Restorasi Gambut Setengah Hati di Jambi (Bagian I)

Restorasi gambut area konsesi di Jambi belum sepenuhnya dijalankan korporasi. Meski sudah berjalan 4 tahun, mengapa restorasi belum bisa mencegah Karhutla di area gambut. Ikuti laporan serial berikut ini.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 21 Jun 2020, 09:00 WIB
Kondisi kanal primer milik PT BBS di Kumpeh, Muaro Jambi. Lokasi yang telah ditanami sawit tersebut merupakan bekas area terbakar tahun 2015 lalu. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Pepohonan kelapa sawit setinggi dua meter tumbuh menghampar di area Blok B13-14. Sawit-sawit yang sudah mulai berbuah dan menghasilkan itu ditanam di lahan gambut bekas terbakar tahun 2015 lalu. Lahan tersebut merupakan milik PT Bukit Bintang Sawit (BBS) yang berkedudukan di Suak Kandis, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.

Pengujung April 2020, saya mendatangi lokasi bekas terbakar yang sudah ditanami sawit. Di antara sawit-sawit muda setinggi dua meter itu dikelilingi kanal primer. Setiap blok tanaman kelapa sawit dibangun jaringan kanal primer dengan lebar sekitar tiga meter dan memiliki kedalaman tiga meter lebih.

Saat itu, kanal-kanal primer perusahaan masih terisi air. Namun kata Asnawi, saat musim kemarau tiba dipastikan air di kanal-kanal primer akan cepat surut, bahkan kering. Sawit yang rakus air juga memicu kekeringan di lahan gambut. Kondisi ini membuat gambut rentan terbakar.

"Kalau sekat kanal setahu sayo dak ado di perusahaan, adanya kanal primer, kalaupun ado itu sekat kanal yang ditimbun," ujar Asnawi, warga Suak Kandis, Kumpeh, Muaro Jambi.

Di sela obrolannya Asnawi, pria paruh baya itu mengenang, saat musim kemarau pada 2015 sebagian area perusahaan pernah dilanda kebakaran hebat. Ingatan Asnawi masih terngiang, saat itu api yang membakar lahan gambut perusahaan sampai terlihat dahsyat kobarannya dari belakang rumahnya.

Dua tahun setelah lahan gambut terbakar, beberapa tahun kemudian berubah ditanami sawit. Eksploitasi lahan gambut untuk komoditas industri menyebabkan kerusakan pada ekosistem gambut.

Kebakaran di lahan gambut bermula dari pengelolaannya yang tidak memperhatikan aspek tata kelola air. Gambut yang seharusnya menyimpan air, justru saat kemarau gambut dengan mudah kering.

Area perkebunan PT BBS berada pada areal Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) antara Sungai Batanghari-Sungai Kumpeh. Areal KHG tersebut masuk peta indikatif restorasi (PIR) yang dikeluarkan Badan Restorasi Gambut (BRG).

Meski, area perusahaan menjadi sasaran target pemulihan, namun nyatanya pada 2019 di area perusahaan yang memasok minyak goreng atau CPO untuk Musim Mas itu masih mengalami kebakaran.

"Di BBS ini waktu kemarau tahun 2019 kemarin terbakar lagi," ujar Asnawi. Sebagai warga lokal yang besar di Kumpeh kata Asnawi, kebakaran hutan dan lahan hingga menyebabkan kabut asap di wilayah Kumpeh sudah menjadi langganan setiap tahun.

Kondisi ini ironis, saat program restorasi gambut sedang berjalan, justru di area yang menjadi tanggung jawab perusaaan itu sendiri masih terjadi kebakaran. Hal itu menjadi bukti bahwa perusahaan belum sepenuhnya menjalankan merestorasi lahan gambut sebagaimana yang telah diatur dan diamanatkan oleh pemerintah.

Restorasi gambut yang telah dibebani izin menjadi tanggung jawab perusahaan itu sendiri. Dalam restorasi gambut terdapat standar yang telah dikeluarkan pemerintah, di antaranya berupa infrastruktur pembasahan (rewetting) berupa sekat kanal, embung, dan sumur bor.

