Dituntut 10 Tahun Penjara, Ini 5 Pembelaan Imam Nahrawi

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga meminta hakim mencabut hak politik Imam Nahrawi setelah 5 tahun menjalani masa pidana pokok.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Jun 2020, 14:50 WIB
Terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi membacakan pledoi atau pembelaan saat sidang secara online di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/6/2020). Sebelumnya, Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan terkait dugaan suap dana hibah KONI. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara atas kasus suap dana hibah KONI dari pemerintah melalui Kemenpora.

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga meminta hakim mencabut hak politik Imam Nahrawi setelah 5 tahun menjalani masa pidana pokok.

Mereka meyakini mantan menteri olahraga (Menpora) itu secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi suap Rp 11,5 miliar bersama mantan asisten pribadinya, Miftahul Ulum.

Mantan Menpora Imam Nahrawi juga dinilai telah menerima gratifikasi.

"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa Imam Nahrawi untuk membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp 19.154.203.882," ujar jaksa KPK Ronald Worotikan, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (12/6/2020).

Dia lantas mengajukan pleidoi atas tuntutan jaksa tersebut, Jumat (19/6/2020).

Pada nota pembelaannya, Imam merasa dikorbankan. Dia kemudian berusaha menjelaskan sejumlah aliran dana dalam kasus itu, termasuk menyebut penerimaan uang oleh mantan pebulu tangkis Taufik Hidayat.

Imam Nahrawi juga mengajukan diri sebagai justice collaborator. Berikut sederet pembelaan Imam Nahrawi dalam pleidoinya:


Singgung Kembali soal Taufik Hidayat

Menpora, Imam Nahrawi, menyaksikan pertandingan hari ketiga Indonesia Open 2017 di JCC, Senayan, Rabu (14/6/2017). Menpora didampingi staf khusus bidang olahraga Taufik Hidayat yang juga legenda bulu tangkis Indonesia. (Bola.com/ M Iqbal Ichsan)

Imam Nahrawi sebut Taufik Hidayat pernah menerima uang Rp 7 miliar dan Rp 800 juta. Uang tersebut untuk pengurusan perkara di Kejaksaan Agung.

"Untuk pengurusan perkara di Kejaksaan Agung," ungkap Imam saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat, 19 Juni 2020.

Imam tak merinci lebih jauh terkait penerimaan Rp 7,8 miliar oleh Taufik. Menurut dia, dirinya sudah menyampaikan hal tersebut kepada penyidik. Namun Imam heran hal tersebut tak diungkap lebih jauh oleh penyidik.

"Entah ke mana dan mengapa itu hilang tanpa kejelasan. Itu hilang seolah-olah tenggelam, entah mengapa dan ke mana," kata Imam.

Imam mengatakan seharusnya Taufik juga harus dijerat sebagai tersangka. Apalagi, Taufik sudah mengakui sebagai perantara.

Dengan pengakuannya tersebut, Imam menyebut sejatinya pihak lembaga antirasuah bisa menjerat Taufik Hidayat. Imam mempertanyakan cara pandang yang digunakan lembaga antikorupsi untuk menjerat seorang sebagai tersangka.

"Seharusnya bila ini dipaksakan menjadi perkara suap, secara logika Taufik Hidayat juga menjadi tersangka suap sebagai perantara, tidak pandang beliau mengerti atau tidak uang itu harus diapakan dan dikemanakan," kata Imam.


Merasa Dikorbankan

Terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi membacakan pledoi atau pembelaan saat sidang secara online di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/6/2020). Sebelumnya, Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan terkait dugaan suap dana hibah KONI. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

JPU KPK menuntut Imam agar divonis selama 10 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima suap senilai Rp 11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp 8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Dia pun merasa dikorbankan.

"Sesungguhnya siapa yang bersengkokol untuk mensangkakan dan mendakwakan saya menjadi pesakitan. Apakah untuk menutup hal lain, hal yang lebih besar dengan mengorbankan saya sebagai terdakwa. Sangat jelas di fakta sidang menyebut ada instiusi kejaksaan yang dialiri dana dari KONI dan bukti rekaman menyebut oknum-oknum BPK, Kementerian Keuangan yang sama sekali tidak ditanya dan diungkap," tambah Imam seperti dikutip dari Antara.

