HEADLINE: Virus Corona COVID-19 di Indonesia Bermutasi Lebih Jinak, Benarkah?

Riset terbaru di AS menunjukkan adanya mutasi Virus Corona COVID-19 sehingga membuat daya tularnya lebih tinggi. Lantas bagaimana dengan Virus Corona di Indonesia, benarkah jadi lebih jinak?

oleh Aditya Eka PrawiraGiovani Dio Prasasti diperbarui 20 Jun 2020, 14:49 WIB
Gambar ilustrasi Virus Corona COVID-19 ini diperoleh pada 27 Februari 2020 dengan izin dari Centers For Desease Control And Prevention (CDC). (AFP)

Liputan6.com, Jakarta Virus Corona COVID-19 atau SARS-CoV-2 telah menginfeksi lebih dari 8 juta orang di dunia dan hingga kini masih terus diteliti. Para peneliti masih mempelajari untuk mengenal lebih dalam virus yang keberadaannya masih terus membayangi masyarakat dunia.

Berdasarkan data yang dihimpun Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Indonesia hingga Jumat (19/6/2020), Virus Corona baru telah menyebar di 216 negara dan wilayah. Virus yang menyerang bagian pernapasan ini mengakibatkan 57 kematian per 1 juta penduduk.

Sebuah studi terbaru yang dilakukan para peneliti di Amerika Serikat menunjukkan, mutasi tertentu pada Virus Corona baru secara signifikan meningkatkan kemampuannya menginfeksi sel. Atau dengan kata lain, daya penularan virus ini menjadi semakin tinggi. Hasil riset dari lembaga riset biomedik dan biokimia di AS, Scripps Research, dianggap bisa menjelaskan alasan terjadinya outbreak di beberapa bagian dunia seperti Italia, Spanyol, dan AS--khususnya New York. 

Pada mutasi yang diberi nama D614G, jumlah "duri" pada Virus Corona SARS CoV-2 bertambah, membuat virus tampak bagai bola penuh duri. Disebutkan duri-duri inilah yang membuat virusnya memiliki kemampuan mengikat dan menginfeksi sel inang.

"Jumlah atau densitas dari duri fungsional pada Virus Corona, menjadi empat sampai lima kali lebih banyak akibat mutasi," kata Hyeryun Choe, salah satu peneliti dan penulis senior riset tersebut. 

Para peneliti menyebutkan, sejauh ini belum jelas, apakah mutasi tersebut berdampak pada makin parahnya gejala pada orang yang terinfeksi atau meningkatkan kasus kematian. Untuk mengetahuinya, diperlukan penelitian lebih lanjut termasuk uji coba laboratorium.  

Saat ini, riset dari Scripps sedang menjalani kajian independen dari pakar dalam bidang ilmunya (peer review), untuk menjamin kualitas dan kredibilitas riset.

Sementara itu, virus SARS-CoV-2 yang baru-baru ini menyebar di Beijing juga diduga sebagai varian baru hasil mutasi. Pakar Epidemiologi dari Komisi Kesehatan Nasional China, Zeng Guang menyebut, virus itu sedikit berbeda dari virus yang semula menyebar di Wuhan, mengutip laman DW.

Mengutip laman Asiatimes, para peneliti melihat bahwa genome virus yang muncul di Beijing sangat menyerupai strain yang berasal dari Eropa atau Rusia.

"Virus itu sangat menyerupai strain virus di Eropa, meski demikian tak berarti virus itu berasal dari Eropa," ujar kepala epidemolog dari Chinese Center for Disease Control and Prevention.

Uji klinis menunjukkan sequencing (pengurutan) virus pun berbeda dari patogen yang muncul di Wuhan, yang memicu pandemi global. Meski demikian, Virus Corona yang ditemukan di Beijing ini sangat menular.

"Virus Corona yang ditemukan di Beijing sangat menular, bisa jadi lebih menular dibandingkan yang ditemukan di Beijing," ujar Deputy Director dari Departemen Biologi Patogen di Wuhan University.