Alih-alih membangun sekat kanal untuk pembasahannya, perusahaan justru masih mengandalkan sekat timbun untuk infrastruktur pengelolaan air. Jika memasuki musim penghujan kanal akan digali, begitu pula sebaliknya saat musim kemarau kanal akan ditutup.

Humas PT BBS, Suherman, mengakui kalau perusahaannya yang memiliki luas 1.800 hektare itu masih mengandalkan sekat timbun. "Pakai sekat timbun, cuman di antara sekat itu kita kasih peralon. Ketika posisinya sudah pada level 40 sentimeter kita tutup semua, biar air enggak ada keluar lagi," ujar Herman ketika dihubungi dari Jambi, 29 April 2020.

"Tapi pengalaman kita sih waktu kebakaran tahun kemarin, air masih juga tetap kering juga walaupun kita tutup," kata dia lagi.

Herman juga mengakui pada tahun 2019 lalu di areal perusahaannya mengalami kebakaran. Namun, kebakaran itu diklaim tidak berdampak luas, atau hanya sekitar enam hektare.

Terkait dengan restorasi gambut, Herman mengklaim perusahannya telah disupervisi tim dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muaro Jambi. Tim tersebut, kata dia, telah turun dan akan membawa hasil temuan supervisi itu ke pusat.

"Kita juga masih menunggu SK pemulihan gambut karena di area kami ada yang terbakar sedikit tahun 2019 sekitar 6 hektare, masih nunggu petunjuk dari Dinas LH Provinsi Jambi," katanya.

Menghadapi musim kemarau tahun ini, perusahaan mengklaim telah siap mengantisipasi. Bentuknya kata Herman, perusahaan telah memasang satu unit kamera pemantau (CCTV) yang merupakan program bersama kepolisian. Selain itu, perusahaannya juga telah membentuk tim patroli dua regu. Masing-masing regu beranggotakan 15 orang yang akan berpatroli di area 1.800 hektare.

"Untuk menghadapi Karhutla paling kita intensifkan patroli, kemudian perisapan mesin pompa dan sarpas lainnya. Mesin power ada 1 unit, juga mesin robin 7-PK ada 12 unit," ucapnya.

Simak juga video pilihan berikut ini:


Kebakaran Gambut Berulang

Pasan segel milik Gakkum KLHK di salah satu area perusahaan kelapa sawit di Kumpeh, Muaro Jambi, yang mengalami kebakaran pada tahun 2019. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, terdapat 60 lebih perusahaan perkebunan yang beroperasi di area gambut di Provinsi Jambi. Puluhan perusahaan itu berada di area gambut yang meliputi Kabupaten Muaro Jambi, Tanjungjabung Barat, dan Kabupaten Tanjungjabung Timur.

Hasil kajian Walhi Jambi menyatakan, masih banyak perusahaan lain yang tidak mengimplementasikan restorasi gambut. Kajian tersebut diungkap setelah pemantauan terhadap sejumlah perusahaan pemegang izin usaha perkebunan kelapa sawit dan HTI.

Menurut catatan Walhi Jambi, ada perusahaan yang menjalankan restorasi, namun prosesnya tidak sesuai standar teknis yang ditetapkan BRG.

Sama halnya di BBS, pelaksanaan restorasi gambut juga tak berjalan di PT Ricky Kurnia Kertapersara (RKK) dan PT Erasakti Wira Forestama (EWF). Perusahaan tersebut juga berkedudukan di Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi.

PT RKK di Muaro Jambi lebih dikenal dengan Gudang Garam. Anak usaha Makin Group itu pada tahun 2019 mengalami kebakaran. Total luas area PT RKK yang mengalami kebakaran pada tahun 2019 mencapai 1.200 hektare. Perusahaan ini telah disegel oleh Gakkum KLHK, namun sampai sekarang belum jelas penegakan hukumnya.

"Lokasi ini pernah kebakar tahun 2015, dan kita bisa lihat lagi saat ini di lokasi yang sama terbakar lagi, dengan luas sekitar 1.200 hektare. Kami akan mengambil langkah tegas," ujar Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho, saat menyegel lahan PT RKK pada 28 September 2019.

