Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, ekonomi Indonesia masih cukup kuat meskipun tengah mengalami tekanan yang sangat berat akibat Pandemi Corona. Beberapa indikator ekonomi masih di level positif meskipun mengalami penurunan yang dalam.
Ia pun menjelaskan, berdasarkan data Mei 2020 menunjukkan Neraca Perdagangan Indonesia surplus USD 2,09 miliar. Membaik dari kondisi bulan April yang mengalami defisit USD 372,1 juta.
Advertisement
Selain itu, aliran masuk modal asing juga kembali berlanjut. Kondisi ini dipengaruhi meredanya ketidakpastian pasar keuangan global serta tetap tingginya daya tarik aset keuangan domestik.
"Ini menunjukkan tetap baiknya prospek perekonomian Indonesia," kata Perry di Jakarta, Kamis (18/6/2020).
Aliran modal asing dalam bentuk investasi portofolio pada kuartal II 2020 hingga 15 Juni 2020 tercatat net inflows sebesar USD 7,3 miliar.
Posisi cadangan devisa pada akhir Mei 2020 meningkat menjadi USD 130,5 miliar. Setara pembiayaan 8,3 bulan impor atau 8,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jumlah ini berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Ke depan, terdapat kecenderungan defisit transaksi berjalan akan lebih rendah. Kemungkinan akan berada di sekitar 1,5 persen PDB pada 2020. Jauh di bawah prakiraan semula 2,5 persen - 3 persen PDB.
Demikian pula defisit transaksi berjalan pada 2021 diprakirakan akan berada di bawah 2,5 persen- 3 persen PDB.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Dihantam Corona, Begini Gambaran Kondisi Ekonomi Indonesia Terkini
Untuk diketahui, kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19, ditambah dengan situasi geopolitik dunia yang berlangsung pada kuartal II-2020 ini, membuat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebagian besar negara di dunia melambat.
Perang dagang yang masih berlanjut antara Amerika Serikat dan Tiongkok, pergolakan antara Tiongkok dengan wilayah Hong Kong semakin memberikan tantangan perbaikan ekonomi ke depan.
Sementara itu, reopening economy yang mulai dilakukan sejalan dengan stimulus berskala besar, memicu sentimen positif pasar keuangan dan harga komoditas serta aliran modal menuju emerging market. Meskipun demikian, pemulihan ekonomi masih penuh ketidakpastian, salah satunya dibayangi adanya second wave.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan pada 2020 merupakan tahun yang extra ordinary, dengan tantangan dan perubahan.
Melihat dinamika itu, pemerintah memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2020 diperkirakan mengalami minus 3 persen hingga minus 6 persen.
BACA JUGA
"Meskipun pada kuartal I positif, namun kuartal kedua kami perkirakan akan terjadi kontraksi karena PSBB. Kami perkirakan negatif, minus 3,1 persen," ujarnya dalam press conference APBN Kita, Selasa (16/6) lalu.
Pertumbuhan negatif ini, kata Sri Mulyani, disebabkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan di banyak daerah yang memberi kontribusi besar terhadap ekonomi nasional.
Sri Mulyani juga menyampaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh berbagai lembaga ekonomi dan keuangan dunia, yang hampir semuanya menyatakan negatif, bahkan hingga -6 persen.
"Hampir semuanya adalah negatif forecast-nya untuk kuartal II antara -3 sampai -6 persen," ujar Menkeu.
"Kemudian kuartal ketiga pertumbuhan ekonomi akan mulai membaik dan kuartal empat mulai positif," sambung dia.
Advertisement
Pemulihan Ekonomi
Namun demikian, Menkeu juga memaparkan bahwa hasil asesmen terkini mengindikasikan kinerja kuartal II lebih baik dibandingkan hasil asesmen sebelumnya pada Mei 2020. Hal ini memberikan optimisme bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh positif di 2020.
