Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan vonis dari Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur terhadap tujuh warga Papua yang disebutnya sebagai tahanan politik atau tahanan nurani. Hakim menjatuhkan hukuman penjara 10 hingga 11 bulan kepada ketujuh orang tersebut karena bersalah atas dugaan makar.
"Kami sangat menyayangkan putusan pengadilan tersebut. Walaupun putusannya jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, tetap saja, seharusnya tujuh tahanan nurani tersebut dari awal tidak ditangkap, dipenjara dan dituntut secara hukum. Mereka seharusnya dibebaskan dan seluruh tuduhannya dihapuskan," kata Usman melalui keterangan tertulis, Rabu malam 17 Juni 2020.
Advertisement
Usman mengatakan, di tengah situasi pandemi di mana tahanan menjadi salah satu tempat yang rawan penyebaran Covid-19, memenjarakan mereka tanpa adanya bukti kejahatan merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
"Mereka tidak melakukan tindakan kriminal apapun seperti yang dituduhkan, mereka hanya mengikuti aksi protes damai, menggunakan hak-hak mereka untuk berekspresi, berkumpul dan mengemukakan pendapatnya untuk memprotes tindakan rasisme," tegas Usman.
Menurut dia, saat ini iktikad baik otoritas di negara ini sangat dinantikan. Mengingat dasar hukumnya sudah jelas, yakni Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 telah mengatur tentang amnesti dan abolisi.
Di era Presiden BJ Habibie, kata dia, tahanan politik atau tahanan nurani Timor-Timur dibebaskan. Presiden Jokowi bahkan membebaskan lima tahanan nurani Papua di awal periode pertama kepemimpinannya.
"Putusan ini telah menunjukkan kegagalan negara untuk menghormati hak-hak asasi manusia, juga kegagalan pemerintah dalam memenuhi janjinya untuk melindungi kebebasan berekspresi. Bagaimana bisa mereka dijatuhi hukuman, sementara yang mereka lakukan dilindungi oleh hukum negara bahkan konstitusi," tegas Usman.
Aktivis 98 ini meminta agar negara menghentikan kriminalisasi terhadap orang Papua dengan penggunaan pasal makar. Tidak seorangpun harus menderita perlakuan ini karena menghadiri demonstrasi secara damai.
"Sudah saatnya seluruh tahanan hati nurani Papua dan Maluku dibebaskan, apalagi di tengah wabah global Covid-19 ini. Hakim dan jaksa juga seharusnya peka pada situasi wabah sekarang ini, di mana situasi penjara sesak dan tidak sehat. Pertimbangan HAM harus menjadi fokus dari penanganan Covid-19," beber Usman.
Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan Kalimantan Timur menjatuhkan vonis hukuman penjara 10 hingga 11 bulan pada tujuh orang aktivis dan mahasiswa Papua karena terbukti melanggar ketentuan pasal makar diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Buchtar Tabuni dari United Liberation Movement for Papua divonis 11 bulan penjara dari tuntutan jaksa 17 tahun, mantan Ketua BEM Universitas Cenderawasih Fery Kombo divonis 10 bulan penjara dari tuntutan jaksa 10 tahun, mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Irwanus Uropmabin divonis 10 bulan penjara dari tuntutan jaksa 5 tahun, dan Ketua Umum KNPB Agus Kossay divonis 11 bulan penjara dari tuntutan jaksa 15 tahun.
Kemudian Ketua KNPB Mimika Stevanus Itlay divonis 11 bulan penjara dari tuntutan jaksa 15 tahun, mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay divonis 10 bulan penjara dari tuntutan jaksa 10 tahun, dan mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Hengky Hilapok divonis 10 bulan penjara dari tuntutan jaksa 5 tahun.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Ditangkap pada Agustus 2019
Sebelumnya mereka ditangkap karena mengikuti aksi unjuk rasa damai anti-rasisme di Jayapura, Papua, pada Agustus 2019. Aksi tersebut merupakan buntut tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Usman mengatakan, hingga 8 Juni 2020, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya masih ada 44 tahanan hati nurani Papua yang mendekam di balik jeruji besi. Semuanya diancam atas tuduhan makar, padahal mereka hanya terlibat dalam aksi protes damai dan tidak melakukan tindakan kriminal apapun.
Amnesty International juga mencatat telah terjadi peningkatan pengenaan pasal makar terhadap setidaknya 44 orang aktivis Papua yang tengah menjalankan kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul secara damai.
Menurut Usman, pada 2005, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang secara tegas menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 19, serta dijelaskan dalam Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR.
"Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia. Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional," jelasnya.
