Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan teknologi terus membawa perubahan sosial di masyarakat, utamanya di Indonesia. Sebab, sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kendala akses terhadap berbagai hal termasuk teknologi, yang menimbulkan gap.
Dalam istilahnya, Staf Ahli Bidang Transformasi Digital, Kreativitas, dan Sumber Daya Manusia Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Mira Tayyiba menyebutkan adanya digital paradox, di mana digital memberikan peluang kepada semua orang dan negara untuk berkembang, bahkan melakukan leap frog.
Namun, di sisi lain juga memperbesar kesenjangan apabila tidak memiliki kemampuan untuk mengakses dan memanfaatkan, serta bertransformasi.
Baca Juga
Advertisement
"Saya ambil contoh UMKM yang sudah bisa menggunakan tekno digi bisa menggunakan e-commerce, meskipun terkena PSBB tidak bisa melakukan produksi seperti biasanya, mereka tetap bisa berjualan, tapi UMKM yang tidak bisa menggunakan digital ya dianggap ngapa-ngapain lah ibaratnya begitu," kata Mira dalam Ngopi Teko - The Next Normal: Desain Transformasi Digital yang Inklusif, Selasa (16/6/2020).
Digital gap ini, lanjut Mira, juga terjadi di pemerintah, misalnya ketika dua K/L harus menyusun kebijakan secara bersama, dimana salah satu pihak sudah paham potensi ekonomi digital, sementara lainnya belum menguasai isu atau tema tersebut.
"Banyak isu pembangunan yang sifatnya lintas, apabila kemampuan dan cara pikir ini berbeda dan harus membuat kebijakan bersama, ini akan sulit," ujar Mira.
"Jadi sekali lagi pada saat bicara digital yang harus ditanamkan pertama kali bagaimana digital ini harus bisa melayani semuanya, artinya inklusif," sambung dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Literasi Digital
Adapun menurut Mira, beberapa hal yang harus diperhatikan untuk inklusivitas digital ini, yang pertama infrastruktur, baik itu jaringan telekomunikasi melalui backbone, backhaul, dan last mile, juga jaringan listrik. Termasuk aplikasi lokal dan infrastruktur data, baik data center maupun cloud.
Selanjutnya, literasi digital dan digital talent, yakni kemampuan untuk menggunakan media digital dan memanfaatkannya dengan sehat, bijak, cerdas, dan patuh hukum. Selain itu, juga kemampuan untuk memilah informasi dan memanfaatkan emerging technology.
Kemudian Mira juga mengatakan pentingnya pola pikir dan budaya digital.
"Kita memang punya wawasan jangka panjan, tapi kita harus mampu mengoperasionalkan ke langkah jangka pendek serta bergerak cepat dan fleksibel sesuai dengan dinamika situasi," beber Mira.
Terakhir, ada agility yang bisa digunakan untuk memecah silo, atau sekat-sekat, begitu juga dengan kolaborasi penta helix Academy, Business, Community, Government, dan MEdia.
"Media berperan untuk memperkenalkan budaya digital karena ini harus masiv, harus semua orang bisa menggunakan digital, maka kita sangat memerlukan peran media untuk mengedukasi," pungkas dia.
Advertisement