Selain vonis penjara dan denda, JPU KPK juga mewajibkan Imam Nahrawi membayar uang pengganti sebesar Rp 19.154.203.882 yaitu sejumlah suap dan gratifikasi yang dinikmati Imam yang bila tidak dibayar diganti pidana penjara selama 3 tahun.

Selanjutnya JPU KPK meminta pencabutan hak politik Imam selama 5 tahun setelah selesai menjalani pidana pokoknya.


Ajukan Diri sebagai Justice Collaborator

Mantan Menpora, Imam Nahrawi mendengarkan bacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam secara online di Gedung KPK, Jakarta,Jumat (12/06/2020). Imam Nahrawi terkait kasus dugaan suap dana hibah pemerintah kepada KONI melalui Kemenpora sebesar 17 miliar. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Untuk membantu KPK dalam mengungkap kasus dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Imam Nahrawi mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC).

"Demi Allah demi Rasulullah, saya akan membantu majelis hakim yang mulia, jaksa penuntut umum dan KPK untuk mengungkap perkara duit Rp 11 miliar itu, kabulkanlah saya sebagai JC," kata Imam saat membacakan nota pembelaan (pledoi) di gedung KPK Jakarta, Jumat, 19 Juni 2020.

Sidang dilakukan melalui sarana video conference, Imam Nahrawi berada di gedung KPK sedangkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK, majelis hakim dan sebagian penasihat hukum berada di pengadilan Tipikor Jakarta.


Bersumpah Tak Tahu soal Suap

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi tiba akan menjalani pemeriksaan oleh penyidik di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (27/11/2019). Imam Nahrawi diperiksa terkait kasus dugaan suap dana hibah dari pemerintah terhadap KONI melalui Kemenpora. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Imam dalam nota pembelaannya mengaku tidak pernah melakukan persengkongkolan jahat untuk mendapat uang suap dan gratifikasi. Dia pun berani bersumpah atas pengakuannya tersebut.

"Saya sudah bersumpah di atas Alquran bahwa saya tidak tahu menahu, tidak meminta, tidak memerintahkan, tidak menerima bahkan demi Allah saya tidak terlibat dalam persekongkolan jahat ke mana duit Rp 11 miliar itu," ungkap Imam.

Menurut Imam, mantan asisten pribadinya Miftahul Ulum sudah membuka ke mana arah uang Rp 11 miliar itu mengalir tapi tidak dijadikan dasar mengungkap fakta yang jujur dan sebenarnya.

"Apakah ini tidak lanjut dari istilah persekongkolan jahat yang harus dan wajib disematkan pada pundak Imam Nahrawi? Sebagai terdakwa saya mohon berulang kali dikonfritir dengan saksi Hamidy, Johnny, Lina Nurhasanah, Miftahul Ulum untuk mengungkap aliran dana Rp11,5 miliar agar suap KONI terang benderang tapi JPU tidak mengabulkan dengan alasan waktu," tambah Imam.

Imam pun minta dibebaskan dari semua tuntutan JPU KPK. Dia juga meminta agar majelis hakim memulihkan nama baik dan harga dirinya.

"Saya mohon dibebaskan dari semua tuntutan jaksa penuntut umum KPK dan tuntutan jaksa penuntut umum KPK dan saya memohon dengan sangat agar dipulihkan nama baik dan harga diri saya untuk saya bisa bebas kembali ke tengah-tengah hangatnya keluarga, melanjutkan pengabdian di medan juang dan terus mengupayakan prestasi tanah air semakin menjulang tinggi dan mengharumkan nama Indonesia menjadi macan Asia," kata Imam.


Minta KPK Ungkap Persekongkolan Jahat di KONI

Asisten pribadi mantan Menpora Imam Nahrawi, Miftahul Ulum usai sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (30/1/2020). Miftahul didakwa menjadi perantara suap Rp 11,5 miliar dari mantan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy dan mantan Bendahara KONI Johnny E Awuy. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sedangkan untuk nama-nama yang terungkap di persidangan yang menerima dana suap yang bersumber dari dana hibah KONI Pusat, Imam meminta untuk segera ditindaklanjuti.

"Saya memohon kepada penyidik KPK dan JPU untuk segera menindaklanjuti persekongkolan jahat yang ada di KONI Pusat agar tidak ada lagi muncul korban seperti saya," tambah Imam.

 

Disadur dari: Kanal News Liputan6.com (Penulis: Rita Ayuningtyas, Editor: Maria Flora, published 20/6/2020)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya