Liputan6.com, Jakarta - Memperingati World Refugee Day 2020, sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Indonesia yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan bagi pengungsi asing di Indonesia mengadakan diskusi mengenai kondisi pengungsi asing di tengah pandemi COVID-19.
Pandemi tidak hanya berdampak pada WNI, tapi juga para pengungsi luar negeri yang tinggal di Indonesia. Pengungsi yang hidup mandiri banyak yang menggantungkan hidup mereka atas dukungan finansial dari kerabat dan teman maupun organisasi sosial.
Advertisement
Tiba-tiba dukungan mereka terhenti dan mereka dapat bertahan dengan sedikit dukungan dari orang-orang di sekitar. Terdapat bantuan dari organisasi social, tetapi sangat terbatas dan tidak dapat mencakup semua pengungsi independen. Juga fakta bahwa pengungsi tidak memiliki akses ke mata pencaharian, membuat pengungsi tidak memiliki sarana untuk menjadi mandiri.
Sistem Respons COVID-19 Nasional di Indonesia tidak secara khusus menyebutkan pengungsi pada sistem layanan mereka. Karena alasan ini, para pengungsi berada dalam posisi paling rentan dibandingkan dengan penduduk lokal.
Peran pengungsi untuk merespons situasi COVID-19 sangat signifikan. Kisah-kisah mereka menginspirasi dan karya-karya melibatkan kolaborasi dengan masyarakat setempat. Inspirasi ini memicu kami untuk menyajikan diskusi publik: Belajar dari pengungsi dalam menanggapi COVID-19.
Penting bagi Indonesia untuk memiliki kebijakan yang lebih baik terhadap perlindungan pengungsi, terutama karen pengungsi adalah kelompok paling rentan yang tinggal di Indonesia. Alasannya adalah karena mereka tidak memiliki kerangka hukum tertentu yang dapat melindungi hak-hak mereka di Indonesia. Perpres tahun 2016 tentang Pengungsi masih merupakan satu-satunya kerangka hukum yang mengatur secara spesifik tentang pengungsi, tetapi lebih pada aspek administratif, masih kurang dalam aspek perlindungan hak-hak mereka.
Namun demikian, Indonesia telah membuat beberapa kemajuan dalam masalah ini, seperti Perpres 125/2016 tentang Pengungsi dan juga memiliki Satuan Tugas Pengungsi untuk mengoordinasikan mitigasi tentang masalah pengungsi di Indonesia.
Akan tetapi, Pemerintah harus dan dapat berbuat lebih banyak. Perlu dicatat bahwa mitigasi pengungsi di Indonesia masih memiliki masalah klasik seperti tumpang tindih kebijakan dan ketidakjelasan koordinasi, terutama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah Indonesia harus mengikuti tren global, yaitu inklusi. Indonesia harus lebih melibatkan partisipasi pengungsi untuk berkontribusi terhadap masyarakat tuan rumah mereka. Inklusi ini akan mempromosikan kolaborasi berbasis komunitas, mengatasi perpecahan, dan mempunyai arti lebih terbuka serta memandang secara objektif keterlibatan dalam kegiatan ekonomi.
“Kita tidak bisa menunggu pemerintah kami untuk mengambil tindakan yang cepat tanggap. Masyarakat Indonesia bisa dan sudah mengambil langkah awal dalam mewujudkan inklusi terhadap pengungsi. Jika kita ingat orang yang menyelamatkan perahu Rohingya di Aceh pada 2015, mereka bukan pemerintah, mereka adalah nelayan, yang mengutamakan rasa kemanusiaan, daripada terus memancing untuk mata pencaharian mereka sendiri." kata Rizka Argadianti, ketua SUAKA ketika merefleksikan krisis pengungsi Rohingya 2015 pada sambutannya, dikutip dari siaran pers yang dimuat Liputan6.com, Sabtu 20 Juni 2020.
Inisiatif dari komunitas pengungsi sendiri juga harus diakui. Anggota komunitas yang mampu memahami bahasa Inggris atau bahkan Indonesia membantu anggota komunitas mereka untuk memahami informasi terkait pandemi. Mereka juga tidak mengabaikan masyarakat di sekitar mereka sebagai tetangga.
“Kami tidak pernah melupakan tetangga Indonesia kami, yang juga mengalami kelaparan seperti kami. Berbagi berarti peduli. Kami menunjukkan rasa hormat dan kasih kepada mereka setelah mereka memberi kami kedamaian dan perlindungan.” kata Nimo Ali dari Somalia yang baru belajar apa yang dimaksud Sembako selama COVID-19.
Dia menjelaskan dalam diskusi tersebut bagaimana keterlibatannya dalam pendistribusian Sembako di lingkungan tetangganya selain menyediakan kelas jarak jauh kepada pengungsi perempuan lewat Sisterhood.
Simak video pilihan berikut:
Memberikan Akses Atas Pendidikan
Guru dan administrasi Community Learning Center (LC) seperti Refugee Leaning Center bersama 7 LC lainnya di Cisarua, Bogor membantu siswa dan keluarga mereka untuk memahami situasi dan menjaga siswa dengan program akademis mereka melalui pembelajaran jarak jauh, seperti dijelaskan oleh Sikandar Ali, menejer dan kepala sekolah RLC.
Hakmat Zikari yang adalah salah satu pendiri Skilled Migrants and Refugee Technicians (SMART), salah satu dari Inisiatif Berbasis Komunitas, menjelaskan bahwa SMART juga membantu komunitas berbahasa Farsi untuk membuat video pendek atau konten kreatif di media sosial untuk menjembatani hambatan bahasa mereka sembari meninggu dalam period yang tak pasti di Indonesia.