Keberhasilan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) nantinya juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
"Perekonomian Indonesia 2020 akan sangat ditentukan apakah di kuartal ketiga akan sedikit lebih baik dari kuartal kedua, dan apakah di kuartal keempat memang akan ada paling tidak recovery yang mulai muncul," ujar dia.
Sementara ini, Pemerintah belum mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi sebelumnya, yakni -0,4 sampai dengan 2,3. Meskipun menurut Sri Mulyani, point estimate-nya sudah semakin mendekati di level antara 0 hingga 1 persen.
Situasi pelemahan ekonomi global dan Indonesia ini juga berpengaruh terhadap kinerja pendapatannegara. Sampai dengan 31 Mei 2020, realisasi pendapatan negara dan hibah telah mencapai Rp 664,32 triliun, namun capaian tersebut tumbuh negatif 9,02 persen (yoy).
“Realisasi hingga 31 Mei, pendapatan negara kita mencapai Rp 664,3 triliun atau 37,7 persen dari target Perpres 54 perubahan APBN 2020. Dibanding Mei tahun lalu, pendapatan mengalami kontraksi 9,0. Penerimaan perpajakan Rp 526,2 atau 36 persen dari target Perpres 54, kontraksi perpajakan 7,9 persen,” jelas Menkeu.
Pajak sendiri, lanjut Menkeu, sampai dengan akhir Mei mengumpulkan Rp 444,6 atau 35 persen dari target Perpres 54/2020 dengan kontraksi 10,8 persen dibandingkan penerimaan akhir Mei tahun lalu.
Penerimaan seluruh sektor usaha di Januari hingga Mei 2020 juga tumbuh negatif, berkebalikan dengan Industri Pengolahan dan Jasa Keuangan dan Asuransi masih tumbuh positif sampai dengan April. Kegiatan produksi yang melambat ini, akibat terbatasnya suplai bahan baku impor dan pembatasan kegiatan produksi akibat Covid-19. Volume penjualan barang dan jasa pada berbagai sektor juga sangat tertekan akibat PSBB, menurunnya daya beli, serta perubahan pola spending-saving masyarakat dalam menghadapi pandemi.
Sementara Bea Cukai masih tumbuh positif 12,4 persen dan mengumpulkan Rp 81,7 triliun, atau 39,2 persen dari target Perpres 54/2020.
Lainnya, dari BNPB juga mengalami kontraksi sebesar 13,6 persen dengan jumlah pendapatan Rp 136,9 triliun atau 46 persen dari target Perpres 54/2020.
Belanja Negara
Dari sisi belanja negara, Sri Mulyani menyebutkan total realisasinya hingga akhir Mei 2020 telah mencapai Rp 843,9 triliun atau 32,3 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 54/2020 yaitu Rp 2.613,8 triliun.
Besaran realisasi ini, kata Menkeu, turun 1,4 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019 yang mencapai Rp 855,9 triliun, atau tumbuh 9,8 persen dari realisasi April 2018 dan 37,1 persen dari pagu APBN.
Peningkatan kinerja realisasi Belanja Pemerintah Pusat tersebut antara lain dipengaruhi oleh realisasi bantuan sosial yang mencapai Rp 78,85 triliun atau tumbuh 30,71 persen (yoy).
Pertumbuhan realisasi bantuan sosial di tahun 2020 dipengaruhi oleh penyaluran berbagai program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilakukan Pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19. Sementara itu, berbagai belanja yang tidak terkait penanganan Covid-19 pada Kementerian/Lembaga (K/L) dilakukan penghematan/tertunda pelaksanaannya.
“Belanja pemerintah yang sudah refocusing dan realokasi bisa jadi sarana untuk sedikit mengurangi tekanan,” kata Sri Mulyani dalam APBN Kita, Selasa (16/6/2020).