Ia pun menegaskan, dalam hal ini Amnesty International tidak mengambil sikap apa pun terkait status politik dari provinsi mana pun di Indonesia.
"Meski demikian, kami memegang teguh prinsip kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk menyuarakan kemerdekaan atau gagasan politik apa pun yang dilakukan secara damai yang tidak mengandung kebencian, diskriminasi serta kekerasan," Usman menandaskan.
Advertisement
Vonis Pengadilan
Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim) menjatuhkan vonis hukuman penjara 10 hingga 11 bulan pada tujuh aktivis dan mahasiswa Papua karena terbukti melanggar ketentuan pasal makar diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Terdakwa terbukti melakukan makar secara bersama sama dan dijatuhi hukuman penjara 10 bulan," kata Majelis Hakim Sutarno saat memimpin persidangan terdakwa Irwanus Uropmabin di Balikpapan, Rabu (17/6/2020).
Dalam putusannya, Sutarno menyatakan, orasi terdakwa mengajak masyarakat Papua menggelar referendum keluar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selama jalannya aksi, terdakwa pun membawa Bendera Bintang Kejora simbol kedaulatan Negara Papua Barat.
"Pemahaman kasus makar tidak harus dibuktikan dalam bentuk serangan fisik. Sebagai bentuk ide juga bisa dikategorikan masuk bentuk makar," dia menegaskan.
Hakim memaklumi reaksi aparat keamanan membubarkan demonstran sekaligus menjerat aktivis dengan pasal makar. Hakim berpendapat, negara berhak melindungi keutuhan negara baik dari ancaman dalam maupun luar negeri.
"Mengacu Keputusan Majelis Konstitusi dalam memahami ketentuan pasal makar. Pemahaman soal makar, kalau terlambat akan berakibat fatal," ujar Sutarno.
Di tempat terpisah, tiga mahasiswa lainnya Ferry Kombo (Universitas Cendrawasih), Hengki Hilapok dan Alexander Gobai (USTJ) dijatuhkan vonis yang sama masing masing 10 bulan penjara.
Sedangkan tiga aktivis hak asasi manusia (HAM) Papua memperoleh hukuman sedikit lebih berat, 11 bulan penjara. Mereka adalah Buchtar Tabuni (United Liberation Movemnet for Papua), Agus Kossay dan Stevanus Itlay dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Buchtar Tabuni menyampaikan puji syukur atas jatuhnya vonis hakim. Apalagi seperti diketahui, ia merupakan terdakwa mendapat tuntutan terberat hingga 17 tahun penjara.
Meski begitu, Buchtar menilai vonisnya tetap belum mencerminkan rasa keadilan. Ia merasa tidak bersalah atas semua tuduhan jaksa.
"Saya tidak pernah merasa bersalah seperti dituduhkan, sehingga akan pikir pikir dengan vonis ini," ujarnya.
Perwakilan tim kuasa hukum Fahtul Huda Wiyashadi tetap menghargai vonis hukuman sudah dijatuhkan hakim. Menurutnya, hakim sudah memberikan rasa keadilan dengan mempertimbangkan bukti bukti dan keterangan saksi tim pembela.
Namun di sisi lain, Fathul tentunya tetap menyerahkan seluruh keputusan hukum pada terdakwa. Apakah menerima vonis hakim atau menolak dengan pengajuan banding. Pengadilan memberikan batas waktu tujuh hari bagi terdakwa dan JPU.
Polri Sebut 7 Warga Papua yang Disidang Bukan Tahanan Politik
Sementara itu. Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono menegaskan, tujuh warga Papua yang saat ini menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur atas dugaan makar merupakan pelaku tindak kriminal, bukan tahanan politik.
"Mereka adalah murni pelaku kriminal yang mengakibatkan terjadi kerusuhan di Papua dan khususnya di Kota Jayapura," tutur Argo dalam keteranganya, Rabu (17/6/2020).
Menurut Argo, provokasi yang dilakukan telah banyak mengakibatkan kerugian materil atau harta benda bagi masyarakat Papua. Isu mereka sebagai tahanan politik sengaja disebarkan sejumlah kelompok kecil yang menggelar aksi unjuk rasa.
"Jelas mereka pelaku kriminal, sehingga saat ini proses hukum yang dijalani oleh mereka adalah sesuai dengan perbuatannya," jelas dia.
Argo menyebut, Polri sejak awal sudah mengumpulkan berbagai bukti kuat hingga akhirnya menyimpulkan para terdakwa sebagai pelaku makar.
"Kami berharap penegakan hukum Papua tidak dianggap sebagai persoalan politik, karena ini murni kriminal," Argo menandaskan.
Advertisement