Pasar bahan makanan Xifandi di Beijing jadi klaster Virus Corona terbaru itu. Pemerintah Beijing dengan sigap menutup pasar dan beberapa blok pemukiman di sekitarnya. Sekitar 10 ribu pedagang dan pekerja pasar pun akan menjalani tes secepatnya guna melacak infeksi SARS-CoV-2.

Lantas bagaimana dengan Virus Corona baru yang ada di Indonesia?

Saksikan juga video menarik berikut ini:


Virus Corona Baru di Indonesia

Gambar menggunakan mikroskop elektron yang tak bertanggal pada Februari 2020 menunjukkan virus corona SARS-CoV-2 (kuning) muncul dari permukaan sel (merah muda) yang dikultur di laboratorium. Sampel virus dan sel diambil dari seorang pasien yang terinfeksi COVID-19. (NIAID-RML via AP)

Ahli virologi Profesor I Gusti Ngurah Kade Mahardika dari Universitas Udayana, Bali mengatakan bahwa data dari virus SARS-CoV-2 di Indonesia masih terbatas. Berdasarkan data yang ada, tanda mutasi dari Virus Corona di Indonesia belum tampak.

Mahardika menyebutkan bahwa Virus Corona COVID-19 di Indonesia tidak berbeda jauh dari yang ditemukan di Wuhan, Tiongkok. 

Hal tersebut disampaikan Mahardika dalam siaran dari Graha BNPB pada Kamis (18/6/2020). Semula, Mahardika sempat mengira bahwa Virus Corona penyebab COVID-19 ini memiliki daya mutasi yang tinggi. Namun, hal itu belum terlihat sampai saat ini. Namun memang ada sedikit perbedaan antara SARS-CoV-2 di Indonesia dengan di Wuhan, Cina.

"Virus Indonesia mengalami perbedaan dengan Wuhan tidak pada receptor binding site. Kalau berubah pada receptor binding site, bisa jadi virus itu lebih ganas, kemudian antibodi tidak berperan, vaksin kehilangan khasiatnya," tutur Mahardika.

"Perbedaan itu tampaknya belum pada fungsional yang menyebabkan dia semakin ganas atau antibodi atau vaksin kehilangan manfaatnya kalau dipakai di Indonesia," katanya.

Mahardika menyebut, sebagai virus RNA, SARS-CoV-2 seharusnya memiliki kemampuan mutasi luar biasa. 

"Mestinya sebagai virus RNA, itu mutasinya luar biasa. Bayangkan HIV atau influenza misalnya itu mutasinya jauh lebih cepat dari ini. Saya (merasa) amazing juga dengan ini. Jadi dengan pola itu artinya apa, mutasi yang minimum," ujarnya.  

Senada dengan uraian Mahardika, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menjelaskan tetap ada mutasi Virus Corona SARS-CoV-2 di Indonesia hanya saja terjadinya bukan di daerah yang mengikat reseptor pada manusia (receptor binding site). 

"Semuanya ada mutasi. Cuma ada mutasi yang menyebabkan perubahan asam amino dan ada yang tidak, tapi mutasi itu ada," kata Amin kepada Health-Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Jumat (19/6/2020).

"Hanya saja memang setelah dipelajari mutasi itu terjadinya bukan di daerah receptor binding site, jadi daerah yang mengikat reseptor di manusia. Daerah itu yang akan menentukan apakah sel itu akan menempel atau tidak di manusia."

Temuan itu berdasarkan 10 sampel whole genome sequence (WGS) yang dikirim LBM Eijkman ke GISAID. Amin menyebutkan, 10 sampel WGS itu memperlihatkan bahwa mutasi pada Virus Corona yang ada di Indonesia tidak mempengaruhi bagian receptor binding site.

"Jadi kalau kita membuat vaksin yang nantinya bekerja dengan mem-block receptor binding site tersebut maka tetap bisa bekerja walaupun ada mutasi, selama mutasi itu tidak mengganggu receptor binding site," ujarnya. 

Amin menambahkan, terlalu dini untuk menyebutkan bahwa Virus Corona di Indonesia bermutasi lebih ganas atau lebih jinak.

"Belum bisa diketahui, karena dari 10 itu saja pola mutasinya berbeda-beda dan kekerabatannya tidak dekat satu sama lain walau pun sama-sama di Indonesia," ujarnya. 