Adapun rincian yang dipaparkan Sri Mulyani, antara lain, realisasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp 537,3 triliun atau tumbuh 1,2 persen dari periode sama 2019 yakni Rp 530,8 triliun dan 29 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 54/2020 Rp 1.851,1 triliun.
Kemudian transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp 306,6 triliun yang terkontraksi hingga 5,7 persen dibanding periode sama tahun lalu Rp 325,1 triliun.
Namun demikian, jumlah ini telah mencapai 40,2 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 54/2020 sebesar Rp 762,7 triliun. Belanja pemerintah pusat sendiri ditunjang oleh belanja K/L sebesar Rp 270,4 triliun yang terkontraksi 6,2 persen dibanding Mei 2019.
“Belanja K/L turun karena refocusing, belanja pegawai terkontraksi 4,2 persen sedangkan bansos naik 30,7 persen. Ini upaya kita untuk berikan bantalan sosial akibat berbagai tekanan ekonomi dan terjadinya PHK atau orang dirumahkan,” jelas Sri Mulyani.
Advertisement
Posisi Utang
Di sisi lain, posisi utang pemerintah hingga akhir Mei 2020 mencapai Rp 5.258,57 triliun. Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 32,09 persen.
Dalam keterangan resmi APBN KiTa edisi Juni 2020, dijelaskan bahwa peningkatan utang pemerintah disebabkan oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan akibat wabah Covid-19. Seperti masalah kesehatan, penyediaan jaring pengaman sosial, serta pemulihan ekonomi nasional.
Secara rinci, utang pemerintah ini terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang kontribusinya sebesar 84,49 persen. Hingga akhir Mei 2020, penerbitan SBN yang tercatat sebesar Rp 4.442,90 triliun. Penerbitan ini juga terbagi menjadi SBN domestik dan SBN valuta asing (Valas).
Dalam rilis tersebut, SBN Domestik tercatat sebanyak Rp 3.248,23 triliun yang terbagi menjadi Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 2.650,69 triliun serta Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp 597,54 triliun.
Sementara itu, SBN Valas yang tercatat adalah sebesar Rp 1.194,67 triliun dengan rincian sebagai berikut SUN sebesar Rp 970,73 triliun dan SBSN senilai Rp 223,94 triliun.
Dipaparkan pula, utang pemerintah tersebut ada kontribusi 15,51 persen dari utang pinjaman pemerintah hingga 31 Mei 2020 sebesar Rp 815,66 triliun. Pinjaman ini dirincikan dalam dua kategori yakni pinjaman dalam negeri sebesar Rp 9,94 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 805,72 triliun.
Untuk pinjaman luar negeri, terdiri dari pinjaman Bilateral Rp 316,68 triliun, pinjaman Multilateral Rp 446,69 triliun dan Pinjaman Commercial Banks Rp 42,35 triliun.
Pada bulan Mei 2020, Pemerintah telah melakukan penarikan pinjaman dari Asian Development Bank (ADB) dengan skema khusus countercyclical support facility. Sesuai dengan namanya, pinjaman tersebutdiberikan sebagai bantuan pembiayaan di tengah pandemi untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan Pemerintah yang telah diakui oleh ADB, khususnya untuk membantu masyarakat miskin, rentan danjuga perempuan.
Selanjutnya, Pemerintah juga sedang menjajaki tambahan pembiayaan dari beberapa lembaga lainnya seperti Islamic Development Bank (IDB), Bank Pembangunan Jerman (KfW), dan Japan International Cooperation Agency (JICA), yang kesemuanya masih dalam proses negosiasi. Selain itu, Pemerintah juga mengupayakan tambahan pembiayaan dengan meningkatkan porsi penerbitan SBN baik melalui lelang reguler dan lelang tambahan (Green Shoe Option), private placement, SBN dalam denominasi Valas, dan SBN Ritel.
Sebagai opsi paling terakhir, dukungan Bank Indonesia sebagai the last resort dalam hal mekanisme pasar belum mampu memenuhi target pembiayaan.