Jelaga bekas kebakaran masih tersisa di lokasi lahan bekas terbakar itu. Hanya ada satu menara pemantau api yang berada tepat di belakang pos jaga perusahaan di Desa Puding, Muaro Jambi. Di sisi kanan jalan utama mengalir deras air yang menghitam dari kanal-kanal primer perusahaan.

Kanal-kanal primer tanpa sekat itu saat musim kemarau membuat air yang tersimpan di gambut akan cepat mengering, dan mengalir ke Sungai Kumpeh. Kanal-kanal primer tersebut juga berfungsi sebagai jalur transportasi untuk mengangkut tandan sawit.

Selain itu, di lokasi bekas terbakar itu hanya terdapat satu bekas sekat kanal yang dibuat dengan timbunan kayu dan tanah. Namun kondisi kondisinya telah rusak.

"Waktu kemarau tahun kemarin, kami sulit mencari sumber air untuk pemadaman," ucap anggota Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Puding, Dayat.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi, Rudiansyah mengatakan, kebakaran di area perusahaan yang terjadi berulang kali menjadi bukti bahwa perusahaan tidak menjalankan program restorasi gambut melalui pendekatan 3R: rewetting (pembasahan), revegetasi (penanaman ulang), dan revitalisasi (sumber mata pencaharian masyarakat gambut).

Di samping perusahaan tidak menjalankan restorasi sebagaimana yang telah diamanatkan pemerintah, lanjut Rudi, lemahnya penegakan hukum yang menyasar korporasi ditengarai menjadikan perusahaan akan terus abai terhadap tanggung jawab di wilayah perusahaannya.

"Sehingga setiap saat musim kemarau perusahaan tidak siap mengantisipasinya, dan kita akan selalu terus berada pada ancaman paparan asap," Rudiansyah mengungkapkan.


Monopoli Air di Lahan Gambut

Pompa air di lahan gambut milik PT EWF di Desa Rukam, Kabupaten Muaro Jambi. Pompa air tersebut berfungsi mengeluarkan air di lahan perusahaan. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Sore itu mesin pompa berderu kencang. Hanya sepelemparan baru dari deru mesin, tampak air gambut berwarna kehitaman mengucur deras lewat delapan lubang polongan besar. Air dari jaringan kanal primer itu disedot keluar untuk mengeringkan lahan gambut perusahaan.

Jaringan kanal primer itu membelah kesatuan hidrologi gambut (KHG) Sungai Batanghari-Kumpeh. Air dari jaringan kanal primer kemudian dialirkan menuju sungai bekas galian tanggul di belakang Desa Rukam, Kecamatan Taman Raja, Muaro Jambi. Dari sungai bekas galian, air mengalir kembali ke Sungai Batanghari yang berada di muka desa.

Aroma tak sedap menyerupai bau limbah menyeruak di sekitar pompa pembuangan air dari kanal. Sementara di sekitar bangunan pompa terlihat beberapa perempuan yang baru pulang kerja menunggu jemputan perahu.

Saluran pompa air di lahan gambut itu dibangun PT Erasakti Wira Forestama (EWF). Di area tersebut, perusahaan juga membangun tanggul setinggi delapan meter dengan panjang 11 kilometer di belakang Desa Rukam. Tanggul raksasa itu dibangun guna menghadang air agar tak masuk ke area perusahaan.

Perusahaan juga membangun tujuh titik pompa air yang berfungsi untuk mengeringkan lahan. Di antaranya dua pompa berfungsi membuang air ke Desa Manis Mato dan lima titik membuang air ke Desa Rukam. Saat musim penghujan, pompa itu bekerja mengeluarkan air dari dalam kawasan perusahaan.

"Kalau datang musim hujan desa kami selalu banjir, karena sudah di tanggul, dan juga resapan air seperti danau sudah dak ado lagi," kata Ferdi, seorang pemuda yang tinggal di Desa Rukam.

Ferdi yang menemani saya berkeliling di desanya itu bercerita, tanggul-tanggul yang dibangun itu ada yang menutup sungai primer. Sungai primer itu dulunya bisa tembus dari Desa Rukam ke Desa Rami.

"Di perusahaan ini dari Blok A sampai N, di Blok I-19 ini yang paling dekat dengan desa sempat dibangun sekat kanal, tapi sekarang tidak ada," ujar Ferdi yang pernah bekerja di perusahaan itu.