 


Faktor Penentu Mutasi Virus Corona di Indonesia

Infografis Mutasi Virus Corona Lebih Jinak, Bisa Berubah Ganas di Indonesia? (Liputan6.com/Trieyasni)

Mengenai kemungkinan mutasi Virus Corona di Indonesia tidak seganas di Wuhan, Cina atau negara lainnya, Profesor Mikrobiologi di Universitas Indonesia, Pratiwi Pujilestari Sudarmono menjawab,"Tidak bisa dibilang iya atau tidak, karena keganasan virus itu ditentukan oleh banyak faktor."

Semua Virus Corona, kata Pratiwi, bersifat ganas dan menyebabkan orang bisa sakit. Semua orang, baik tua maupun muda, tidak memiliki ketahanan terhadap virus ini.

"Lantas, kenapa ada yang sakit ada juga yang enggak, itu juga banyak faktornya," kata Pratiwi saat berbincang dengan Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Jumat, 19 Juni 2020.

Faktor pertama sudah pasti daya tahan tubuh. Nomor dua, kontak erat. Kontak erat ini yang menyebabkan seseorang tertular secara langsung sehingga jumlah virus yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut banyak sekali. Dan, yang terakhir adalah keganasan dari virus itu sendiri.

"Daya tahan tubuh itu faktornya banyak. Daya tahan tubuh di dalam penelitian yang begitu banyaknya, tidak terbatas pada kemampuan kita untuk ingin sehat, misalnya dengan makan yang banyak, makan makanan yang sehat, olahraga, lalu berjemur. Bukan hanya itu," ujarnya.

Lebih lanjut, ada juga faktor dari dalam intrinsik manusia itu sendiri. Ada yang mengaitkannya dengan golongan darah, ada pula yang mengaitkannya dengan imunitas yang terbentuk sejak lahir.

Pratiwi menekankan bahwa tidak semua manusia dilahirkan dengan imunitas yang sama kuatnya. Oleh sebab itu, ketika berbicara mengenai Virus Corona ini, ada individu yang dikelompokkan berisiko rendah dan berisiko tinggi.

"Jadi, kejadian sakit atau ganas tidaknya virus itu sulit sekali hanya diprediksi dari virus itu bermutasi atau enggak," katanya.

Dia lalu menjelaskan bahwa virus ini adalah virus RNA (ribonucleic acid). Virus RNA setiap hari, setiap saat, dan setiap waktu bermutasi sehingga mutasi itu menyebabkan perbedaan-perbedaan. Namun, perbedaan tersebut tidak sampai mengubah jenis virus sehingga harus diberi nama virus yang baru.

"Apakah variasi-variasi menyebabkan keganasan meningkat atau menurun, sulit sekali dibuktikannya. Mungkin yang bisa kita lihat barangkali adalah kecenderungan," kata Pratiwi.

Pratiwi mencontohkan kecenderungan kasus COVID-19 di Amerika Serikat. Mengapa kasus kematian di sana lebih banyak ketimbang Asia, karena mungkin ras bisa turut memengaruhi.

"Saat ini angka kematian dari ras kulit hitam negro lebih banyak daripada yang kulit putih di Amerika. Akan tetapi itu baru kecenderungan, belum sampai pada kesimpulan bahwa mutasi virus lebih ganas di orang ras kulit hitam ketimbang putih, belum sampai di sana," katanya.

Sebab, untuk mengambil sebuah kesimpulan, harus ditelusuri lagi dari mana orang kulit hitam yang meninggal akibat Corona COVID-19 ini berasal. Bisa jadi mereka yang meninggal itu tinggal di daerah yang padat penularannya, pengetahuannya buruk, kebersihannya jelek. Apabila seperti itu, penularannya pun akan tinggi dengan sendirinya.

Jadi, Pratiwi menekankan, untuk memastikan apakah mutasi Virus Corona di Indonesia tidak lebih ganas dari negara lain, harus diteliti dengan jumlah yang sangat besar dan dengan berbagai faktor. Kalau belum, belum bisa diambil kesimpulan.