Walaupun banyak orang Indonesia tidak memahami tentang kehidupan pengungsi luar negeri, tapi buat mereka yang paham tentang kesulitan yang dihadapi para pengungsi telah mengkontribusikan upaya mereka untuk menjembatani ketidak tahuan dan pemahana, seperti Realisa Masardi. Dosen Universitas Gajah Mada di Yogyakarta ini pertama kali berinteraksi dengan pengungsi pada 2012 saat melakukan penelitian ilmiah. Saat pandemi COVID-19, ia menggalang bantuan untuk didistribusikan kepada komunitas pengungsi di Jakarta dan Cisarua.
Ini adalah pesan yang perlu disebarkan selama peringatan tahun ini untuk Hari Pengungsi Sedunia tahun 2020. “Panelis dalam diskusi ini adalah contoh utama bahwa dengan kolaborasi dan kontribusi dari semua orang, para pengungsi diberdayakan dapat memberikan banyak hal baik kepada tuan rumah mereka komunitas, ke Indonesia ”kata Roswita Kristy dari JRS Indonesia.
Kesempatan untuk mendapatkan peluang dan pengalaman yang sama, kesempatan untuk ambil bagian dan dilibatkan sebagai bagian dari masyarakat adalah penting untuk memastikan bahwa tidak ada yang meninggalkan kemajuan membangun komunitas yang kuat dan bermartabat, dan itu berarti #TermasukPengungsi #RefugeeIncluded
Diskusi in merupakan hasil kolaborasi antara JRS, SUAKA, LBH Jakarta, HRWG dan Sisterhood dalam rangka Hari Pengungsi Dunia 2020.
Advertisement
Latar Belakang Hari Pengungsi Sedunia dan Tema 2020
Setiap tahunnya, tanggal 20 Juni ditetapkan sebagai Hari Para Pengungsi (refugee) Dunia oleh PBB. Tahun ini, World Refugee Day mengusung tema "Every Action Count".
Pandemi COVID-19 dan protes anti-rasisme baru-baru ini telah menunjukkan kepada kita betapa kita perlu berjuang untuk dunia yang lebih inklusif dan setara: dunia di mana tidak ada yang tertinggal. Tidak pernah lebih jelas bahwa kita semua memiliki peran yang harus dimainkan untuk membawa perubahan. Setiap orang dapat membuat perbedaan. Ini adalah jantung dari kampanye Hari Pengungsi Sedunia UNHCR. "Tahun ini, kami bertujuan untuk mengingatkan dunia bahwa setiap orang, termasuk para pengungsi, dapat berkontribusi pada masyarakat dan Every Action Counts dalam upaya menciptakan dunia yang lebih adil, inklusif, dan setara."
Dalam konteks hari pengungsi sedunia, WHO mengakui sejumlah kelompok orang yang jatuh dalam kategori tersebut, atau dikenal dengan istilah orang yang tercerabut secara paksa. Ada beberapa jenis di antaranya:
1. Pengungsi
Seorang pengungsi adalah seseorang yang melarikan diri dari rumah dan negaranya karena “ketakutan yang beralasan akan penganiayaan karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik”, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa Konvensi Pengungsi 1951. Banyak pengungsi di pengasingan untuk menghindari dampak bencana alam atau buatan manusia.
2. Pencari suaka
Para pencari suaka mengatakan bahwa mereka adalah pengungsi dan telah meninggalkan rumah mereka seperti halnya pengungsi, tetapi klaim mereka tentang status pengungsi belum dievaluasi secara definitif di negara tempat mereka melarikan diri.
3. Pengungsi Internal
Pengungsi Internal (IDPs) adalah orang-orang yang belum melintasi perbatasan internasional tetapi telah pindah ke wilayah yang berbeda dari yang mereka sebut rumah di negara mereka sendiri.
4. Orang tanpa kewarganegaraan
Orang yang tidak memiliki kewarganegaraan tidak memiliki kewarganegaraan yang diakui dan tidak termasuk negara mana pun. Situasi kewarganegaraan biasanya disebabkan oleh diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tertentu. Kurangnya identifikasi mereka - sertifikat kewarganegaraan - dapat mengecualikan mereka dari akses ke layanan pemerintah yang penting, termasuk perawatan kesehatan, pendidikan atau pekerjaan.
5. Returnis
Mereka yang kembali adalah mantan pengungsi yang kembali ke negara atau daerah asalnya setelah beberapa waktu dalam pengasingan. Mereka yang kembali membutuhkan dukungan dan bantuan reintegrasi untuk memastikan bahwa mereka dapat membangun kembali kehidupan mereka di rumah.
Kebanyakan dari orang-orang ini juga harus menghadapi cuaca yang tidak menentu, dan harus tinggal di camp sementara untuk para pengungsi. Para refugee pun kerap kali telah menjadi headline berita nasional dan internasional, seperti yang dikutip dai Republic World, Sabtu (20/6/2020).
Banyak dari pengungsi atau refugee ini terkadang kesulitan tumbuh dan berkomunikasi dalam lingkungan yang baru, kebanyakan dari mereka juga masih dipandang dengan sebelah mata.
Tanggal ini juga bertepatan dengan peringatan 50 tahun Konvensi 1951 Mengenai Status Pengungsi, di mana Organisasi Persatuan Afrika (OAU) menyetujui untuk mengadakan Hari Pengungsi Internasional pada 20 Juni.
Di Afrika sendiri mereka memiliki hari pengungsi yang juga dirayakan pada 20 Juni, sehingga PBB memutuskan bahwa 20 Juni menjadi Hari Para Pengungsi Dunia.
Reporter: Yohana Belinda