Liputan6.com, Mamuju Tengah Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat menjadi daerah dengan pasien positif Covid-19 terbanyak di provinsi ke-33 itu. Berdasarkan data gugus tugas penanganan Covid-19 Sulawesi Barat, dari total 98 kasus, 38 kasus berada di Mamuju Tengah.
Namun, dari 38 kasus itu, pada 13 Juli kemarin, gugus tugas provinsi mengumumkan, 37 kasus sudah dinyatakan sembuh dan 1 kasus meninggal dunia, itu berarti tidak ada lagi kasus positif Covid-19 di Mamuju Tengah. Pemerintah setempat berhasil melakukan penanganan terhadap virus yang sangat cepat menyebar itu.
Kepala Dinas Kesehatan Mamuju Tengah, Setya Bero mengatakan, bukanlah hal mudah membuat Mamuju Tengah terlepas dari Covid-19. Karena, dari awal, mereka harus menghadapi jumlah kasus yang melonjak tajam dalam hitungan hari.
Baca Juga
Advertisement
Yang awalnya 1 kasus menjadi 3, dan kemudian melonjak menjadi 24 kasus, hingga mencapai 38 kasus dalam kurun waktu satu bulan lebih. Bahkan, manjadi klaster penyebaran Covid-19 terbesar di Sulawesi Barat, yakni Klaster Pontanakayyang.
"Jumlah kasus sangat cepat melonjak. Karena saat kasus pertama terjadi, kami langsung melakukan tracing kontak erat pasien hingga titik terakhir. Prinsip kita, semakin cepat memulai, maka semakin cepat mengakhiri," kata Satya saat dihubungi Liputan6.com, Senin (15/06/2020).
Menghadapi lonjakan pasien yang sangat tajam, Pemkab Mamuju Tengah dengan cepat melakukan isolasi wilayah terhadap Desa Pontanakayyang di Kecamatan Budong-budong, yang mejadi tempat klaster penyebaran Covid-19. Langkah itu sempat menimbulkan pro dan kontra, terjadi penolakan dari warga yang daerahnya dikarantina.
"Dalam penanganan Covid-19 ini banyak sekali masalah, kita harus melibatkan seluruh stakeholder terkait, bahkan tokoh masyarakat dan pemuda harus dilibatkan, agar penanganan yang kami lakukan bisa diterima oleh masyarakat," terang Setya.
Setelah lonjakan itu, masalah baru muncul, yakni, tidak tersedianya tempat karantina bagi pasien. Pasien tidak ingin isolasi di rumah sakit rujukan, apa lagi saat itu RSUD Regional Sulawesi Barat tidak memiliki ruang isolasi yang memadai dan jaraknya juga terlalu jauh.
"Kami melakukan konsolidasi, merapatkan barisan dan menyatukan persepsi, mencari solusi penanganan kasus yang semakin tinggi. Pemkab pun mengambil kebijakan, dengan menjadikan gedung lama Puskesmas Salugatta sebagai lokasi karantina," ungkap Setya.
Simak Video Pilihan Berikut:
Minim Tenaga Medis
Saat semua pasien sudah menjalani karantina di lokasi yang ditetapkan, suatu kendala baru muncul, yakni tidak adanya tenaga medis di Mamuju Tengah yang bisa melakukan pengambilan spesimen swab pasien. Karena, sejak awal, pengambilan swab dilakukan oleh pihak gugus tugas provinsi.
"Kami mengirim 2 petugas medis kami ke provinsi untuk medapatkan pelatihan pengambilan swab, sehingga kita bisa melakukan swab secara sendiri. Kemudian 2 orang itu yang melatih tenaga medis ditiap puskesmas yang ada di Mamuju Tengah" tutur Satya.
Langkah itu dinilai Setya sangatlah tepat, karena mampu mempercepat penanganan terhadap pasien Covid-19. Apa lagi, mereka bisa mengirim spesimen swab langsung ke Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Makassar tanpa harus melalui gugus tugas provinsi lagi.
"Jadi kami langsung, hari ini swab, hari ini kita langsung kirim ke Makassar. Hal ini memutus mata rantai waktu yang begitu lama dalam menunggu hasil, kadang yang membuat lama penanganan adalah hasil pemeriksaan," terang Satya.
Menurut Setya, lamanya proses pemeriksaan swab akan sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis dari pasien. Karena semakin lama mereka menunggu, maka mereka akan merasa jenuh dan tertekan.
"Hal itu akan memperlambat masa penyembuhan pasien, karena imun tubuh mereka juga akan semakin menurun," jelas Setya.
Advertisement
Komunikasi dengan Pasien
Setya mengungkapkan, setelah beberapa waktu mengamati perkembangan pasien Covid-19 selama isolasi. Pihaknya memahami, bahwa ruangan isolasi yang representatif, turut andil membantu proses penyembuhan pasien.
"Jika tempat karantinanya tidak representatif, pasien akan merasa tertekan, itu menurut pemahaman kami, bakal membuat lama masa penyembuhan pasien," ungkap Setya.
Setya menuturkan, pasien Covid-19 sebenarnya, selain membutuhkan nutrisi yang lengkap, juga membutuhkan perasaan rileks selama menjalani isolasi. Karena itu, ada kolaborasi yang dilakukan dinas terkait di Mamuju Tengah untuk menciptakan perasaan nyaman tersebut.
"Misalnya, dia di karantina di ruangan 3x3 meter seperti bangsal rumah sakit. Pasti pasien itu merasa tertekan dan daperesi. Jadi harus disedikan tempat yang nyaman," tutur Setya.
Selain tempat karantina yang represetatif, tambah Setya, membangun komunikasi yang baik dengan pasien, juga diperlukan. Seperti bertanya mengenai keinginan dan harapan para pasien. Serta bertanya mengenai hal apa saja yang harus diperbaiki oleh gugus tugas selama melakukan penanganan Covid-19.
"Jadi keterbukaan tenaga medis dan pasien itulah yang menjadi daya dukung penyembuhan. Apa lagi tempat karantina kami juga terbuka, tidak seperti bangsal, jadi pasien bisa rileks dan bisa tenang," terang Setya.
Lanjut Setya, setelah pasien dinyatakan sembuh, gugus tugas memberikan apresiasi kepada mereka, di mana mereka membuatkan sebuah acara seremonial atas kesembuhan mereka. Bahkan mereka memberikan bingkisan kepada pasien sebagai bentuk kenang-kenangan.
"Habis itu kita antar pasien sampai ke rumahnya, keliling kampung. Kita juga memanggil aparat dan kita sampaikan, bahwa pasien sudah sembuh dan jangan dikucilkan lagi," ujar Setya.
Saat ini, Setya berharap, ke depan Mamuju Tengah bisa terus menjaga status tanpa pasien Covid-19. Masuk ke era kenormalan baru, masyarakat diimbau tetap waspada dan mematuhi semua protokol kesehatan.