Sementara itu, berdasarkan Permentan No 5 Tahun 2018 dan Pedoman Pemulihan Gambut, KLHK tahun 2015, dalam pemulihan gambut ada beberapa macam bentuk kanal, jenis dan sifat kanal.

Temuan Walhi Jambi, sebagian besar perusahaan tidak memulihkan gambut sebagaimana yang telah diatur, seperti upaya pembasahan melalui sekat kanal. Dengan tidak membangun sekat kanal yang mengacu pada aturan itu, perusahaan jelas terbukti telah memonopoli tata kelola air di lahan gambut.

"Mekanisme pembasahan yang dilakukan perusahaan dengan membangun, tanggul, pompa air dan sekat timbun itu menunjukan sengaja dia (perusahaan) memonopoli air, karena lahan di areanya akan stabil, tapi lahannya di sekitarnya tidak stabil," kata Rudiansyah, Direktur Walhi Jambi.

"Beda dengan konsep sekat kanal yang berbagi air, karena ada diameter permukaan. Dengan begitu menurut kami jelas perusahaan telah memonopoli air, jadi prinsip pembasahan tidak sesuai regulai dan konteks pelaksanaan di lapangan terjadi kerusakan," tambah Rudi.


Masyarakat Gambut Kehilangan Mata Pencaharian

Foto udara Desa Rukam di pinggir Sungai Batanghari, Kecamatan Taman Raja, Muaro Jambi. Keberadaan kebun kelapa sawit di kawasan gambut membuat ekonomi warga Rukam terisolir. (Liputan6.com / dok Walhi Jambi)

Eksploitasi lahan gambut tak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan. Akibat eksploitasi yang serampangan itu turut berdampak massif terhadap sosial ekonomi masyarakat yang tinggal dekat dengan perusahaan.

Sumber ekonomi masyarakat di wilayah gambut Kumpeh, Muaro Jambi, baik dengan cara berladang, mencari ikan mulai ditinggalkan. Lahan-lahan yang tadinya produktif, rawa-rawa dan danau yang menjadi habitat ikan hilang dan berganti menjadi ratusan ribu batang sawit yang dikuasai korporasi.

Warga pun dihadapkan pilihan yang sulit, hingga akhirnya menjadi buruh di perusahaan. Sejak BBS masuk pada tahun 2007, ekonomi sosial masyarakat di sekitarnya pun turut berpengaruh.

Sebagian besar masyarakat yang sebelumnya menggantungkan hutan rawa gambut dengan kearifan lokalnya dengan cara beraladang, mencari ikan, kini kehilangan mata pencaharian. Masyarakat yang sebagian besar kelompok perempuan terpaksa menjadi buruh harian lepas (BHL) di perusahaan. Mereka bekerja sebagai tukang pupuk dan penyemprot pestisida.

Asnawi mengatakan, bekerja di perusahaan diupah dengan Rp90 ribu dengan sistem Harian Kerja (HK) dari pagi sampai jam 1 siang. Dengan gaji yang rendah tak cukup untuk menopang ekonomi keluarga. Dalam satu keluarga, misalnya, untuk biaya makan atau menghidupi istri dan dua anak dibutuhkan biaya Rp70 ribu perhari.

"Berarti sehari 20 ribu rupiah, dak masuk, belum biaya anak sekolah, bayar angsuran serta biaya kesehatan," kata Asnawi.

Asnawi memilih tidak menjadi buruh di perusahaan. Dia memilih menjadi buruh bangunan yang menurutnya, lebih relevan untuk menambah pundi-pundi ekonomi keluarganya dibandingkan dengan bekerja di perusahaan. "Mau berladang, dak ado tanah lagi, kerjo di perusahaan pasti ado banyak tekanan," ujar Asnawi, murung.

Persoalan yang sama juga dihadapi warga di Desa Rukam. Masyarakat Rukam yang sebagian besar nelayan, mengandalkan mencari ikan di sungai dan danau. Tapi sejak perusahaan masuk di sekitar desa pada satu dekade silam, telah menghilangkan sumber pencaharian warga.

Desa Rukam merupakan desa di bantaran sungai Batanghari. Desa ini dulunya memiliki hutan adat. Namun hutan adat yang berada pada gambut dalam itu dibeli perusahaan untuk ditanami sawit. Masyarakat desa pun tak bisa berbuat banyak.

