LPSK Sesalkan Polemik Status Justice Collaborator Nazaruddin

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyesalkan polemik status justice collaborator (JC) mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 20 Jun 2020, 09:07 WIB
Terpidana korupsi yang juga mantan anggota DPR M Nazaruddin seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (29/9) Nazaruddin kembali dipanggil KPK terkait kasus pengadaan e-KTP. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyesalkan polemik status justice collaborator (JC) mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan, polemik ini tidak akan terjadi bila penegak hukum menjadikan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai rujukan utama ketika menetapkan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum atau lebih dikenal dengan istilah JC.

Menurut Edwin, UU 31 Tahun 2014 mengatur pemenuhan hak JC bagi narapidana. Dalam UU tersebut, menurut Edwin, LPSK diberikan wewenang untuk merekomendasikan kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) agar narapidana mendapatkan penghargaan remisi sesuai yang dijanjikan oleh undang-undang.

Dalam UU 31 Tahun 2014 memerintahkan Menkumham untuk menjalankan rekomendasi LPSK dengan sungguh-sungguh.

"Aturan tentang saksi pelaku atau JC ada di pasal 10A UU No 31 Tahun 2014 yang terdiri dari 5 ayat, semuanya jelas," ujar Edwin dalam keterangannya, Sabtu (20/6/2020).

UU tersebut juga mengatur bahwa LPSK merupakan lembaga satu-satunya yang diberi kewenangan memberikan rekomendasi status JC kepada pelaku pidana. Kewenangan LPSK dalam memberikan rekomendasi JC kepada penegak hukum bisa dimulai dari proses penyidikan.

"Jadi bisa disimpulkan apabila penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan terdakwa adalah JC tanpa didasari rekomendasi LPSK, maka hal tersebut tidak sejalan dengan hukum acara yang telah diatur dalam UU No 31 Tahun 2014, yang mensyarakatkan rekomendasi LPSK," kata Edwin.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Banyak Aturan soal JC

Wakil Ketua LPSK Manager Nasution mengatakan dirinya tidak menampik banyak aturan tentang JC sebelum UU No 31 Tahun 2014 lahir. Seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 Tahun 2011, Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan LPSK tahun 2011, serta PP No 9 Tahun 2012.

"Namun, aturan tersebut sebagai peraturan yang sifatnya untuk mengisi kekosongan hukum pada saat itu," kata Manger.

Menurut Manager, muatan pengaturan mengenai JC yang ada pada aturan lain seperti dalam aturan yang sudah disebutkan di atas, tidak relevan untuk diterapkan setelah UU No 31 Tahun 2014 terbit.

Selain itu menurut Manager, penggunaan istilah yang seragam juga penting untuk menyatukan pandangan aparat penegak hukum. UU No 31 Tahun 2014 hanya mengenal istilah saksi pelaku, sedangkan SEMA No 4 tahun 2011 dikenal istilah saksi pelaku yang bekerja sama.

Penggunaan istilah yang berbeda-beda oleh aparat penegak hukum akan memunculkan potensi mengaburkan makna dari JC itu sendiri, serta membuka peluang terjadinya penyimpangan.

"LPSK telah meminta kepada Presiden melalui Menkumham untuk menerbikan Peraturan Presiden terkait koordinasi aparat penegak hukum dengan LPSK terkait pengaturan soal saksi pelaku ini," kata dia.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya