Liputan6.com, Jakarta Bidang kedokteran di dunia berkembang dengan pesat hingga saat ini. Salah satu perkembangan di industri kesehatan itu berkaitan dengan penggunaan teknologi terbaru yang dapat melakukan serangkaian tindakan kompleks, yaitu robot.
Pada 2016 misalnya, sebuah robot di China berhasil mengoperasi seorang pasien yang cedera tulang belakang. Ya, penemuan teknik operasi dengan bantuan teknologi robotik itu berkembang selama dua dekade terakhir.
Advertisement
Jika diulas ke belakang atau berdasarkan sejarahnya, prosedur operasi medis pertama di dunia yang menggunakan bantuan robotik, dilakukan oleh dr. Kwoh di Pennsylvania, Amerika Serikat.
Dengan bantuan robotik pada 1988 dr. Kwoh melakukan tindakan di bidang bedah saraf, yaitu biopsi tumor otak. Ide awal bantuan robotik digunakan untuk meningkatkan presisi menemukan dan mengambil jaringan tumor yang berada di dalam rongga kepala.
Lalu pada 1991, dr. Davies dari London, Inggris juga memulai teknologi robotik untuk membantu operasi reseksi prostat, dengan metode transurethral yang akurasi dan jauh lebih baik daripada teknik manual.
Robot di Bidang Ortopedi
Operasi robotik pertama di bidang ortopedi dikerjakan oleh dr. Bargar dari Sacramento dari Amerika Serikat pada 1992. Saat itu robotik dimanfaatkan untuk membantu tindakan total hip replacement atau penggantian sendi panggul dan kemudian dikembangkan oleh Prof. Larry Dorr.
Nah sejak satu dekade terakhir, tindakan robotik di bidang tulang belakang semakin berkembang dan meluas hingga ke seluruh belahan dunia. Penggunaan teknologi robotik mulai diimplementasikan di Beijing, China untuk membantu tindakan operasi tulang belakang.
Tak hanya di China, berbagai operasi robotik mulai diperkenalkan ke beberapa negara di Asia seperti Jepang dan Korea. Hasil operasi dengan bantuan robotik pun sudah cukup banyak diteliti.
Salah satu penggunaan teknologi robotik di bidang ortopedi adalah untuk mengoperasi total knee replacement atau penggantian sendi lutut.
Terkait hal tersebut, dr. Toto Suryo Efar, SpOT dan Nicolaas Budhiparama, MD., PhD., SpOT (K) menjelaskan, ketika proses operasi dilakukan diketahui bahwa asistensi robotik memberi akurasi pengukuran yang lebih tinggi, termasuk penempatan implan yang lebih presisi. Selain itu, penggantian sendi lutut secara robotik juga memberikan keuntungan dalam meminimalisir kehilangan darah, nyeri paska-operasi, dan masa perawatan rumah sakit.
Meskipun demikian,berbagai keuntungan tadi hanya bersifat sementara, atau jangka pendek semata. Menurut dr. Toto dan Nicolaas, setiap inovasi baru harus selalu dicermati secara komprehensif dan dievaluasi dalam jangka panjang.
Perbaikan fungsi sehari-hari, tingkat kepuasan pasien, dan efektivitas biaya harus selalu diperhitungkan setiap kali menggunakan terobosan teknologi, sehingga manfaatnya benar-benar dirasakan oleh pasien. Beberapa tahun terakhir, telah dipublikasi beberapa studi mengenai hasil jangka panjang dari operasi penggantian lutut secara robotik.
Beberapa penelitian tersebut menyimpulkan bahwa meskipun teknologi robotik berhasil menghasilkan penempatan implan yang lebih akurat, hasil yang dirasakan pasien tidak berbeda bermakna daripada operasi penggantian lutut secara tradisional pada jangka panjang. Pengamatan hingga 10 tahun setelah operasi menemukan bahwa kenyamanan pasien, kualitas hidup pasien, aktivitas sehari-hari pasien, keawetan implan, dan komplikasi operasi secara robotik sama baiknya dengan teknik standar.
Menurut dr. Toto, mengingat tingginya biaya dan sumber daya yang diperlukan untuk asistensi robotik, pertimbangan keuntungan dan kerugian tindakan operasi harus diperhitungkan dengan teliti.
Perkembangan dan implementasi teknologi terkini di bidang orthopaedi, termasuk robotik, bukanlah hal baru bagi Nicolaas. Beliau merupakan salah satu ahli ortopedi yang mempopulerkan penggunaan teknologi berbasis komputer (computer assisted surgery, CAS) untuk operasi penggantian sendi lutut. Mulanya, teknologi tersebut disambut dengan riuh dan ramai, karena hasilnya yang superior dibandingkan teknik tradisional. Walaupun demikian, setelah diteliti dan dievaluasi lebih lanjut, diketahui bahwa CAS mempunyai beberapa keterbatasan. Lambat laun, teknologi tersebut dibatasi untuk kasus-kasus tertentu saja.
“Robot pun harus melalui proses yang sama, yaitu evaluasi dan re-evaluasi, terutama hasilnya dalam jangka panjang, supaya manfaatnya benar-benar dirasakan oleh pasien,” Nicolaas mengenai sikapnya terhadap teknologi robotik. “Jangan samakan kita dengan dokter-dokter di luar sana. Banyak rumah sakit di negara tetangga mempromosikan operasi robotik semata-mata sebagai reklame, dengan motif marketing atau bisnis belaka, tanpa mempertimbangkan keuntungan pasien” komentarnya terhadap praktik robotik di luar negeri.
Di Indonesia sendiri, teknologi robotik sudah mulai dipromosikan dalam bidang obstetri dan ginekologi. Hingga saat ini, penggunaan teknologi robotik di Indonesia dalam bidang ortopedi masih dalam tahap pengembangan, dan belum banyak dipakai dalam praktik klinis sehari-hari. Berdasarkan data serta pandangan dari dr. Toto dan Nicolaas, aplikasi teknologi baru harus disikapi dengan bijak, dengan mempertimbangkan segala keuntungan dan kerugian yang dirasakan oleh pasien.
Artikel ini bekerja sama dengan Nicolaas Budhiparama, MD.,PhD., SpOT(K) dari Nicolaas Institute of Constructive Orthopedic Research & Education Foundation for Arthoplasty & Sports Medicine. www.dokternicolaas.com, dan Instagram @nicolaasmdphd
Advertisement