Hutan adat itu dulunya menyimpan kekayaan alam seperti rotan, damar, dan kayu lokal. Di area hutan adat itu juga dulunya banyak terdapat rawa gambut yang dihidupi beragam ikan endemik khas gambut.

Sebelum perusahaan datang, warga Rukam mencari ikan, dan bertani. Mereka mencari ikan di lumbung-lumbung ikan seperti danau, lopak (anak danau), rawa, dan sungai. Kini sumber ekonomi masyarakat dari mencari ikan semakin redup.

Lumbung-lumbung ikan seperti di Danau Jeruk, Sungai Burung, dan Danau Belati, telah hilang. Beberapa lopak (anak danau) seperti Lopak Ijo dan Lopak Mengkuang, juga hilang. Kini lumbung-lumbung ikan itu hanya tinggal nama belaka.

"Dulu warga Rukan mencari ikan, tapi sekarang susah dapat ikan karena lumbung-lumbung ikan sudah tidak ada lagi," ungkap Ferdi, warga Rukam.

Kini tak sedikit warga Rukam yang memilih menjadi buruh di perusahaan EWF. Mereka rutin berangkat pagi dan pulang sore. "Kerjanya mupuk sawit, nyemprot," ujar Ferdi.

Dalam restorasi gambut di perusahaan mesti mencakup ketentuan 3R. Perusahaan juga wajib melakukan kegiatan revitalisasi ekonomi masyarakat di sekitarnya. Revitaliasi ekonomi itu menjadi bagian untuk memanfaatkan potensi di sekeliling masyarakat yang ramah gambut.

"Pernah warga mengajukan pencetakan sawah baru, kolam ikan, dan sumur bor kepada perusahaan. Tapi sampai sekarang belum ada realisasi," ujar Ferdi.

Bagian Personalia PT EWF, Najib ketika dikonfirmasi mengaku, perusahaannya telah menyiapkan bermacam bentuk sarana dan prasarana untuk menanggulangi kebakaran di lahan gambut wilayahnya. Perusahaan juga mengaku sudah mengikuti segala arahan dari pemerintah, termasuk restorasi gambut.

"Kalau itu (restorasi gambut) mungkin ada di ranah tertentu, tapi sudah kita jalani semua lah," kata Najib.

"Kita sudah punya embung air, pompa air, kalau perangkat sudah kita ikuti dan ada semua lah. Kita respon karena itu bukan hal yang baru kan," ucapnya.

Awalnya Najib menjelaskan, panjang lebar soal penanganan kebakaran yang dilakukan perusahaanya. Namun, ketika dikonfirmasi terkait penyelesaian konflik dengan warga Rukam, ia hanya menjawab secara normatif.

"Kok lari (pembasahan beralih) ke Rukam jadinya," tukasnya.

"Itu dengan Rukam, kita tindaklanjuti lah nanti, itu nanti lah saya tanya. Kalau Karhutla jelas semua lah, kita tidak bicara Rukam ya, jadi semua, namanya Karhutla kan semua, jangan satu sisi saja (Rukam)," ujar Najib.

Kondisi kehidupan masyarakat Rukam ironis. Ketika perusahaan setiap tahun memetik hasil dan keuntungan, justru hak masyarakat gambut di sekitarnya malah terabaikan. Ekonomi warga desa semakin berantakan.

"Warga kini dak memiliki lahan untuk berkebun, pun warga yang berprofesi sebagai nelayan pun semakin sulit mencari ikan," kata Ferdi.

Sejak perusahaan beroperasi satu dekade lalu, Desa Rukam menjadi kampung nelayan tanpa ikan karena dikelilingi industri ekstraktif. Dan dalam restorasi gambut, perusahaan punya kewajiban untuk revitalisasi ekonomi, tapi ternyata tidak dilakukan.

"Di wilayah yang telah dibebankan izin harus dilakukan retorasi oleh pemegang izin, namun dalam pemantauan kami tidak dilakukan oleh pemegang izin. Prinsip restorasi 3R tidak diikuti," kata Rudiansyah, Direktur Walhi Jambi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya