga menghimbau masyarakat untuk mengkonsumsi produk dalam negeri, termasuk dalam hal ini produk obat-obatan dan suplemen kesehatan.
Advertisement