"Kalau misal saya disuruh jawab apakah mutasi virus di Indonesia lebih ganas daripada Singapura, misalnya, itu susah jawabnya. Sama halnya, kenapa di Thailand kasus kematiannya lebih rendah daripada di Indonesia, susah sekali jawabnya," ujarnya.

Pratiwi lalu mencontohkan saat kasus Flu Burung. Di Indonesia, kata dia, angka kematiannya jauh lebih tinggi daripada di Vietnam.

"Apakah orang Vietnam lebih kuat dan lebih tahan, atau apakah derajat kesehatan lebih baik orang sana lebih baik dari orang sini, kita tidak bisa langsung mengatakan iya, harus dibuktikan. Meskipun kecenderungannya seperti itu, dan faktanya memang begitu," kata dia.

Pratiwi pun menekankan bahwa jinak atau ganasnya virusnya itu sangat relatif, karena kejadian sakitnya bukan hanya tergantung pada virus, tapi juga faktor lainnya.

"Faktor orangnya, faktor virusnya, faktor lingkungannya atau interaksinya. Apakah interaksinya sangat tinggi atau tidak," katanya.

Yang pasti, virus tersebut bermutasi. Akan tetapi, mutasinya tidak cukup signifikan. "Untuk bilang ini virus yang baru, bukan. Tetapi menyebabkan adanya variasi. Variasi itu lain. Variasinya itu, kalau ada yang satu cluster biasanya variasinya sama. Kalau variasinya sama, kita sebut dia A. Ada yang ABCDE ada yang bilang 123, enggak selalu ABCDE, ada yang gabungan, terus menggabungkan OAl, OAg, OAo, jadi suka-suka," katanya.


Berbahayakah Bila Virus Bermutasi?

Ilustrasi coronavirus, virus corona, koronavirus, Covid-19. Kredit: Fernando Zhiminaicela via Pixabay

Lazimnya, semua virus bermutasi, begitu juga dengan virus penyebab COVID-19. Mengutip laman Guardian, virus akan bermutasi ketika berkembang biak atau mereplikasi diri di dalam sel inang dan membuat kesalahan dalam menyalin kode genetiknya. Tak seperti manusia yang gennya disusun dalam untaian ganda DNA, gen virus Corona tersusun dalam satu untaian RNA.

Virus harus beradaptasi ketika mendapatkan sel inang agar dapat berkembang biak, caranya dengan bermutasi. Meski demikian, mutasi tak berarti virusnya akan makin berbahaya atau sebaliknya. Para ilmuwan bersepakat, yang terpenting adalah terus memonitor jalur evolusi mutasinya agar bisa mengembangkan Vaksin Corona atau obat guna menangani COVID-19. 

Mengutip laman DW, sejumlah mutasi virus terbukti dapat melemahkan serangannya dan tak lagi mematikan. Lewat mutasi, Virus Corona juga bisa makin lemah dan menghilang. Misalnya Virus Corona SARS yang mewabah tahun 2002 dan menghilang tahun 2004. Walau begitu SARS-Cov-2, harus tetap diwaspadai, karena tidak ada yang tahu pasti, berapa lama waktu yang diperlukan untuk prosesnya hingga virusnya jadi jinak. 

Sementara bagi Virus Corona baru di Indonesia, Amin menuturkan bahwa penting bagi ilmuwan di Tanah Air untuk mengetahui ciri-ciri virus tersebut meski mereka berada dalam golongan SARS-CoV-2. Tujuannya, kita bisa mengenali virus itu berasal dari mana dan riwayat perjalanannya, dari situ bisa diketahui penyebarannya di manusia dari mana ke mana.

Selain itu, studi untuk mengetahui apakah adanya mutasi terhadap Virus Corona di Indonesia juga untuk memastikan agar vaksin yang apabila nanti tersedia, benar-benar tepat dan efektif untuk melindungi masyarakat di Indonesia.

Amin mengatakan, hingga saat ini sudah ada 15 sampel WGS Virus Corona SARS CoV-2 yang dikirim ke GISAID. Sepuluh berasal dari LBM Eijkman dan 5 dari Universitas Airlangga. Ia mengatakan, Eijkman berencana untuk mengirim setidaknya 100 sampel WGS dari SARS-CoV-2 dari Tanah Air.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya